'Aww..' rintih Nic.
Dimi terkekeh kecil lalu menatap Nic garang.
"Udah gue bilang, jangan panggil gue Kak. Sekali lagi lo manggil gue Kak, bukan cuma pulpen ini yang mendarat di pala lo. Tapi hak sepatu gue."
Nic masih mengelus kepalanya yang sakit akibat serangan mendadak dari Dimi. Nic lalu menyeret Dimi untuk duduk disofa panjang yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dimi mendengus kesal. Nic mengambil sebuah map dari mejanya, lalu membuka dan membacanya.
"Jadi beneran lo Dimi Serrea?" tanya Nic sambil membaca biodata Dimi.
"Ya." sahut Dimi singkat.
"What the hell? Umur lo 25 tahun?"
"Ya, ada masalah?"
Nic meletakkan map tersebut lalu berjalan kearah Dimi. Ia meneliti setiap inchi tubuh Dimi. Dimi yang merasa risih akhirnya bersuara.
"Kenapa sih?"
"Lo terlalu kecil untuk wanita berusia 25 tahun." sindir Nic.
"Heh, dan lo terlalu gede buat anak usia belasan." balas Dimi.
"Gue 17 tahun, 3 tahun lagi gue 20." kilah Nic.
"Dan lo masih butuh 8 tahun buat seumuran dengan gue, bocah."
Nic maju dan memposisikan tubuhnya didepan Dimi. Ia menarik kedua tangan Dimi memintanya untuk berdiri. Dimi hanya menurut patuh. Nic mengelus pelan leher Dimi yang jenjang membuat Dimi sedikit merinding. Nic merangkul pingggang Dimi posesif.
Nic memajukan wajahnya tepat didepan Dimi. Dimi menahan nafas saat perlahan Nic mendekatkan bibirnya ke bibir Dimi. Sedikit lagi bibir mereka akan menyatu. Perlahan, Dimi memejamkan matanya. Dan..
"Ha ha ha lo tertarik ya sama gue?" tanya Nic sambil tertawa. Ia memegang perutnya yang sakit akibat memandangi wajah mupeng Dimi.
Dimi membuka matanya seketika. Ia merasa malu. Mukanya memerah seperti kepiting rebus.
"Setan!! Dasar bocah setan! Lo ngegodain gue ya? Brengsekk ih nyebelinn!!!" teriak Dimi.
"Udah ah haha perut gue sakit nih."
Dimi membalikkan badan lalu segera keluar dari ruangan Nic. Sepanjang jalan menuju meja kerja ia terus-terusan merutuki kebodohannya yang tergoda dengan bocah seperti Nic.
Ting.
Pintu lift terbuka. Didalam lift ada seorang pria yang dikenalnya. Pria yang dulu selalu ada untuknya. Pria yang dulu selalu dipujanya. Pria yang dulu selalu menjadi penyemangat hari-harinya. Tapi itu dulu.
Dimi memilih pergi dan tidak jadi memasuki lift. Ia lebih baik turun dengan tangga daripada harus berdekatan dengan Mac, pria brengsek yang mengkhianatinya.
Baru dua langkah, tangan Dimi ditahan dari belakang. Dimi menoleh dan mendapati Mac yang memegang tangannya. Dimi berusaha menepis tangan Mac tapi gagal. Berkali-kali terus dilakukan tapi Mac lebih kuat. Akhirnya Dimi menyerah dan menatap Mac dengan tatapan dingin.
"Ada apa?" tanya Dimi.
"Dengarkan penjelasan aku Mi." pinta Mac.
"Gak ada yang perlu dijelasin. Mata gue belum buta. Gue masih bisa liat semuanya." sindir Dimi.
"Itu semua gak seperti yang lo pikirin Mi. Gue sama Hilda gak ada apa-apa. Kemaren gue itu.."
"Kita udah berakhir, Mac. Sejak malam itu kita udah berakhir." potong Dimi dengan penuh penekanan.
"Kita belum dan gak akan pernah berakhir." jawab Mac tegas.
Dimi mendecih lalu menatap jijik pada Mac. Belum berakhir katanya?
"Kita udah berakhir. Gue bahkan udah nemuin cowok yang lebih baik dari lo." balas Dimi angkuh.
Mac mengendurkan pegangan tangannya lalu menatap Dimi penuh harap. Berharap kalau yang dikatakan Dimi hanya bualan belaka. Tapi yang didapati Mac adalah tatapan tanpa ragu dari Dimi.
***
Gimana? Makin absurd ya? Hehe.
Di mulmed itu badannya Nic ya, gimana? Menggairahkan kan? Huahaha *tawa jahat
Voment jangan lupa☺
Salam cium dari bibir yang tipis, Endewe.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Bro!
RomanceCinta itu bukan tentang umur. Cinta itu bukan tentang materi. Cinta itu kepercayaan. Cinta itu saling mengasihi.