Part 9

46.7K 3K 45
                                    

Mobil yang ditumpangi Deeva dan Dipta berhenti di depan perusahaan besar dengan plakat nama Hardinata Group. Perusahaan itu bergerak di segala bidang.

“Non, ada banyak wartawan di depan. Sepertinya, mereka tahu, Non dan Den Dipta akan datang kemari.”
“Kenapa para wartawan itu selalu merepotkan?” gumam Deeva. Ia pun bergegas membuka pintu mobil. “Kak Dip, kita turun saja. Petugas keamanan perusahaan akan menjaga kita untuk masuk ke dalam.”

Dipta turun dan langsung dikerumuni banyak wartawan. Begitu pun dengan Deeva. Mereka berjalan, menembus kumpulan wartawan dengan dikawal petugas keamanan. Namun, jumlah wartawan itu terlalu banyak.

Dipta yang mempunyai langkah lebar sudah menembus kerumunan wartawan, tetapi Deeva masih terjebak di dalamnya.
“Saudari Deeva, bagaimana persiapan pernikahan Anda?” tanya seorang wartawan.
“Ada perlu apa Anda datang ke perusahaan milik keluarga?” Wartawan lain menyela.
“Apa benar kabar yang menyebutkan bahwa Anda memiliki hubungan tidak baik dengan keluarga sendiri?” tanya wartawan lainnya lagi. Membuat wartawan sisanya yang ada di kerumunan itu berhenti untuk menyimak pertanyaan yang diajukan rekannya, yang tampak sangat menarik itu.

Deeva terdiam. Ia hanya berekspresi datar.
“Ada juga kabar yang menyebutkan bahwa Anda tidak tinggal di Indonesia selama lima tahun bukan karena menimba ilmu, melainkan melarikan diri dan bersembunyi dari keluarga. Benarkah itu?” Wartawan lain lagi kembali mencecar.

Deeva mematung. Bagaimana bisa wartawan itu tahu akan masalah keluargaku?
“Anda tidak bisa menjawab sedikit pun. Apa berarti, semua pertanyaan kami itu benar adanya?”
Kerumunan wartawan itu terbelah oleh sosok lelaki tegap yang langsung memeluk bahu Deeva dan membawanya pergi dari kerumunan. “Berikan kami jalan! Maaf, calon istri saya sedang lelah, karena mempersiapkan acara pernikahan kami! Mohon kerja samanya!” ucap Dipta, membuat wartawan itu tidak berdesak-desakan lagi untuk mengerumuni mereka.

Dipta tetap merangkul bahu Deeva sampai masuk ke dalam lift. “Kenapa kau jadi orang bodoh? Sejak kapan seorang Deeva kalah oleh pertanyaan para wartawan?” ledek Dipta.
“Aku tidak ingin berdebat kali ini.” Pikiran Deeva blank sedari ia memutuskan menemui ayahnya hari ini. Pikirannya terfokus untuk bertingkah seperti apa nanti, agar Dipta tidak curiga terhadap hubungan ayah dan anak yang memang tidak baik sejak semula atau mungkin sejak ia dilahirkan.

Mereka berhenti di depan meja sekretaris perusahaan Hardinata Group.
“Silakan masuk ke dalam, Mbak! Pak Harry ada di dalam,” ucap sekretaris cantik itu.
Dipta hanya mengikuti calon istrinya yang tiba-tiba tidak banyak berbicara.

Pintu besar itu terbuka. Menampakkan sosok gagah yang duduk di kursi kebesarannya sedang membuka-buka berkas di meja.
“Halo, Pa!” sapa Deeva girang. Dihampiri ayahnya itu dan dipeluk bahunya.

Harry berjengit. Tampak risih, dipeluk seperti itu oleh putrinya sendiri.
Deeva menangkap ketidaknyamanan ayahnya. Ia pun melepaskan pelukannya. “Pa, kenalin, ini Dipta, calon suamiku.”
“Ya.” Hanya itu jawaban Harry.

Dipta yang mengulurkan tangannya juga tidak disambut sama sekali. Membuat Deeva meredam amarahnya yang meluap-luap di dalam hati. Bisakah orangtua ini bersikap sewajarnya saja hanya untuk kali ini saja?
“Maaf, ya, Sayang! Papa sepertinya sangat sibuk, sampai tidak bisa menyambut uluran tanganmu,” ucap Deeva, merangkul tangan Dipta.
“Ada perlu apa kau datang kemari?” tanya Harry. Namun, matanya tetap fokus kepada berkas di meja.

Tenggorokan Deeva tercekat. Menelan ludah pun rasanya sakit demi menerima perlakuan ayahnya—yang sedari dulu membuatnya menangis dalam diam. “Aku meminta kesediaan Papa untuk menjadi wali di acara pernikahanku besok,” ucap Deeva dengan suara parau.

Mendengar suara Deeva yang berubah, Dipta menangkap bahwa ada hal yang tidak beres dalam hubungan keduanya.
Harry menutup berkasnya, lalu menatap mata putrinya itu. Mata yang selalu mengingatkan akan masa lalunya, sehingga tidak berapa lama, ia mengalihkan pandangannya terhadap hal lain. “Papa akan datang.” Hanya itu jawaban Harry.
“Kak Dip, tunggu aku di dalam mobil saja, ya! Nanti aku menyusul.”
“Baiklah! Kalau begitu, saya permisi, Om.”

Dipta meninggalkan ruangan itu dengan benak yang bertanya-tanya.
Kini, hanya ada ayah dan anak yang ada di ruangan itu.
“Haruskah Papa bersikap seperti itu kepada calon suamiku? Kenapa Papa tidak bisa bertindak selayaknya ayah kepada anaknya? Kenapa, Pa?!” teriak Deeva, histeris.
“Hentikan omong kosongmu! Pergilah! Papa banyak kerjaan.”
“Sebenarnya apa kesalahanku? Bukankah aku ini juga darah daging Papa? Apakah ini karena aku lahir dari wanita yang bukan menjadi istri Papa sekarang, jadi Papa bersikap seperti itu kepadaku?” tanya Deeva lagi, dengan airmata menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana bisa bertindak setegar mungkin? Jika tiap saat diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri?

Ketegaran yang ia perlihatkan sia-sia. Hatinya sakit, sehingga meruntuhkan ketegaran yang ia bangun dengan susah payah.
Harry sendiri tercengang. Darimana Deeva tahu masalah itu? Namun, ia berhasil menutupi keterkejutannya. “Pergilah! Jangan biarkan calon suamimu menunggu!” Hanya itu tanggapan Harry.

***

Dipta menunggu di dalam mobil dengan resah. Entah kenapa hatinya tidak tenang! Matanya menatap lurus pintu lobi perusahaan yang dilalui banyak orang itu, tetapi yang ia tunggu tidak kunjung datang. “Haruskah aku menyusulnya?” gumamnya.

Sebelum Dipta sempat membuka pintu mobil, orang yang ditunggunya keluar dengan dikawal petugas keamanan, karena masih banyak wartawan yang menunggu di depan perusahaan. Tanpa Dipta sadari, ia menghela napas lega ketika Deeva sudah duduk di sampingnya.
“Maaf, membuatmu menunggu lama!” ucap Deeva.
Dipta tidak menggubris permintaan maaf Deeva. Ia malah sibuk melirik wanita di sampingnya itu. Dari ekor matanya, wajah Deeva selalu tampak menyebalkan. Dipta menyimpulkan bahwa pantas Deeva tidak memiliki hubungan baik dengan siapa pun, bahkan dengan keluarganya. 

Dipta terdiam selama beberapa saat. Berpikir bahwa dulu wanita di sampingnya tidak seperti itu. Praduga-praduga yang ia pikirkan mengenai perubahan Deeva, membuat Dipta pusing. Refleks, ia memijit pelipisnya.
“Ya, halo!” sapa Deeva kepada seseorang yang meneleponnya.
Dipta berpura-pura acuh, melihat keluar jendela mobil—yang memperlihatkan pepohonan atau pun bangunan di sepanjang jalan yang mereka lewati.

Deeva menyimak tawa puas dari seberang telepon.
“Adik kecil, coba kaulihat infotainment! Ekspresi wajahmu benar-benar membuatku tertawa. Perbanyaklah belajar untuk menutupi semuanya! Berekspresilah yang benar, Adik Manis!”
“Jadi itu semua ulahmu?”
“Wartawan itu? Tentu. Siapa yang selama ini suka berulah ingin menghancurkan hidupmu, selain aku?” tanya Darma balik. “Sudah, ya, Adik Kecil! Siapkan hatimu untuk kejutan selanjutnya yang akan kakakmu ini berikan!”

Sambungan telepon itu pun terputus.
Dipta terkesiap ketika merasakan sebuah tangan melingkari tubuhnya. “Apa yang kaulakukan?” tanya Dipta, tidak nyaman.
“Aku sedang mengisi ulang daya tahan tubuhku,” jawab Deeva sekenanya. Kepalanya disandarkan di dada Dipta.
Deg. Deg. Deg. Suara jantung Dipta yang berdetak membuatnya nyaman.
“Kenapa jantungmu berdetak begitu cepat?” tanya Deeva pelan.
“Jangan berpikir macam-macam, hanya karena jantungku berdetak kencang!” jawab Dipta, tidak suka.
Deeva tersenyum, lalu mengeratkan pelukannya kepada tubuh calon suaminya itu. “Kak Dip, terima kasih.”
“Untuk apa?” tanya Dipta.
“Untuk rasa nyaman yang kauberikan.”
“Aku tidak pernah memberikan rasa nyaman kepadamu.”
“Ya, memang. Namun, tubuhmu selalu memberikannya. Memberikan kehangatan dan ketenangan untuk serakan-serakan kecil hatiku.”
“Serakan-serakan kecil? Jadi, hatimu itu tidak utuh? Lalu, atas dasar apa kau ingin menikahiku?”
“Aku ingin membuatmu selalu berada di sisiku. Aku memang mencintaimu,” jawab Deeva lembut.
Entah mengapa ucapan itu membuat jantung Dipta jumpalitan di tempatnya. Deeva yang mendengar detak jantung Dipta semakin tak karuan, hanya tersenyum.

Aku berharap, pikiran dan hatimu segera sejalan untuk menerimaku kembali di hidupmu, gumam Deeva dalam hati.

Tangan Dipta terangkat, mengelus kepala Deeva lembut.
Tindakan yang dilakukan atas perintah hati itu tidak terduga, bahkan tanpa disadari. Ketika hati berbicara, bahkan memerintah, anggota tubuh tidak kuasa menolak. Namun, ada satu hal yang membuat semua tindakan hati tidak ada artinya, yakni ego yang ada di setiap diri manusia—yang bahkan bisa menutupi ketulusan hati.

***

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang