Sesil menyandarkan tubuhnya di tembok, walaupun dia selalu ketus dengan Selin. Selin tetaplah kakaknya, saudara kembarnya, Sesil tak mungkin akan senang saat Selin pingsan. Selin bukanlah orang normal, daya tahan tubuhnya lebih lemah darinya. Jadi jika Selin banyak pikiran atau kelelahan, dia akan tak sadarkan diri bahkan lebih parahnya dia akan koma.
Sesil tertunduk saat membayangkan reaksi ayahnya saat datang nanti, bahkan tangannya bergetar saat mengetikan pesan memberitahukan kalau Selin kembali pingsan. Arian sedang pergi ke kantin karna jam sudah menunjukan jam makan siang. Sesil bahkan tak berhenti berdoa, dia sangat ingin Selin cepat sadar dan pulih. Selinlah yang paling menyayanginya, dan paling ia sayangi.
"Dimana anakku?" suara Adrian menggema membuat bibir Sesil ikut bergetar.
"Apa yang Kau lakukan terhadap Selin?" Adrian menggoyang-goyangkan tubuh Sesil yang diam saja.
"Jawab, pembunuh! Kau mau membunuh Selin juga? Iya?" Sesil tetap diam.
Arian yang baru saja datang melihat Ayah Sesil memarahi Selin membuatnya berlari menghampiri mereka dan memisahkan mereka. "Berhenti om.."
"Siapa Kau? Jangan mentang-mentang kam- ah sudahlah bicara dengan kalian percuma."
Arian menghembuskan napasnya lalu menatap Sesil yang terus menunduk, dia tahu kalau hidup menjadi Sesil bukanlah hal mudah. Sepanjang hidupnya terus menerus disalahkan sang ayah, berusaha menutup telinga jika sang ayah memakinya ini dan itu.
"Kau tenang ya, percaya kalau semuanya bakal baik-baik aja. Kita doakan Selin biar dia cepat sadar, oke?" Sesil mengangguk lemah.
Arian mengeluarkan sterefoam dari dalam plastik lalu mengarahkannya pada Sesil, tapi Sesil menggeleng membuatnya memejamkan mata. Masa-masa dimana Sesil tidak mengeluarkan kata adalah masa tersulit untuk Arian karena dia seperti tidak mengenal orang yang ia cintai.
***
Revin mendesah karena keberaniannya untuk menghubungi Sesil sangatlah ciut, jujur dia khawatir dengan wajah panik Sesil saat meninggalkannya dan Helen siang tadi. Selin? Adik Sesil? Kakak? Revin mengusak rambutnya kasar, dia khawatir hingga hampir membuatnya frustasi. Dengan memejamkan mata, Revin mengetikan pesan dan mengirimnya langsung.
Kau baik-baik aja?
Revin menjambak rambutnya sendiri karena pesan yang menurutnya benar-benar tak menggambarkan dirinya, sejak kapan Revin menjadi seperti ini? Padahal selama hidupnya dia tak pernah menyukai wanita sebesar ini, hanya dia. Sesilia Claudia Ayuda. Getaran di tangannya membuatnya dengan tergesa membuka lock scrennya.
Ya.
Hanya jawaban singkat. Revin menghembuskan napasnya, hanya balasan satu kata. Biarlah, setidaknya Sesil membalas pesannya. Tapi dia masih penasaran dengan siapa itu Selin? Dan tanpa ragu dia menekan tombol tiga.
["Halo curut, apaan nelpon? Tumben!"]
"Dasar kacrut, nelpon dibilang tumben. Nggak nelpon bilangnya sok sibuk."
["Hahaha... santai aja brother. Kenapa?"]
"Selin siapa sih?"
["Selin? Oh itu, buat apaan?"]
"Yaelah... tinggal kasih tahu aja ribet."
["Sabar kek, dasar curut! Kembarannya, udah kan? Bye!"] Tut...tut..
Revin berdecak kesal, kebiasaan Helen menutup telpon dengan tidak hormat kecuali orang yang ia segani. Jadi Selin itu kembarannya Sesil? Tapi kok selama dua tahun disini, Revin merasa tidak pernah bertemu dua orang itu bersamaan. Revin menepuk jidatnya saat mengingat sang kapten basket yang berlari menghampiri Sesil, apa hubungan mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Same but Different (COMPLETED)
ChickLitCERITA INI SUDAH LENGKAP "Anda bahkan tidak tahu apapun. Urusi saja anak kesayanganmu itu yang bahkan hanya berbeda dua menit denganku!" - Sesilia Claudia Ayuda. "Papah cukup! Aku benci papah!" - Selina Claudia Ayuda. "Kamu itu cantik dan pintar...