Part 3

59.5K 2.7K 31
                                    

Suara heels yang beradu dengan lantai marmer di sebuah kantor stasiun TV ternama itu terdengar begitu nyaring. Pegawai yang sebagian sudah meninggalkan kantor membuat suasana kantor sedikit sepi. Namun, masih terlihat pegawai yang baru datang bergantian shift dengan rekan-rekannya.

Sepatu heels yang membawa pemiliknya itu kini berhenti di dalam lift, membuat pegawai stasiun TV yang ada di dalam lift juga memerhatikan si pemakai heels itu. Pegawai stasiun TV yang kebanyakan kepo dan kritis ketika melihat orang baru mulai bertanya, “Mbak pegawai baru?” tanya salah seorang pegawai laki-laki.

Perempuan yang dipanggil mbak itu menatap pegawai tersebut—yang membuat si pegawai salah tingkah. Si pemilik heels itu ternyata sangat memesona. “Bukan, saya bukan pegawai baru. Saya ke sini mau bertemu Pak Darma,” jawab si pemilik heels yang memesona itu.
“Apa Mbak kekasih Pak Darma?” tanya pegawai itu lagi.
“Bukan, saya adiknya,” jawab perempuan itu. Membuat pegawai laki-laki itu bungkam.
“Maafkan atas kelancangan saya, Mbak! Saya benar-benar tidak tahu kalau Mbak ini ternyata adiknya Pak Darma.”
“Tidak masalah! Saya sudah terbiasa tidak dikenali. Namun, kalau ingin mengenal siapa saya, lihatlah silsilah keluarga Hardinata! Kebetulan saya ada di sana, di mesin pencarian.”
“Ya, nanti akan saya lihat. Sekali lagi, maafkan saya, Mbak!”
“Dimaafkan.”

Pegawai laki-laki itu pun keluar lift, karena sudah sampai di lantai tujuannya.
Pegawai laki-laki itu langsung bergegas duduk di meja kerjanya. Menghidupkan komputer, lalu mengetik nama silsilah keluarga Hardinata di mesin pencarian google dan langsung menampilkan artikel-artikel tentang keluarga terkaya kedua se-Indonesia itu.

Pegawai itu meng-klik sebuah foto keluarga Hardinata, lalu terbukalah sebuah artikel tentang silsilah keluarga Hardinata. “Adeeva Afsheen Hardinata. Kenapa tadi wajahnya terlihat seperti kakak tiri Cinderella? Di foto keluarga ini, kecantikannya bagaikan Cinderella yang lugu dan polos. Kehidupan di luar negeri, benar-benar mengubahnya. Sayang sekali!” gumam pegawai laki-laki itu, mengomentari perubahan diri Deeva saat ini.

Kembali lagi ke tempat di mana Deeva berada kini, gadis itu sedang berdiri di depan meja sekretaris kakaknya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya sekretaris itu, ramah.
“Siapa namamu?” Deeva malah balik bertanya.

Sekretaris itu tampak tidak kesal karena pertanyaannya diabaikan, ia malah tersenyum dengan manisnya. “Nama saya Anindiya Galuh Purnama,” jawab sekretaris itu.
“Nama yang bagus! Berapa umurmu?”
“20 tahun, Mbak.”
“Sangat muda sekali untuk menjadi sekretaris CEO HNTV Group! Berarti, kau masih kuliah?”
“Ya, Mbak.”
“Pak Darma sangat baik sekali mempekerjakan pegawai yang masih mengenyam pendidikan, di posisi setinggi ini!”
“Ya, Bapak CEO memang baik sekali!”
“Baguslah, setidaknya, ia masih punya hati! Saya Adeeva Afsheen Hardinata, usia 23 tahun,” ucap Deeva. Namun, sekretaris itu malah terpaku di tempat, seolah ia habis mengetahui kenyataan yang mengejutkan. “Hallo, Anindya! Kau mendengar ucapan saya?”
“Ah, ya, Mbak! Senang berkenalan dengan Mbak!”
“Pak Darma ada di dalam?” tanya Deeva.
“Ada, Mbak. Sebentar, saya akan memberitahu Pak Darma atas kedatangan Mbak.” Nindy akan mengangkat teleponnya, tetapi dihentikan oleh Deeva.
“Tidak usah! Tidak usah memberitahu soal kedatangan saya! Kalau begitu, saya masuk dulu.”
Sekretaris itu mengangguk. Deeva pun masuk ke ruangan Darma tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Sepeninggal Deeva, sekretaris itu jatuh terduduk di kursinya. Tatapan matanya menerawang. “Akhirnya, aku bertemu dengannya. Bu.” gumam gadis yang bernama Anindya itu.

***

Di ruangan itu, kedua kakak adik seayah itu saling menatap tajam. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Darma, sinis.
“Aku butuh bantuanmu, Kak.”
“Butuh bantuanku? Berani sekali kau!”
“Bantulah aku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan!”

Darma tertawa, mendengar ucapan adik seayahnya itu. “Bodoh! Kaupikir, aku akan membantumu? Bukankah aku sudah bilang, kau jangan berharap apa pun!”
“Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau foto ini ada di tangan tunanganmu itu!” ucap Deeva sambil melemparkan sebuah foto. Foto yang memperlihatkan Darma sedang diam-diam mencium bibir sekretarisnya, yang ketiduran di meja kerja.

Darma menatap tajam Deeva. “Kau mengancamku, Adik Kecil?”
“Kalau itu disebut sebagai ancaman, berarti aku memang mengancammu.”
Rahang Darma mengeras. Tampak ia sedang berusaha meredam emosinya.
“Tunangan cantik untuk memperbanyak kekayaan serta gadis polos sekretaris kesayangan. Kalau begitu, siapa yang ada di hatimu, Kak?”
“Diam kau, Adik Sialan!” geram Darma.
“Pasti Anindya yang ada di hatimu. Kalau kau memang mempunyai hati.”
“Aku bilang, diam!!! Diam!” teriaknya, marah.

Deeva hanya terkekeh kecil. Ia tidak lari ketakutan, seperti ia kala dulu. Kali ini, ia tetap berdiri tegak, menatap kakaknya yang sedang marah—tanpa tatapan takut, melainkan tatapan mengintimidasi.
Deeva menyimpan selembar foto lagi di meja kakaknya. Ia tidak memedulikan bahwa kakaknya itu sedang marah. “Laki-laki di dalam foto itu, buatlah ia menjadi milikku! Ada acara penyambutan di kantor manajemen artis Kakek untukku. Datanglah ke acara itu! Jadilah kakak yang baik, sehingga, laki-laki itu mau menajadi milikku tanpa perlawanan! Apa pun caranya, aku mngandalkanmu, Kak. Kalau begitu, aku permisi.”

Deeva hendak berlalu dari ruangan kakaknya. Ketika ia memegang kenop pintu, ucapan kakaknya membuat ia terdiam.
“Miris sekali! Gadis kecil yang sedang tidak berdaya di rumah sakit, hanya ditemani oleh orang lain, bukan oleh ayah, ibu, kakak, bahkan kakeknya—yang katanya menginginkannya.”
Deeva tersenyum miris, tetapi ia berbalik, menatap kakaknya dengan senyuman menawan. “Tidak masalah sebenarnya Kakek menginginkanku ataukah tidak! Yang pasti, ia ada di pihakku sekarang,” ucap Deeva sinis.
Gadis itu meninggalkan ruangan kakaknya dengan senyum terkembang di bibirnya.

“Sudah selesai urusannya, Mbak?” tanya Anindya.
“Sudah, saya permisi!”
Sekretaris itu hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Deeva telah duduk di dalam mobilnya.
“Mau ke mana kita sekarang, Non?” tanya si sopir.
“Ke salon.”

***

Di lokasi syuting, tampak Dipta sedang membereskan barang-barangnya. “Syuting hari ini akhirnya kelar juga. Jadwal gue selanjutnya apa, Bay?”
“Jadwal selanjutnya, menghadari acara penyambutan cucu bos kita.”
“Cucu pak Adianto? Mungkinkah dia?” gumam Dipta. Perkataan Dipta terhenti, lalu ia terdiam. Seperti pikirannya ditarik ke masa itu. Masa di mana ia dipertemukan satu ruang dan waktu dengan gadis itu.

Lamunannya buyar ketika Bayu menepuk bahunya.
“Sudah, jangan kebanyakan ngelamun! Ayo kita siap-siap!”
“Oh, oke! Gue akan ngajak Nadia kalau begitu,” ucap Dipta, lalu menghela napas.

***

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang