Sesil menghentikan langkahnya di tengah tangga saat sang ayah memberikan bingkisan untuk Selin, dia hanya bisa tersenyum miris lalu merubah raut mukanya seperti biasa. "Sesilia..."
Selin menatap ayahnya lalu menatap Sesil yang berdiri membelakangi, seseorang yang berbeda dua menit dari Selin itu memutar badannya dengan malas-malasan. "Ada apa, tuan terhormat?"
"Kamu itu ya tidak punya sopan sama sekali, memang ya seorang pembunuh tidak pernah punya sopan santun terhadap orang lain." Selin terbelalak lalu menatap Sesil yang santai saja bahkan dia pergi begitu saja tanpa perlawanan.
"Pah, berhenti mengatakan Sesil pembunuh. Dia-"
"Papah harus kembali ke kantor Selin. Hati-hati di rumah." Selin mengangguk karena dia tidak bisa membantah ayahnya sendiri. Setiap Selin membahas Sesil pasti ayahnya mencari alasan agar keluar dari pembicaraan tersebut.
Selin yang melihat ayahnya telah pergi langsung mencari Sesil lalu dia menghentikan langkahnya dan menatap bingkisan di tangannya. Ayahnya hanya akan memberikan bingkisan untuknya, selalu begitu setiap pria itu pergi dinas keluar kantor. Selin berpikir, mungkin Sesil menginginkannya karena terlalu banyak bingkisan di kamarnya.
Selin menemukan Sesil sedang duduk di pinggir kolam renang dengan kakinya yang ia rendam, Sesil duduk di sebelahnya lalu memberikan bingkisan tadi. "Untuk apa?"
"Untukmu, karena papah terlalu sering memberikanku jadi ini untukmu." Sesil menghembuskan napasnya lalu menatap Selin.
"Tidak perlu, nanti pria itu mengira aku merebutnya darimu. Simpan saja!" ucap Sesil lalu menatap lurus ke depan.
"Tapi Sil-" Selin menghentikan ucapannya karena Sesil meninggalkannya pergi.
***
Arian tersenyum jahil saat melihat Sesil duduk melamun di taman komplek rumah mereka, dia lalu berjalan mengendap-endap berniat untuk mengagetkan teman sejak kecilnya itu. Arian terlalu tahu mengenai gadis satu ini, dan kembarannya, tentu saja.
"Arian Cedric Prawira, hentikan langkahmu!" Arian melongo lalu dia berlari menghampiri Sesil dan duduk di sebelahnya. "Kau ini pelamar eh peramal ya?" Sesil hanya melirik Arian sinis.
"Kita sudah mengenal sejak kecil, aku tahu bunyi langkahmu." Arian tersenyum jahil.
"Ciee so sweet banget sih kamu." Sesil melotot lalu mendorong lengan Arian.
"Gila kamu, yan. Stress!" Arian tergelak lalu dia merangkul Sesil, sebenarnya dia tahu kalau suasana Sesil sedang kacau-karena setiap hari seperti itu dan hanya satu penyebabnya-jadi dia ingin menghiburnya.
"Kalau kamu udah gak tahan, rumah aku terbuka buat kamu."
"Aku tahu. Kamu sudah mengatakannya seribu kali." Arian mendengus lalu menarik hidung Sesil.
"Ya sudah. Kita ke mall aja yuk, aku traktir deh!" Sesil mengangguk antusias, inilah sosok yang Arian tunggu sejak tadi. Childish Sesil.
***
Sesil membuka pintu rumahnya yang langsung disambut oleh ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, tetapi dia tidaklah takut karena dimarahi sudah makanan sehari-harinya. Jadi, salah tidak salah pasti akan dimarahi. Dan Sesil sudah lelah membantah.
"Jam delapan. Dari mana saja kamu? Menjajakan diri?" Sesil menghembuskan napasnya kasar, dan saat itu juga Selin tak sengaja berada disitu karena dia harus melewati ruang tamu jika akan menuju kamarnya.
"Terserah. Saya jelaskan sampe bibir saya berbusapun, anda tidak akan mendengarkan."
PLAK!
Selin terbelalak lalu dia langsung berlari memeluk Sesil. "Papah apa-apaan sih? Dia bukan pulang tengah malam." Seperti biasa, Selin tidak akan di dengar sedikitpun jika sedang membela Sesil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Same but Different (COMPLETED)
Literatura FemininaCERITA INI SUDAH LENGKAP "Anda bahkan tidak tahu apapun. Urusi saja anak kesayanganmu itu yang bahkan hanya berbeda dua menit denganku!" - Sesilia Claudia Ayuda. "Papah cukup! Aku benci papah!" - Selina Claudia Ayuda. "Kamu itu cantik dan pintar...