46

141 23 1
                                    

     Pukul 01.08 dini hari.

Tangan Sabrina menyenggol Razan berkali-kali agar lelaki itu bangun dari tidurnya, bahkan dalam keadaan berpeluh keringat di dahi serta menahan sakit bukan main di perutnya.

Seperti ingin buang air besar namun tertahan, tidak bisa sekarang. Terus Sabrina senggol tangan Razan sampai akhirnya ia tepuk-tepuk.

"Zann..." Panggil Sabrina.

Setelah ditepuk-tepuk, lelaki itu bangun dan dengan mata yang sedikit dibuka ia menatap Sabrina.

"Kenapa sayang?" Suaranya serak khas orang belum bangun tidur.

"Zan... Kayaknya ketuban aku pecah"

Mendengar ucapan Sabrina, Razan langsung bangkit dari tidurnya, ia duduk dan menyingkap selimut yang menutupi Sabrina dimana kasur itu memang sudah basah.

Sabrina sedikit merintih kesakitan dan hal ini yang membuat Razan kebingungan apa yang harus ia lakukan?

"Sebentar, aku panggil bunda"

Sabrina dengar dengan jelas Razan gedor-gedor pintu kamar bunda dan ayah dengan bar-bar. Bahkan ucapannya yang besar juga terdengar sampai kebawah.

Langkah kaki terburu-buru mendekat dan masuk kedalam kamar, itu Razan, dibelakangnya ayah dan bunda yang masih pakai baju tidur.

"Ayah siapin mobil" ayah Rudi pergi keluar untuk menyiapkan mobil untuk membawa Sabrina.

"Bopong istrimu ke mobil, bunda bantu siapin yang mau dibawa"

"Udah Bina siapin, di dekat lemari itu tas besar",

"Ini ya nak?"

"Iya bun"

Razan membopong Sabrina dengan nafas tersengal-sengal, berjalan perlahan menuju mobil. Padahal dekat, tetapi rasanya jauh sekali karena tidak bisa berjalan dengan normal.

Duduk disamping Sabrina yang ternyata lebih tenang dari yang seharusnya ia pikirkan, Razan duduk di kursi belakang dengan menggenggam tangan Sabrina. Perempuan itu dengan tenang menghembuskan dan menarik nafasnya sendiri, benar-benar tenang. Sesekali ia memejamkan matanya.

"Tahan ya sayang" cuma itu yang bisa Razan ucapkan sambil menggenggam dan menciumi punggung tangan Sabrina.

Disepanjang jalan pada malam hari ini pun, Razan yang gelisah padahal jalanan tidak ramai namun mengapa rasanya jauh sekali menuju rumah bersalin?

"Baca-bacaan nak, yang Bina bisa" ucap bunda dari kursi depan.

"Iya bunda" Sambil memejamkan mata, Sabrina komat-kamit membaca apa surat-surat pendek yang ia bisa. Guna meminta pertolongan supaya sakit di perutnya ini sedikit memudar dan dilancarkan persalinannya nanti.

Dan setelah setengah jam sampailah dirumah bersalin yang biasa Sabrina kunjungi untuk kontrol selama hamil, untungnya semua suster disini cepat tanggap untuk menolong dan meraih kursi roda guna membawa Sabrina masuk kedalam dengan cepat.

Setelah Sabrina berbaring diatas bangkar dibantu Razan, perempuan itu di periksa sudah pembukaan berapa sampai sekarang.

Dipasangnya infus di tangan serta digantinya baju Sabrina dengan baju pasien berwarna biru. Ternyata, perempuan ini baru pembukaan empat.

"Kita tunggu sampai pembukaan sepuluh" ucap dokter yang bertugas di rumah bersalin ini.

"Kira-kira jam berapa dok?" Tanya Razan, dokter tersebut melirik jam di pergelangan tangannya.

"Biasanya delapan sampai dua belas jam pak, tapi nanti coba kita periksa lagi setiap satu jam ya pak"

Dokter tersebut pergi, bergantian dengan Razan yang melirik Sabrina sedang merintih dan tidur miring ke kiri. Tangannya terus digenggam oleh bunda Maya,

THE PRETTIEST SABRINA (gettin married) SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang