Chapter 15.

5.5K 669 56
                                    

for your information: cerita ini mengambil waktu pada tahun 50an, karena di saat itulah institut mental sangat kasar dan punya hukuman-hukuman yang sangat buruk.

_________________________

Aku memasuki kafetaria Wickendale dengan pikiran yang lebih bingung dari biasanya, pikiranku berputar-putar pada James dan Harry. Menghabiskan waktu dengan James itu sempurna, begitu juga dengan ciuman kami, jadi mengapa aku malah membayangkan mencium bibir Harry? Kenapa aku tidak bisa menghabiskan waktu dengan James tanpa tiba-tiba memikirkan dia? Semua pertanyaan ini berputar di pikiranku dan aku tidak dapat mengerti satupun pemikiran dari itu. Pertarungan dalam batinku sepertinya sedang terjadi, satu bagian dariku ingin menjadi baik dan bagian yang lain ingin berdiri berdampingan dengan kejahatan.

Dan fakta bahwa aku bahkan lebih memilih pilihan yang kedua, sangat menakutkan ku. Tapi Harry memiliki esensi yang membuat pikiran logis dan pandangan moralku menjadi blur, dan mengambil alih setiap pikiranku. Dia seperti infeksi, menyebar ke seluruh pikiranku dan menolak untuk pergi.

Berbicara tentang Harry, disitulah dia ketika aku sedang berjalan masuk ke kafetaria. Dia sudah duduk di meja kami, rambut keriting gelapnya terdorong kebelakang untuk menunjukan fiturnya yang menyegarkan, bibir merah-cerinya menyelimuti sebuah rokok yang berkurang.

"Kau disini lebih awal," aku menyapa, duduk di sebelahnya.

"Ya, kami di keluarkan dari terapi grup sialan itu lebih awal dari biasanya karena Janise mengamuk dan mencoba untuk mencekik seorang penjaga," ia tersenyum menyeringai, menghembuskan asap lingkaran ke udara.

"Apakah semua orang baik-baik saja?" Aku bertanya.

"Sayangnya, iya. Sangat disayangkan padahal aku ingin melihat beberapa aksi di sekitar sini."

Aku memutarkan mataku tetapi tidak dapat menahan untuk tertawa pada humor sinisnya. Secara sadar aku melihat sekeliling untuk melihat jika ada penjaga yang hilang karena kejadian yang dijelaskan Harry, tapi semua penjaga kelihatannya baik-baik saja di sekitar ruang ini. Termasuk James, yang matanya bertemu denganku. Ia memberiku senyuman menggemaskan dan aku membalasnya, melambaikan tanganku, sebelum pandanganku balik ke Harry. Aku menemukan dia sedang melihati aku dan James, ekspresi yang hampir terlihat jijik bermain di wajahnya.

"Kau tau, Rose, aku tidak bisa mengatur siapa saja yang boleh menghabiskan waktu denganmu, tapi bisakah kau tolong jangan bermain mata dengan orang yang aku benci tepat di hadapanku?"

"Benci? Itu sepertinya kata yang cukup kuat, bukankah begitu?"

Harry hanya menaikan pundaknya, masih merasa jengkel.

"Kau sudah tau bahwa James tidak bersalah. Jika ia tidak membunuh siapapun, kenapa kau sangat membencinya?"

"Aku hanya membencinya," ucapnya sederhana, bersender di kursinya untuk melepaskan rokok dari mulutnya dan menghelakan asap. "Jadi kalian pergi ke pasar malam kemarin, iyakan?"

"Ya," aku menjawab sedikit gelisah, takut akan percakapan yang ada di depan kami. Aku tiba-tiba merasa bersalah mengingat memori saat mencium James, namun aku segera menyingkirkan perasaan itu. Aku harusnya bisa mencium siapapun yang aku mau, lagipula itu bukan seperti kewajiban Harry.

"Bagaimana itu?" dia bertanya-tanya, mencoba untuk terdengar biasa.

"Fine," aku berkata simple.

"Rose, kau bisa beri tau aku. Aku hanya mencoba membuat percakapan," ujarnya, mengangkat bahunya lagi. Dia mencoba bertingkah tidak peduli pada seluruh situasi, namun aku tau dia ingin tau.

Aku menghela nafas, menyadari bahwa tidak ada salahnya jika aku memberi tau dia detail dari "kencan" kami. Haruskah aku beri tau dia tentang ciuman itu juga? Aku takut akan reaksinya, tapi untuk beberapa alasan aku rasa dia harus tau. Dan sebagian diriku ingin dia untuk tau.

Psychotic (Indonesia Translation)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang