Part 8

47.6K 3.1K 35
                                    

Dipta terbangun, karena mendengar suara gaduh di apartemennya. Matanya yang masih berat, ia paksa untuk terjaga. Ia pun turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar.

Langkah lebar Dipta membawanya ke dapur apartemen. Dapur yang semalam berantakan, kini sudah rapi. “Siapa yang membersihkannya?” gumam Dipta, karena tidak melihat orang lain di sana. “Apa mungkin wanita itu? Sudah kuduga, mana mungkin ia marah kepadaku, karena kejadian semalam,” gumam Dipta lagi.

Kejadian semalam benar-benar membuat pikiran Dipta tidak henti-henti meledeknya. Hatinya seperti ikut marah kepada dirinya sendiri. Ada sesuatu yang aneh dengan apa yang dirasakannya kini.

Dipta mendengar pintu apartemennya dibuka, membuat ia mengukir senyum sinis. Mendengar langkah kaki yang semakin dekat, Dipta kembali mengeluarkan kata-kata kejamnya. “Masih berani juga kamu datang ke sini?!” hardiknya.
Derap langkah yang ada di belakang tubuhnya berhenti, membuat Dipta tersenyum puas.
“Maksud kamu apa, Dip?” tanya seseorang yang ada di belakang tubuhnya.

Deg.

Dipta membalikkan tubuhnya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Nadia berdiri di situ dengan menampakkan wajah sedih! “Nadia, maaf! Tadi, kukira kamu wanita itu,” ucapnya seraya menggenggam tangan kekasihnya itu.
“Kamu menunggunya?” tanya gadis itu, curiga.
“Tidak. Aku hanya kesal padanya. Kukira, ia masih berani datang ke sini setelah membuat kekacauan di apartemenku.”
“Jadi, piring-piring yang berserakan di lantai itu ulahnya?”
Dipta hanya mengangguk. Hatinya kini memaki-maki, karena sudah berbohong.
“Ia benar-benar wanita yang tidak bermoral,” ucap Nadia kesal.
“Jangan menghinanya seperti itu! Ia tidak seburuk yang kamu pikirkan,” bela Dipta.
Nadia kini menatap Dipta, heran. “Kamu membelanya?”
“Tentu tidak. Hanya saja, ternyata ia tidak seburuk yang kita pikirkan selama ini.”
“Oh, oke! Apa pun itu, lupakan! Aku akan membuatkanmu sarapan. Basuh dulu wajahmu!”
“Oke. Terima kasih, Nad,” ucap Dipta. Kini, ia memeluk kekasihnya itu.
“Kamu itu orang baik, Dipta. Jadi, aku tidak heran, kamu membelanya. Kamu menyuruhku mempercayaimu. Jadi, aku percaya kalau sampai kapan pun hatimu tetap untukku,” ucap Nadia.

Dipta hanya diam, lalu mengeratkan pelukannya terhadap Nadia.
“Aku tidak akan kalah dari wanita itu, karena aku tahu, kamu ada di pihakku.”
Dipta kini melepas pelukannya, lalu membelai pipi gadisnya itu. “Aku ke kamar mandi dulu, ya! Tolong siapkan sarapan yang enak!”
Nadia mengangguk, antusias. “Siap laksanakan, Sayangku.”
Dipta tersenyum, lalu mengusap lembut kepala Nadia. Membuat gadis itu merasa, teramat sangat disayangi oleh kekasihnya itu.

Nadia tidak peduli statusnya nanti bagaimana. Yang penting, laki-laki itu memintanya untuk tetap tinggal di sisinya. Sebagai seorang wanita yang juga mencintai laki-laki itu, ia tidak akan menyia-nyiakan hal itu.

Dipta membasuh wajahnya, lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Besok dirinya akan menikah. Namun, kini ia sedang bersama dengan Nadia, kekasihnya. Pernikahan yang memang tidak pada umumnya.
Dipta keluar dari kamar mandi, membersihkan wajahnya dengan handuk.

Ponsel yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya berdenting. Tanda sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Dipta mengambil ponsel dan membukanya.

From: +6282215xxxx
Temani aku menemui ayahku nanti di jam makan siang!

Hanya itu isi pesan yang Dipta terima dari calon istrinya. Tidak ada telepon menyebalkan pagi-pagi buta yang biasa wanita itu lakukan—untuk membangunkan dan mengeluarkan kata-kata manisnya.
Jari-jari Dipta menari-nari di atas layar ponselnya.

To: +6282215xxxx
Kamu marah padaku?

Ketika ibu jarinya akan menyentuh tombol send, Dipta menghentikannya, lalu menghapus pesan itu.
Satu pesan lagi masuk ke ponselnya.

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang