Nic menepuk bahu Ben, dan berbisik "Kita temenan udah lama, Ben. Gue tau lo boong."
Ben terdiam membeku ditempatnya. Ia tau, ia tak akan pernah bisa membohongi sahabatnya sendiri.
----------------------
Pagi ini matahari sepertinya enggan menunjukkan diri. Diluar langit terlihat mendung, gelap pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
Dimi menyesap teh melatinya, lalu menggunakan mantel warna birunya. Ia berniat akan pergi ke kantor dengan menggunakan bus.
Dimi sedikit berlari menuju halte karena bus yang akan ditumpanginya akan menutup pintu. Untungnya ia dapat masuk sebelum pintu bus tertutup sempurna.
Dimi sedikit menggigil ditempat duduknya. Ia memang sedang tidak enak badan. Tapi demi profesionalisme, ia harus masuk bekerja. Prinsip Dimi : "Selama tubuhnya masih bisa bergerak, apapun bukan alasan untuk tidak bekerja."
Dimi turun di halte yang berada tepat didepan kantornya. Tapi sekarang, awan mulai menitikkan air matanya. Hujan mulai turun. Dan ia masih berada dihalte sekarang.
Dimi berpikir bagaimana agar ia bisa sampai dikantor tanpa kebasahan. Apalagi ia tidak membawa payung. Setelah berkutat dengan pikirannya cukup lama, Dimi memutuskan untuk berlari menuju kantornya.
Dimi berlari kencang memasuki pelataran kantornya. Dan sedikit lagi ia akan sampai dipintu utama dan...
"AWW..!!"
"Dimi!" teriak Ben.
Dimi terbaring dilantai akibat terpeleset dilantai kantor. Ia tidak bisa mengendalikan laju larinya karena ia yang menggunakan heels. Akibatnya ia terpeleset dengan posisi terbaring.
Ben saat itu yang baru saja keluar dari lift segera berlari menghampiri Dimi yang sedang meringis kesakitan.
"Dimi, lo gak papa kan?" tanya Ben.
"Sssshhh..ssshhh." Dimi meringis.
"Ayo gue bantuin keruangan lo." ucap Ben sembari membantu Dimi berdiri.
"Aww!"
"Pinggang gue sakit."
"Gue gendong lo, boleh? Gak enak kalo lo tiduran disini terus." tawar Ben ragu. Takut kalau-kalau Dimi justru mengatainya.
Dimi mengangguk pelan pertanda ia memperbolehkan. Ben mengulas senyum, lalu perlahan mengangkat tubuh Dimi.
Dimi menyembunyikan wajahnya didada Ben, malu karena ia dan Ben sekarang menjadi tontonan seisi kantor.
"Kita udah sampai." ucap Ben setiba diruangan Nic.
Ben mendudukkan Dimi dikursi. Dimi meringis dan berkali-kali berkata bahwa pinggangnya sakit.
"Ben, Nic kok belum dateng?" tanya Dimi saat menyadari bahwa hanya ada ia dan Ben diruangan Nic. Diruangan Nic seharusnya ada Nic, kan?
"Nic bilang dia gak masuk hari ini, pengen refreshing." jawab Ben.
"Sendirian?"
"Maksudnya lo mau diajak?" tanya Ben.
"Gak, bukan gitu maksud gue. Maksudnya lo gak ngikut, kan lo sahabatnya."
"Oh, gak. Dia bilang ini acara liburan keluarga makanya gue sama Niel gak usah ngikut. Tapi ya lo tau sendiri deh kelakuan Niel, itu anak jam segini belum dateng."
Dimi menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan Ben barusan.
"Hmm, Mi. Pinggang lo masih sakit?" tanya Ben.
---------------------------------------------------------------
"Lo gak bisa terus-terusan bohongin perasaan lo, Nic." ucap Niel lalu menyesap rokok yang terselip dijarinya.
"Jadi gue harus gimana?" tanya Nic frustasi.
"Ya lo perjuangin dia lah, lo berjuang. Lo bersaing secara sehat, kan beres."
"Gue gak bisa Niel. Lo tau bahkan gak pernah kebayang diotak gue kalo gue bakal suka sama tuh cewek."
"That's love, Bro. Lo gak bisa ngendaliin siapa yang bakal lo suka, lo gak bisa ngatur siapa yang bakal lo cinta, lo gak bisa. Tapi lo bisa milih siapa yang harus lo perjuangin."
"Dan menurut lo, Dimi harus gue perjuangin?"
"Gue pikir iya."
"Tapi gue gak bisa Niel."
"Kenapa? Karena Ben suka sama Dimi juga?"
Nic terdiam. Tidak menyangkal tidak juga mengiyakan. Tapi itu benar. Benar jika ia menyukai Dimi. Benar jika ia mencintai Dimi. Benar jika ia tertarik pada Dimi saat pertama kali bertemu. Benar. Itu semua benar. Dan benar juga sahabatnya sendiri, menyukai orang yang juga ia sukai.
"Lo gak mau nyoba merjuangin dulu?" tanya Niel.
"Secara gak langsung lo nyuruh gue buat bersaing dengan Ben."
"Kalo bersaing secara sehat, kenapa enggak?"
"Tapi gue gak bisa. Itu bakal nyakitin perasaan temen gue sendiri Niel."
"Ketika lo peduli dengan perasaan orang lain, lo mesti siap dengan segala konsekuensinya."
-----------------------------------------------------------------------
Maaf baru negepost, terima kasih untuk kalian semua yang masih stay sama cerita absurd ini:)
Salam cium dari bibir yang tipis, Endewe.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Bro!
RomanceCinta itu bukan tentang umur. Cinta itu bukan tentang materi. Cinta itu kepercayaan. Cinta itu saling mengasihi.