c

3.6K 186 18
                                    

Sudah hampir setengah jam Aldi duduk di bangku kelasnya. Bel tanda memasukki jam awal pelajaran juga sudah berdering beberapa menit yg lalu. Tetapi guru mata pelajaran jam pertama belum juga nampak memasukki kelas atau berjalan melewati halaman kelasnya.

Ia sengaja datang pagi-pagi sekali. Bermaksud bertemu gadisnya--Salsha-- hendak menceritakan peristiwa menyenangkan yg kemarin mereka lakukan bersama. Tetapi, seperti secarik kertas yg ditiup angin kencang. Pergi terhempas entah kemana arahnya. Seperti itulah sedikit banyak deskripsi perasaannya saat ini. Aldi baru menyadari jika hari ini dan 2 hari kedepan merupakan masa tenang bagi murid kelas 12. Mengingat Ujian Nasional sudah di ambang pintu, hanya tinggal menghitung hari lagi.

Matanya memandang jauh kelas di seberang sana yg pintunya terbuka. Membiarkan sinar matahari memasukki ruang kelas yg sedikit gelap. Tirai jendela juga sedikit tertutup. Bangku-bangku kelas kosong tak berpenghuni--seperti kuburan. Padahal biasanya Salsha lah yg menempati bangku depan supaya mereka lebih mudah untuk sekadar memperhatikan satu sama lain. Siapa lagi kalau bukan Aldi lah yg menyuruhnya berpindah tempat duduk. Mau tak mau gadis itu menurutinya.

Dari kejauhan terlihat Karrel yg menggedong tas sekolah berwarna cokelat diselingi beberapa warna tambahan merah, nampak sedang berlari di tengah lapangan menuju ke arah kelasnya. Barangkali lelaki itu kabur dari hukuman karena terlambat.

Aldi masih diam, tidak berkedip selama beberapa detik hingga matanya mengeluarkan cairan bening, tetapi bukan air mata. Barangkali ia sedang melamun menatap jauh setiap sudut kelas diseberang. Memperhatikan bangku paling depan yg bercatkan cokelat. Bangku yg diduduki Salsha.

Pandangannya kemudian terhenti di mulut pintu yg nampak Karrel menunduk sembari membungkukkan sedikit badannya. Menstabilkan pergerakan jantung dan hidungnya yg bergerak tak beraturan, kembang-kempis pun dengan jantungnya yg memompa darah dua kali lebih cepat. Nafasnya juga masih terlihat ngos-ngosan. Beberapa detik kemudian barulah Karrel berjalan mendekat kearah bangkunya yg memang di sebelah Aldi.

"Kamu kenapa sih, Di? Kok tumben pagi-pagi ngelamun?" Ucap Karrel--sahabatnya. Menempati bangku kosong di sebelah Aldi.

Aldi tak bergeming. Lelaki itu malah justru mempertajam tatapan matanya kearah ruang kelas Salsha yg berseberangan. Seolah-olah memberi jawaban kepada Karrel secara tidak langsung. Karrel sejenak terdiam. Masih bingung dengan Aldi yg terus-menerus melamun sembari memperhatikan kearah ke depan.

Sedetik kemudian Karrel mengikuti arah pandangan Aldi. Seolah Aldi telah memberikan kode berupa jawaban secara tidak langsung--tatapan rajam ke arah kelas Salsha. Detik berikutnya Karrel mengerti maksud lelaki itu, seolah merasakan apa yg saat ini Aldi rasakan. Ia sempat pernah merasakam perasaan yg sama. Yang saat ini Aldi rasakan. Nafasnya tercekat.

"Aku ngerti apa yg kamu rasain kok, Di." Karrel buka suara,

"Gimana rasanya? Nggak gampang kan?"

"Emang nggak gampang. Seolah-olah kita sudah nggak punya penyemangat buat berangkat ke sekolah. Biasanya alasan berangkat ke sekolah kan kerena dia. Tapi mau nggak mau kamu juga harus ngeikhlasin. Salsha lulus juga kan sudah emang masanya. Lagian kamu juga masih bisa ketemu, Di. Tinggal kalian aja gimana pinter-pinter ngatur jadwal ketemunya aja."

Aldi mengangguk. Hanya respon itu yg ia berikan. Mencoba menelaah jawaban Karrel yg sedikit banyak memberikan efek lega bagi hatinya. Tetapi tidak dengan otaknya yg berpikiran yg macam-macam.

"Gimana kalau nanti Salsha ketemu sama orang yg lebih baik dari aku?" Tanya Aldi, beberapa detik kemudian.

Karrel menarik napas panjangnya, seperti hendak menjelaskan sesuatu panjang lebar.

Strong [AMS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang