Sudah hampir 5 menit Anna berdiri di ruang tamu apartemennya, sambil mondar-mandir dan memegang ponselnya. Apa ia harus menghubungi Samudra sekarang?
Anna membuka ponselnya lagi, menatap pesan yang baru masuk dari Daffa beberapa menit yang lalu. Seharusnya, Anna bisa saja mengabaikan Daffa, tetapi ia tidak ingin lagi diganggu oleh laki-laki itu. Anna hanya tidak ingin, perasaannya mendominasinya lagi, Anna tidak ingin kembali kepada Daffa jika laki-laki sama sekali tidak berubah.
Besok ya, Anna. Aku tunggu kamu di kafe biasa. Nggak pakai telat, dan bawa pacar sialanmu itu.
Anna menyugar rambut panjangnya kemudian mendengus. Tubuhnya ia jatuhkan ke sofa ruang tamunya. Bagaimana ia harus memulai kepada Samudra? Apa Anna harus ngomong lebih dulu kepada Lovana?
Anna, kamu baca pesanku kan? Kalau besok kamu nggak datang sama Pacarmu, terpaksa kita harus balikan.
Pesan dari Daffa datang lagi, Anna terdiam, menatap nama Samudra di ponselnya. Apa ia harus menghubunginya sekarang?
Oke, sekarang. Anna siap menekannya, tetapi lebih dulu berhenti. Tapi bagaiman jika nanti Samudra berfikir Anna agresif dan siap merebut Samudra dari Lovana? Anna menggelengkan kepalanya.
"Oke, Anna, deringan kedua langsung kamu matiin. Biar nanti dia yang telfon balik." Anna mengangguk yakin, dan segera menekannya. Menunggu deringan pertama berbunyi, kemudian deringan keduanya.
"Hallo," Anna sontak menjauhkan ponselnya kemudian memukul kepalanya sendiri. Kenapa ia harus menunggu deringan kedua bukannya pertama saja?
"Anna," panggil Samudra dari seberang sana.
Anna menarik napas panjang kemudian mengatur suaranya. "Sam," panggilnya pelan.
"Astaga, alus kali suaramu." Anna melotot. Darimana nada bicara itu Samudra ketahui. Anna menatap ponselnya, memastikan bahwa itu benar-benar suara Samudra. "Ann, ada apa? Lo kenapa?"
Anna bernapas lega. Nah, baru ini Samudra. "Kamu lagi di mana?"
***
Samudra menatap nama di ponselnya sekali lagi. Ini beneran Anna? Kenapa nada bicaranya tiba-tiba berubah. Apa Anna sedang sakit? Atau Anna lagi ada masalah?
"Di Kantor. An, lo kenapa?"
Samudra mengerutkan keningnya mendengar helaan dari seberang sana. Sudah lebih dari tiga kali, Anna menghela napasnya. Apa perempuan itu sedang ada masalah?
"Sebenernya aku mau ngomongin ini di telfon aja, cuma kayaknya kurang sopan." Lagi. Samudra mengerutkan keningnya lagi. Anna benar-benar aneh. Apa itu aku? Ini seriusan Anna yang biasanya galakin dia dan nangis-nangis pas putus kemarin?
"Telfon aja, gue masih banyak kerjaan." Tidak bohong. Samudra memang masih memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum jam makan siang. Tetapi mendengar nada bicara Anna, Samudra ingin langsung tancap gas saja rasanya ke apartemen Anna.
"Oh, yaudah, nanti aja." Nada bicara Anna benar-benar tidak seperti Anna. Samudra kepo sekali, tetapi ia juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dan meladeni Anna yang membuatnya bingung.
"Yaudah, nanti pulang kantor kita ketemu. Mau dijemput atau gimana?"
"Nggak usah," jawab Ann pelan.
"Yaudah, langsung ketemu di kafe biasa aja ya." Samudra sudah siap menutup telfonnya, sampai suara Anna masuk ke pendengarannya lagi.
"Nggak usah."
"Ann, lo kenapa sih?" Samudra bisa membayangkan ekspresi Anna setelah Samudra berteriak, pasti perempuan itu sekarang sedang mencebikan bibirnya kesal. "Yaudah, jam makan siang gue ke butik lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Hour
ChickLitPutus cinta memang menyakitkan. Apalagi dengan alasan sepele yang sebenarnya masih bisa diatasi. Tapi Anna merasa cukup, ia tak lagi merasa cocok dengan Daffa. Bukan berarti Anna cocok dengan cowok lain, tetapi tidak ada salahnya, kan, menerina lak...