18; Young Master

268 63 5
                                    

tes double up, ada notif gak?

***

SEWAKTU kecil, pengasuhnya pernah berkata padanya, bahwa demikian diterima menjadi norma, seorang Tuan Muda terhormat itu tidak boleh bicara selantang pemabuk dan dengan kepalan tinju. Segala tindak-tanduk yang dia tunjukkan haruslah patut sebagai teladan, sebuah cerminan dari nilai-nilai keluarga bangsawan murni yang menaunginya. Aurelius tumbuh mengingat kata-kata itu dalam setiap keputusan, menjadi pemuda yang selaras dengan didikan sang Kakek yang mempersiapkannya untuk tanggung jawab besar. Namun, menyandang status Tuan Muda sekalipun tidak serta-merta menghilangkan sifat yang lazimnya dilewati ketika kanak-kanak dan remaja.

Siang terik di hari kesebelas pada bulan tujuh, Aurelius yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama membuat ulah sampai-sampai sang Kakek harus mengirim pelayan kepercayaannya, Edith, menemui guru cucunya dan, "Kalian bercanda? Aku tidak akan bicara dengan seorang pelayan! Di mana orang tua anak itu lagi pula, mereka tidak peduli anaknya memukuli putraku, huh?!" Ruangan kepala sekolah saat itu penuh dengan atmosfer ketegangan dan emosi yang meledak-ledak; jika saja yang berurusan bukanlah tuan muda dari dua keluarga berpengaruh di negeri ini, mungkin pihak sekolah bisa lebih leluasa menempatkan diri.

Aurelius, duduk bersisian dengan Edith, melirik ke depan, pada anak laki-laki berpostur sedikit gempal yang wajahnya memar akibat dia pukul—tapi dia sendiri juga sama, seragam mereka sudah kotor debu tanah karena berkelahi di lapangan yang kering saat musim panas. Alis sang Tuan Muda Astassier merengut marah, sengatan nyeri dari bengkak di atas mata kanannya tidak dipedulikan. "Aku juga tidak akan memukul anakmu kalau dia mau menjaga mulut sialnya itu tetap diam!" Para orang dewasa di sana terkejut mendengar kata-kata si remaja yang begitu berani dan tanpa sopan santun menantang orang tua murid.

"Itu tidak benar, Ayah! Aku tidak mengatakan apa pun, dia memukulku tanpa alasan!" Tangan Aurelius terangkat mengacung tepat ke muka ayah dan anak di kursi depannya bergantian. "Kau jangan coba mengelak, dasar pengecut!" Nyaris secepat kilat lengan remaja Taurus itu ditarik turun oleh Madam Edith, wanita itu gelagapan sekali minta maaf karena kalimat lantang nan kurang ajar tuan mudanya tidak mungkin tak terdengar. Pria bangsawan di sana malah sudah hampir melompat dari kursinya saking merasa tersinggung atas ucapan Aurelius.

"Apa katamu?! Anak sialan, tidak tahu adab!!"

"Mohon maafkan tuan muda kami, Tuan Angerelli, beliau masih remaja."

"Aku tidak bicara padamu, Pelayan! Dan kau—lancang sekali mulutmu menuduh anakku sembarangan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani bersikap arogan di depanku, bocah?! Cepat minta maaf!"

Aurelius tertawa bernada sinikal, "Oh, bacar mulutmu ternyata menurun dari ayahmu, ya, Angerelli?" dia sungguh tak peduli pelayannya kebingungan mau menyela; seringai di wajah sang wrisaba masih bertahan sampai pada akhirnya dia dapat tamparan kuat ke pipi dari si pria bangsawan, Gideon Angerelli. Penjuru ruangan menghening seketika, hanya suara pria itu bicara sombong, "Kau benar-benar butuh didisiplinkan orang tuamu—oh, tunggu, mereka juga tidak bisa apa-apa mengendalikan Tuan Muda ini, ya?"

"Mohon kembali duduk, Tuan, perlu saya ingatkan bahwa Anda masih berada di lingkup civitas akademik. Baik Tuan Aurelius dan Tuan Lennox adalah murid, maka penyelesaian masalah ini perlu mempertimbangkan aturan sekolah." Tutur kepala sekolah yang sejujurnya tak cukup membantu. Dia terlalu takut mau ikut campur, terlebih apabila dikira hanya membela sepihak. Kemarahan Aurelius seketika memuncak, darahnya mendidih panas hingga rasanya dia bisa saja membalikkan meja saat itu juga. Namun, pelayannya menahan. Wanita itu menatap Gideon dengan sorot dingin, sesuatu yang tidak lazimnya berani dilakukan seorang abdi di hadapan bangsawan dari lima keluarga utama.

UNLINKED | ft. NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang