#01: Perempuan dengan Dress Putih

13.6K 907 21
                                    

"KENAPA kamu tidak mau menemui orang tuaku, Sam? Mereka benar-benar menunggumu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"KENAPA kamu tidak mau menemui orang tuaku, Sam? Mereka benar-benar menunggumu." Samudra menggelengkan kepalanya mendengar ucapan seorang perempuan di telepon ini.

"Raina, dengarkan aku. Aku disini ada banyak pekerjaan. Aku akan ke rumahmu, jika pekerjaanku sudah selesai," jawab Samudra dengan nada lembut, berharap perempuan yang ia panggil Raina itu dapat mengerti.

"Aku maunya sekarang Samudra. Apa kamu fikir Papa tidak ada pekerjaan, daftar meeting nya sudah menumpuk. Dia menyempatkan untuk bertemumu, dan kamu malah tidak datang. Ya ampun,
Samudra." Samudra menggaruk tengkuknya kemudian beralih mengacak kasar rambutnya.

Sekilas matanya melirik jam dinding ruangannya, dan seketika matanya ikut membulat. Jam 8 malam. Terdengar tarikan nafas panjang Samudra, kemudian ia membuangnya secara perlahan. "Kita gak seimbang. Kita putus aja." Samudra segera meletakan ponselnya di atas meja, tanpa memutuskan sambungan telepon. Selalu seperti ini. Ia tidak ingin dinilai brengsek, yang habis mengucapkan kata putus langsung hilang begitu saja. Ia membiarkan Raina mengomel bahkan meraung meminta maaf, ya tuhan segitu besar pengaruh Samudra untuknya?

Tut! Samudra tersenyum kecil kemudian segera menlock ponselnya. Dan menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi kantornya. "Lo belum terlanjur sayang sama Raina, Sam. Kalem aja." Samudra mengelus dadanya sendiri dan tersenyum kecil.

Samudra bangkit dari duduknya, menatap mejanya yang masih dipenuhi map-map yang berisi kertas yang harus ia pelajari dan beberapa ia tanda tangani. Samudra meraih beberapa map yang mungkin bisa ia pelajari di rumah. Ya, mungkin.

Setelah meraih beberapa map, ia meraih jasnya yang sedari tadi tersampir di sandaran sofa ruangannya. Berjalan keluar, mengunci ruangannya dan berjalan menelusuri koridor kantornya yang mulai terlihat sepi.

"Pak Sam..." Samudra mengangguk sopan menanggapi sapaan beberapa karyawannya yang mungkin sedang lembur.

Dia segera menjalankan mobilnya menuju sebuah coffee shop yang mungkin bisa sedikit menenangkannya. Ya, Samudra lebih suka menenangkan dirinya dengan kopi dibanding dengan alkohol -yang biasa dilakukan orang seumurannya.

Namun sekitar 500 meter sebelum sampai di coffee shop yang ia tuju, kakinya dengan gerakan terkejut menginjak rem, membuat dirinya sendiri tersungkur ke depan karena terkejut juga.

Matanya menyipit saat menatap seorang perempuan dengan mengenakan dress putih sedang terduduk di sebuah bangku yang berada di pinggir jalan itu. Dengan penuh perasaan gentle nya akhirnya Samudra turun dari mobilnya dan berjalan mendekati perempuan malang itu.

"Hey, apa yang lagi lo lakukan disini malam-malam?" Tanya Samudra lembut. Inilah Samudra, selalu lembut dengan perempuan manapun. Hanya perempuan ya, kalau laki-laki yang ada nanti dikira.... Errrr~

Kepala perempuan dihadapannya terangkat, wajahnya yang berwarna kecoklatan itu disinari cahaya lampu taman yang hampir redup. Meskipun gelap, terlihat jelas bahwa matanya memerah. Tidak, tidak hanya matanya, tetapi hidungnya, pipinya, bibirnya, bahkan seluruh wajahnya memerah.

"Lo sendiri ngapain di sini malem-malem, nemuin kuntilanak disini?" Eh? Samudra mengkerutkan keningnya mendengar suara yang keluar dari gadis itu. Suaranya memang terdengar membentak dan berteriak kencang, namun tetap saja getaran itu masih terdengar jelas dengan Samudra. Urusan perempuan, Samudra paling sensitif.

***

"AKU minta maaf, Daff. Sepertinya kita memang udah tidak cocok. Terlalu banyak perbedaan, dan itu membuat aku nggak nyaman," ujar Anna dengan hati-hati dan pandangan tetap lurus menatap wajah Daffa yang terlihat sangat terkejut, menatap dalam matanya yang kini membulat dengan sempurna. Sangat menggemaskan.

"Hobi aku dalam design, kostum, dan banyak sekali cara berpakaianmu yang tidak aku sukai, begitupun sebaliknya. Dan hobi kamu bidang masak memasak, dan aku rasa kamu tahu apa permasalahannya. Dari selera makan saja kita sudah beda. Sepertinya kamu cukup pintar untuk mengelola ucapanku Daff," ujar Anna sambil tersenyum kecil. Air matanya sudah membendung dengan tebal, sekali kedip Anna yakin akan membasahi pipinya.

"Aku gak bisa mengelolanya, Ann." Terlihat tatapan khawatir dari pancaran mata laki-laki di hadapan Anna ini. "Aku nggak ngerti ucapan kamu," sambung Daffa dengan nada sedikit bergetar.

Terdengar tawa rapuh dari Anna. Sebenarnya bukan ini kemauannya, yang Anna inginkan pacar pertamanya ini bisa menjadi pacar terakhirnya juga. Ternyata Anna salah, laki-laki ini tidak memenuhi kekurangannya.

"Ah, maaf. Aku lupa. Kamu cuma bisa mengelola bahan dapur saja." Tawanya benar-benar rapuh. Ini memang sebuah pemula bagi Anna, dan Anna bersumpah bahwa ia tidak tahu bahwa rasanya sakit hati itu sesakit ini. Dan mulai sekarang ia akan berjanji, untuk tidak meledeki orang yang menangis karena putus cinta, karena rasanya benar-benar menyakitkan.

"Anna..." Suara Daffa yang kini terdengar bergetar, membuat mata merah Anna menatap dalam mata Daffa. Matanya penuh kekhawatiran, dan ketakutan. Apa yang sebenarnya ditakutkan oleh chef tampan dihadapannya ini. Apa pisau, atau golok?

"Maaf Daff, tapi ini terbaik. Kita bukan cuma butuh break. Kita benar-benar harus berpisah," ujar Anna makin dengan suara paraunya.

"Kita putus." Anna bangkit dari duduknya dan membalikkan badannya. Sialan, kenapa kau harus menetes sekarang air mata. Umpat Anna dalam hati tak senang karena air matanya turun tidak pada waktunya.

"Ann," Hatinya kembali menghangat saat Daffa memanggil namanya. Namun cepat ia gelengkan kepala, kemudian menarik nafas panjang. Ia tidak boleh goyah, ini yang terbaik. Anna melangkahkan kakinya meninggalkan coffee shop ini. Tempat dimana ia selalu menghabiskan waktu luangnya bersama Daffa.

Ia tidak tahu kemana ia harus pergi, jika ia pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini, itu benar-benar akan menimbulkan banyak tanda tanya bagi orang rumah. Apartemen? Ya, mungkin ke apartemen lebih baik. Namun seketika kepalanya kembali menggeleng, mengisyaratkan bahwa apartemen bukanlah tempat yang pas.

Ia tidak mau harus membereskan apartemen pecahnya keesokan hari hanya karena tissue berserakan dimana-mana. Mending di tempat umum, ada petugasnya juga.

Tubuhnya makin terasa lemas saat mengingat prosesi bubarnya hubungannya dengan Daffa. Tangannya mencengkram erat ujung dressnya, membuat buku-buku jarinya memerah akibat kencangnya remasan tersebut. Kepalanya menunduk dan air mata terus mengalir tanpa henti.

"Hey, apa yang lagi lo lakukan disini malam-malam?" Anna mengangkat sedikit kepalanya, posisi laki-laki yang berdiri dihadapannya ini menjulang cukup tinggi. Nafas Anna terdengar memburu saat matanya secara tidak langsung menangkap sosok laki-laki. Apa dia gak tau, gue lagi sensitif sama laki-laki?

"Lo sendiri ngapain di sini malem-malem, nemuin kuntilanak disini?"

"Lo sendiri ngapain di sini malem-malem, nemuin kuntilanak disini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minggu, 22 Juni 2018.

Golden HourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang