n

203 13 3
                                    

"I just don't understand how I can go from being so important to you to being absolutely nothing."

Jakarta, 19:00

Hujan masih turun malam ini. Membuat banyak jadwal penerbangan malam ini ditunda. Membuat Salsha yg sedang duduk pada bangku ruang tunggu bernapas lega. Paling tidak masih ada sedikit harapan untuk dirinya dan Aldi bertemu. Tetapi rasanya sangat mustahil karena sejak awal Salsha sama sekali tidak memberikan kabar mengenai keberangkatannya malam ini. Pun Salsha juga tidak memberi tahu akan kemana ia melanjutkan pendidikannya.

Ia bingung. Mengingat saat ini hubungannya dengan Aldi tidak dalam keadaan yg baik-baik saja. Pertengkaran mereka malam itu membuat Salsha mengurungkan niatnya memberitahu Aldi perihal keberangkatannya malam ini. Ia tidak ingin membuat hubungannya dengan Aldi semakin rumit. Kemudian jalan terakhir Salsha akan kehilangan Aldi. Tidak, Salsha tidak ingin kehilangan Aldi. Dan tidak akan pernah.

"Sal, semuanya sudah lengkap kan? Tiga puluh menit lagi kamu harus berangkat. Jangan mikirin yg aneh-aneh ya..fokus dulu sama sekolah dulu disana. Mama senang kalau kamu lulus cepat." Ibu Salsha berkata sembari menyingkirkan helaian rambut Salsha yg menutupi sebelah matanya

Salsha mengangguk. Ia pun berpikir demikian. Lulus dengan cepat dan ia akan kembali ke Indonesia. Bertemu teman temannya, keluarganya, dan juga Aldi. Ah Salsha jadi tidak sabar.

"Ma, Salsha kapan ya kira-kira pulang kesini lagi?" Salsha bertanya, sorot matanya sarat akan kesedihan.

Ibu Salsha menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskan.

"Sal, nggak usah mikir kapan kamu pulang dulu ya. Nanti mama yang kesana. Kamu disana belajar aja. Nanti kalo kamu lulus, kita pulang sama - sama ya kesini."

"Jadi, artinya Salsha enggak bakal pulang kalo Salsha belum lulus?" Salsha bertanya, suaranya bergetar. Menandakan ia sedang menahan tangisnya.

Ibunya mengangguk.

Ia pikir dengan ia yang akan melanjutkan bersekolah di Luar Negeri. Akan memudahkan segalanya. Termasuk jika ia ingin pulang ke Indonesia. Sungguh, sebenarnya Salsha sudah sangat betah di sini. Ada teman - teman, keluarga, juga Aldi. Ah memikirkan itu membuat dada Salsha sesak. Ia belum siap dihadapkan dengan perpisahan seperti ini. Sungguh.

Salsha tahu, apa yang telah ia lakukan ini sangat egois. Ia dengan mudah mempermainkan perasaan Aldi. Menghilang tanpa kabar. Kemudian, hendak pergi jauh. Bahkan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Salsha tahu ia telah mengambil keputusan yang tidak semestinya. Ia tidak berbicara kepada Aldi terlebih dahulu mengenai langkah awal Salsha yang ingin melanjutkan pendidikan di negeri orang. Ia tahu, tindakannya ini akan membuat Aldi merasa tidak dihargai sebagai seorang kekasih. Bahkan jika ia berada di posisi Aldi, ia akan melakukan hal yang sama. Atau bahkan bisa lebih parah dari ini.

Salsha menghembuskan napasnya kasar. Ia tahu, tak seharusnya seperti ini. Ini salah. Ia tahu, ini sangat - sangat salah. Ia menyiksa dirinya sendiri, dan pasti Aldi akan tersiksa. Bahkan dirinya sendiri lah yang membawa hubungannya berada di ujung jurang kehancuran. Entah tindakan apalagi yang akan ia lakukan setelah ini. Kembali menghilang atau akan berkata yang sebenarnya kepada Aldi. Tidak. Salsha tidak akan mengambil opsi yang terakhir. Karena sama saja itu akan membuat Aldi marah besar, atau kemungkinan terburuk, Aldi akan memutuskan hubungan mereka sepihak. Salsha tidak ingin Aldinya pergi.

Tidak mungkin juga kan? Salsha berpura - pura mengatakan bahwa ia sedang berada di Indonesia atau sedang berlibur dengan jangka waktu yang sangat lama. Aldi pasti akan berpikiran yang macam - macam. Lagian Aldi tidak sebodoh itu. Ia bukan anak kecil lagi. Atau jika Aldi tiba - tiba memaksa untuk bertemu, bagaimana?

"Mikir apa, Sal? Kok kayaknya kamu gelisah banget?" Ibunya bertanya, paham jika Salsha mulai gelisah.

"Oh, enggak kok, Ma. Salsha sayang banget sama mama. Takut nanti kangen aja, hehe."

"Nanti mama kesana, Sal. Gampang. Pokoknya, kamu harus belajar yang bener. Oh iya, Sal. Temen - temen kamu gimana?"

"enggak ada yang tau, Ma. Sama sekali enggak ada yang tahu. Salsha ini egois nggak sih, Ma?" Salsha bertanya, suaranya mengecil di akhir kalimat.

"Udah, jangan dipikirin. Mama nggak mau kamu terbebani, Sal."

Detik selanjutnya, terdengar suara jernih wanita yang memberitahu hujan sudah reda dan pesawat yang akan Salsha tumpangi sudah siap. Artinya Salsha akan meninggalkan Indonesia sebentar lagi.

Salsha menghembuskan napasnya kasar. Matanya memanas. Suhu tubuh nya mendadak berubah, bahkan Salsha sudah mulai berkeringat dingin. Ini terlalu cepat baginya. Sangat cepat. Tidak bisakah waktu berhenti sementara? Tidak bisakah keberangkatannya ditunda? Setidaknya sampai Salsha benar-benar siap. Oh, Ralat. Salsha tidak akan pernah siap.

Lalu bagaimana dengan Aldi? Bagaimana jika laki - laki itu mencarinya? Bagaimana jika laki - laki itu marah padanya? Marah atas tindakan sepihak yang ia lakukan. Atau bagaimana jika Aldi meninggalkan dirinya?

Mengingat itu Salsha langsung sedih. Bahkan sempat berpikir untuk membatalkan keberangkatannya malam ini. Ia tidak sanggup jauh dari Aldi. Laki - laki itu semangatnya, laki - laki itu penguatnya. Aldi segalanya untuk Salsha.

Harusnya Salsha menolak tawaran ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri. Harusnya Salsha memberi tahu Aldi. Harusnya dia dan Aldi hari ini sedang jalan bersama. Mengingat ia sudah bebas sekarang. Ya, setidaknya sebentar sebelum SBMPTN dimulai.

" Ayo, Sal. Kamu harus pergi." Ibu Salsha menyadarkan.

Ia kemudian menghambur ke pelukan Salsha. Salsha memeluk ibunya kuat-kuat. Sarat akan rasa takut, juga tidak ingin pisah.

*
Aldi memgusap wajahnya kasar. Penampilan laki - laki itu sangat kusut. Rambut nya berantakan, wajahnya pucat, bahkan kantung matanya mulai menghitam. Tidak ada pendar kebahagian yang terpancar dari matanya. Sorot akan kesedihan. Ia kacau, sangat kacau.

Ia merasa, telah berlebihan telah bersikap kasar kepada Salsha kemarin. Seharusnya, ia tidak bicara seperti itu, seharusnya mereka masih bisa berbica baik - baik. Sesuatu yang dilakukan dengan emosi tidak akan berjalan baik bukan?

Aldi kemudian mengambil ponsel didalam sakunya. Hendak menghubungi Salsha. Masih belum terlambat, pikirnya. Salsha masih bisa memaafkan, dan mereka akan kembali seperti semula. Ia juga berpikir jika keduanya kemarin sama - sama sedang dikuasai emosi. Lagi pula, ini juga bukan yang pertama kali mereka bertengkar hebat.

Sal, bisa ketemu enggak? sekarang ya? aku jemput. Habis ini, otw kok. Siap - siap ya, Sal. Kita harus ngomong, Sal. Tunggu ya!

Sent.

Tepat setelah pesannya terkirim. Hujan berhenti. Menyisakan udara dingin. Aroma khas tanah pun terasa kental. Menenangkan.

***

HALOOO!! MASIH ADA YANG NYIMPEN CERITA INI DI LIBRARY GAK? wkwk maaf, bener - bener kaya cerita mati. dan baru bisa ngelanjutin sekarang.

BTW, UDA 2 tahun wkwk, masih kerasa gak ya feel nyaa😭😂😂
.
.
.
semogaa masih ada yang baca😂😂

Strong [AMS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang