Part 2

71.9K 3K 43
                                    

Suasana Bandara Soetta pagi itu tampak sibuk oleh hilir mudik orang-orang. Tampak Deeva salah satu dari orang yang hilir mudik tersebut. Kakinya melangkah dengan mantap keluar bandara. Deeva menghirup udara pagi Jakarta yang jauh dari kata segar. Namun, setidaknya, di sinilah ia pertama kali bernapas dan menatap dunia.

Deeva pun keluar dari kawasan bandara dengan menggunakan jasa taksi. Tidak ada jemputan atau orang yang menunggu kedatangannya. Namun, ia terlihat sudah terbiasa dengan hal itu.

Taksi yang ditumpangi Deeva berhenti di depan sebuah rumah mewah—yang membuat sopir taksi pun takjub. Setelah membayar, Deeva melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah yang sangat luas tersebut.

Halaman itu dibagi dua, Bagian halaman pertama dihias berbagai bunga, rumput hijau, dan pepohonan rindang. Halaman kedua terdapat kolam besar, membuat rumah itu tampak indah.

Deeva kini berdiri di depan pintu rumah besar. Lalu, menekan bel yang menempel di samping pintu. Tidak berapa lama, perempuan yang sudah berusia senja membukakan pintu.
“Deeva? Masyaa Allah, ini kamu, Nak?!” pekik perempuan itu senang.
“Ya, Mbok, ini aku,” jawab Deeva dengan suara serak. Ia kangen sekali dengan perempuan itu. Perempuan yang merawatnya sedari bayi, yang sudah dianggap sebagai ibu sendiri.
“Alhamdulillaah, akhirnya, kamu pulang juga,” ucap perempuan berusia senja itu mengucap syukur dan langsung memeluk Deeva erat. “Ayo, masuk! Kebetulan mereka sedang sarapan,” ajak si Mbok. Namun, Deeva masih diam di tempatnya, tidak bergerak. “Hadapilah! Walau bagaimanapun, mereka keluargamu.”

Deeva menghela napas. lalu mengikuti si Mbok, masuk ke dalam rumah. Deeva melihat mereka, keluarganya. Ada ayahnya yang bernama Hari Hardinata, ibu yang bernama Liliana Hardinata, dan kakak laki-laki yang bernama Adarma Hardinata—yang kini menatapnya tanpa tatapan senang atau sapaan hangat. Mereka hanya menatapnya sekilas dan melanjutkan sarapan. “Semuanya masih sama, ternyata. Namun, izinkan aku menyapa kalian! Selamat pagi, Pa, Ma, Kak! Deeva pulang,” ucap Deeva lantang, membuat dentingan piring itu berhenti.

“Ma, Papa berangkat kerja dulu,” ucap seorang laki-laki yang dalam akta kelahiran sebagai ayah Deeva. Kini, laki-laki itu beranjak meninggalkan ruang makan dan melewati anaknya yang meghilang selama lima tahun. Tanpa pelukan hangat ataupun omelan khawatir.
“Pa, apa kau masih ingat darahmu ini mengalir di tubuhku? Apa kau tidak merindukanku sama sekali?” Pertanyaan Deeva hanya dijawab oleh hembusan angin yang menyuplai oksigen di ruangan itu. Suara kekehan terdengar nyaring di ruangan makan keluarga Hardinata itu.

“Kemajuan yang luar biasa, Adik Kecil. Sekarang kau pandai sekali berbicara,” ujar Darma, kakak laki-laki Deeva. Kini lelaki itu berdiri, menjulang di hadapan Deeva sambil menatapnya sinis.
“Kenapa? Kau merasa takut akan kemampuanku ini, Kak?”
“Hahaha… takut? Kau harus tahu, aku tahu banyak sekali kenyataan pahit soal hidupmu,  yang akan membuatmu tidak bisa tersenyum lagi.”
“Katakanlah kenyataan pahit itu, Kak! Semuanya! Dan lihat, apa aku masih bisa tersenyum ataukah tidak.”
“Sombong sekali kau! Satu kenyataan, kau tidak diinginkan oleh ayahmu sendiri, membuat masa remajamu kacau. Ditambah kenyataan, kau bukan anak ibuku. Kau kabur dan baru kembali. Apa kau siap mendengar kenyataan yang lain dan tetap mempertahankan senyum itu di bibirmu?” ucap Darma, melecehkan.
Mendengar ucapan itu, Deeva tetap bisa mempertahankan tatapan tajamnya. Tatapan yang tidak terlepas dari wajah Darma. “Aku akan mempertahankan senyuman ini. Jadi, ceritakanlah semuanya! Aku sudah siap mendengarnya.”
“Oke. Aku akan memberitahumu satu persatu. Yang akan kuberitahu pertama kali yaitu, kau masih tidak diinginkan di keluarga ini. Jadi, jangan berharap apa pun!”
“Kakek menginginkanku,” timpal Deeva.
“Kakek? Hahaha…. Kau harus ingat pepatah, orang yang sangat dekat denganmu adalah orang yang akan paling melukaimu. Lihat apa pepatah itu berlaku terhadapmu!”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Darma meninggalkan ruangan makan. Kini, hanya ada Deeva, Mbok, dan nyonya besar yang masih menyantap sarapannya, tanpa terganggu dengan obrolan anaknya dan Deeva.

“Kau tidak berubah, Ma. Selalu menjadi pendengar yang baik,” ucap Deeva sarkartis.
Deeva pun kembali melangkahkan kakinya menuju kamar tidur dengan diantar si Mbok.
“Nak, beristirahatlah! Mbok tinggal dulu.”

Deeva hanya mengangguk. Rasanya, stok kata-katanya sudah habis, hanya untuk sekadar mengucapkan ya. Tubuh jenjangnya direbahkan di atas ranjang. Matanya ditutup rapat-rapat. “Pradipta Bagaskara, apakah kau akan memberikan perlindungan dan juga perbaikan untuk hatiku yang sudah koyak? Untuk memaksamu melalukan apa yang kuinginkan nanti, maafkanlah!” gumamnya lirih, lalu mengambil selembar foto dirinya yang wajahnya terbalut banyak perban sedang memakai baju rumah sakit—ditemani Dipta yang masih memakai baju seragam SMA. “Aku harap, kau masih berhati hangat, seperti dahulu Dipta,” gumamnya lagi. Tidak berapa lama pun, ia terlelap, akibat kelelahan hati dan fisiknya.

Pintu kamar Deeva terbuka. Memperlihatkan laki-laki yang tetap segar di usianya yang sudah tidak lagi muda. Ia Adianto Hardinata, orang terkaya kedua se-Indonesia, yang tak lain, kakek Deeva.
Ia melangkah mendekat ke ranjang cucunya yang sedang tertidur pulas di atasnya. “Apa pun akan Kakek lakukan untuk membuatmu bahagia. Kesalahan itu Kakek yang mengawalinya. Bila dengan membuatmu bahagia bisa menebus semuanya, akan Kakek lakukan. Kakek menyayangimu, Deeva,” ucap Adianto dengan suara lirih, lalu mencium kening cucunya itu dengan sepenuh rasa sayang.

***

Di sebuah kamar tidur yang lain, tampak Dipta masih terlelap dalam tidur. Jadwal keartisan membuatnya masih terjaga sampai dini hari. Tidur Dipta menjadi tidak teratur. Ia tertidur dengan nyenyak, begitupun Deeva.

Setelah mereka terbangun, akan banyak hal yang akan dilewati. Melukai dan dilukai selalu jadi hal yang pasti ada di setiap jalan yang dilalui. Entah itu terpaksa, disengaja, maupun tanpa disadari!

Goresan luka selalu mengintai orang-orang yang berkecimpung di dunia ini, karena goresan itu mengantarkan kepada keikhlasan dan rasa syukur. Bahwa kita sebagai manusia masih memiliki perasaan untuk merasakan. Karena, di mana ada kesusahan, di situlah ada kemudahan. Di mana ada kelukaan, di situlah ada kebahagiaan.

***

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang