Part 7

49.9K 3.8K 70
                                    

Dipta menunggu di dalam mobil dengan tidak sabar. Ketika melihat Deeva menghampiri mobil, ia mendesis geram.

Deeva masuk ke dalam mobil dan duduk di jok samping Dipta.
“Lelet banget, sih, kamu! Tidak ada hal baik sama sekali dalam dirimu. Bikin susah orang saja bisanya!” sindir Dipta, tajam.
Deeva hanya diam. Kalau ia menimpali, pasti tidak akan berkesudahan.

Sesampainya di rumah keluarga Dipta, mereka pun disambut canggung. Keluarga Dipta tidak menyangka akan kedatangan calon menantu yang dipilih anaknya, karena terpaksa.

“Selamat malam, Om, Tante! Maaf, Deeva belum sempat berkunjung sebelumnya!”
“Tidak apa-apa, Nak Deeva. Jadi, pernikahan itu akan dilaksanakan lusa?” tanya ibunya Dipta.
“Ya, Tante. Lebih cepat, lebih baik.”
“Kakak tidak hamil, kan?” celetuk seorang gadis muda yang tiba-tiba datang, lalu duduk di samping Dipta. Menggeser duduknya Deeva—yang memang duduk di sebelah calon suaminya itu.
“Radisti, kamu ini! Jaga bicaramu! Memang kamu mau punya Kakak seperti itu?” tegur ayah Dipta.
“Disti percaya, Kak Dipta, kok, Yah. Siapa tahu saja cewek ini sengaja menjebak Kak Dipta, sehingga Kakak mau menikahinya. Ayah dan Ibu tahu, kan, bagaimana sayangnya Kak Dipta ke Kak Nadia?” beber gadis yang ternyata adiknya Dipta itu.
“Radisti, kamu!” Kali ini ibu Dipta yang menegur.
“Ya, deh, Bu, Yah! Maaf!” ujar Radisti sebelum melanjutkan, “Kakak cantik, sih, tetapi sayang, nggak punya hati!” ucap Radisti sebelum berlalu pergi.
Gadis yang bernama Radisti itu tidak mendengar teguran ayah dan ibunya lagi. Ia tetap melangkahkan kakinya menuju kamar.

“Maafkan Disti, Nak Deeva! Ia anaknya memang seperti itu. Maklum, masih kelas 1 SMA!” ucap ibu Dipta, merasa tidak enak hati.
Hati Deeva benar-benar terenyuh oleh sikap lembut ibu Dipta.
“Sudah cukup Ibu meminta maaf! Sudah berapa kali Ibu meminta maaf, hanya karena hal sepele? Deeva pasti paham, Bu. Jangan terlalu memperlihatkan kebaikan Ibu! Nanti ada orang yang akan memanfaatkannya.”
“Dipta, kamu!” tegur ayahnya.
“Aku permisi pulang dulu. Ayo, Deeva!” ajak Dipta.
“Kalau begitu, Deeva permisi dulu, Om, Tante.”
“Ya, hati-hati, Nak! Sebentar, kaki kamu itu kenapa, Nak Deeva?” tanya ibu Dipta ketika melihat Deeva berdiri.
“Oh, ini! Tadi terkena pecahan beling, Bu.”
“Kok bisa?”
“Tadi Deeva ceroboh, menjatuhkan piring. Pecahannya jadi terkena betis Deeva,” jawab Deeva.
“Kenapa hanya dipakaikan hansaplast? Lukanya sepertinya besar.”
“Oh, itu tadi belum sempat diobatin, Bu.”
“Ayo, biar Ibu obati! Dipta, kamu ini bagaimana? Calon istri sendiri luka saja tidak tahu,” tegur ibunya. Membuat Dipta menatap tajam Deeva yang berdiri di sampingnya.
Setelah luka Deeva diobati, mereka pun pamit untuk kedua kalinya, lalu meninggalkan kediaman keluarga Dipta.

***

Mobil yang dilajukan Dipta melaju dengan kencang, membelah jalanan malam ibukota. Memakan waktu cukup lama, sampai mobil yang dilajukan Dipta tiba di Jakarta. Selama itu, kedua sejoli ini tidak terlibat pembicaraan sama sekali.
“Kamu sengaja?!” pekik Dipta setelah lama terdiam.
“Sengaja apa?”
“Sengaja membuat aku tampak buruk di hadapan orangtua. Dasar, Wanita Picik! Apa kamu sengaja melukai kaki sendiri, agar dikasihani?” sindir Dipta, tajam.

Deeva terkekeh pelan. Panggilan Dipta yang kini berubah kasar kepadanya, membuat sindiran Dipta menjadi lebih tajam.
Laki - laki yang dulu berhati hangat itu, kini berhati bak es di kutub utara.
“Ya, aku melukai kakiku sendiri. Aktingku bagus, bukan? Tadi ibumu mengasihani dan bersimpati kepadaku.”
“Brengsek!” pekik Dipta lagi.
Mobil itu pun tiba-tiba berhenti di pinggir jalan.
“Keluar dari mobilku, Wanita Brengsek!” teriak Dipta.
“Tidak usah berteriak! Aku mendengarnya,” ucap Deeva santai.
“Cepat keluar!!!”
“Kalau begitu, aku permisi dulu, Sayang. Hati-hati menjalankan mobilnya!”

Tatapan Dipta tampak semakin marah, mendengar ucapan Deeva itu. “Berhenti berucap manis seperti itu! Mulut busukmu tidak pantas mengatakannya!” Dipta lagi-lagi mengeluarkan caciannya kepada Deeva.

Deeva pun keluar dari mobil.
Setelah Deeva keluar, mobil itu melaju dengan kencang.
Deeva melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua dini hari. Kaki jejangnya melangkah, menyusuri trotoar jalan. Ia menghentikan langkahnya di atas jembatan. Di bawahnya mengalir air begitu deras—yang bisa menghanyutkan siapa saja.

Deeva menengadahkan wajahnya ke langit kelam. Malam tampak tidak berbintang sama sekali. “Apa jika aku masuk ke dalam air itu, Kau akan mengambil nyawaku, Tuhan? Atau apakah Kau masih akan membiarkanku hidup seperti waktu itu? Ketika aku membiarkan tubuhku ditabrak oleh mobil? Kenapa susah sekali hanya untuk mengakhiri semua penderitaan ini.”

Kaki Deeva perlahan menaiki tangga jembatan satu persatu. Ketika ia sudah memejamkan mata dan siap menerjunkan diri ke air di bawah sana, suara teriakan orang menghentikannya.

Deeva kembali membuka mata dan turun dari besi jembatan itu. Ia langsung berlari begitu saja tanpa mengindahkan panggilan orang-orang yang memergoki dirinya akan melakukan tindakan yang dilaknat Sang Maha Kuasa. “Apa yang Kaurencanakan untuk hidupku ini sebenarnya, Tuhan? Sampai untuk kedua kalinya, Kau tidak juga membiarkanku membusuk di dalam nerakamu,” gumam Deeva. Kedua kaki membawa tubuhnya menjauh dengan cepat dari tempat itu.

***

Dipta masuk ke dalam apartemen, lalu membanting pintunya dengan keras.
Ia masuk ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya di bawah shower untuk mendinginkan kepala yang mendidih, akibat tingkah laku Deeva.

Ketika dirasa kepalanya sudah dingin, Dipta keluar dari kamar mandi, memakai celana pendek dan kaus oblong. Kakinya melangkah ke dapur untuk mengambil minum.

Ketika ia akan meneguk air minumnya, rasa amarah itu kembali menguasai diri. Terutama, ketika melihat makanan yang tersaji di meja makan. “Berhenti berpura-pura baik, Wanita Sialan!” raungnya, lalu membanting piring-piring yang berisi masakan yang terhidang di atas meja makan.

Prang. 

Suara piring yang berjatuhan beradu dengan lantai, membuat apartemen Dipta malam ini tampak gaduh.
Dipta meninggalkan ruang makan, lalu masuk ke dalam kamar.
Membiarkan dapurnya berantakan, karena ulahnya sendiri. Ia benar-benar dalam mood yang buruk saat itu.

Dipta duduk di atas ranjang. Mengusap wajahnya kasar. Tiba-tiba, rasa perih terasa di betisnya. Darah mengalir di betis Dipta, membuatnya meringis ketika tangannya menyentuh luka itu. “Kenapa bisa terluka seperti ini?” gumamnya.
Dipta kembali keluar dari kamar. Ia kembali ke dapur untuk mengambil kotak p3k yang ada di lemari dapur. Dibukanya kotak itu dan hanya menemukan hansaplast di dalamnya.

Sebuah ingatan tiba-tiba menghantamnya. Ingatan ketika ia memecahkan piring-piring yang ada di meja makan beberapa menit yang lalu, sehingga melukai betisnya. Di saat Dipta membanting piring beberapa jam sebelumnya, mungkin pecahannya melukai betis Deeva.
Pikiran Dipta berkecamuk.

Pikirannya membuat penyangkalan-penyangkalan bahwa wanita itu tidak mungkin terluka, akibat pecahan piring yang ia banting waktu wanita itu akan menyuapinya. Namun, penyangkalan itu sia-sia, karena nyatanya, pecahan piring itu kini juga melukainya. Sebuah tangan besar seperti meremas hatinya. Membuat si pemilik hati terdiam. “Dasar, wanita picik!” Cacian yang ia lontarkan menggema di pikiran. “Bermulut busuk!” Cacian-cacian itu saling bersahutan, bergema di pikiran Dipta. Seperti, mengejeknya bahwasanya siapa yang memiliki mulut busuk sebenarnya.

***

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang