Chapter 11: Ending or --- ?

3.1K 202 6
                                    

Sesil berjalan ke luar kamar dan menundukkan kepalanya setelah dokter masuk ke ruangan Selin, sedangkan Adrian mengacak rambutnya frustasi memikirkan kemungkinan yang terjadi terhadap Selin. Adrian mendekati Sesil hendak mencaci namun dia urungkan karena dokter telah keluar ruangan.

"Bagaimana anak saya, Dok?" Dokter tersenyum simpul.

"Pasien pingsan karena reaksi dari rasa senang yang berlebihan, syukurlah dia cepat siuman jadi saya tinggal dulu." 

"Terima kasih, Dok." Dokter hanya mengangguk lalu meninggalkan mereka berdua.

"Ada atau tidaknya kamu itu sama saja," ucap Adrian sinis.

"Maksudnya?" Adrian mendengus.

"Masih saja tidak mengerti?" tanya Adrian sambil berjalan mendekati Sesil.

"Jadi anda menyalahkanku? Apa tidak ada pekerjaan lain hingga terus menyalahkanku seperti ini?" tanya Sesil balik sambil menatap sengit.

"Begini? Begini anakku? Yang benar saja! Memang ya sampah sepertimu harus dijauhkan agar tidak menimbulkan dampak buruk."

"Sampah? Sebenarnya siapa sampah disini? Aku atau anda yang berusaha menyingkirkan usaha sahabat sendiri?" Adrian membelalak lalu melayangkan tangannya namun sebuah tangan menahannya.

"Lelaki macam apa berani memukul wanita, tuan?" tanya Revin yang masih menahan sekuat tenaga tangan Adrian.

"Lepaskan!" Adrian menarik tangannya lalu memutar badan, "Kamu lagi?"

"Apa sih yang dia lakukan hingga kamu membelanya seperti ini?" lanjut Adrian mengejek.

"Apa itu penting? Anda menjatuhkan harga diri jika benar-benar memukulnya."

"Hei anak kecil, siapa kamu berani menggurui? Guru? Tuhan?"

"Papah, sudah jangan memulai keributan!"

"Selin!?" Sesil segera berlari mendekati Selin namun Adrian lebih cepat lalu membantu Selin untuk duduk di kursi tunggu.

"Kamu itu baru saja siuman, kenapa banyak bergerak?" 

"Selin sehat, Pah. Aku mohon biarkan Sesil lebih lama disini, aku pingsan bukan karena Sesil. Aku hanya tidak dapat menahan rasa senangku, Pah. Sudahlah," jelas Selin mencoba meyakinkan ayahnya.

"Kalau kamu--"

"Papah, aku bakal mogok makan kalau mengusir Sesil." Adrian menghela napas lalu beranjak pergi setelah mengusap kepala Selin.

Sesil tersenyum miris seberapa besar dia membenci ayahnya, rasa ingin diberi kasih sayang seorang ayah juga dia inginkan. Bagaimana pun dia tetaplah anak, bahkan dia tidak pernah menerima kasih sayang ibu. Hanya Selin yang Sesil miliki, saudara yang sangat memahami dirinya tanpa bertukar kata.

"Revin baru datang?" tanya Selin yang dijawabi anggukan dan senyum dari Revin.

"Sil, maafin papah ya. Mungkin dia banyak pikiran jadi dia seperti ini."

Sesil tersenyum, "Aku sudah biasa, kak. Tak apa."

"Kenapa kamu di rumah sakit dalam waktu lama?"tanya Revin penasaran yang mendapati pelototan oleh Sesil.

"Apa sih? Kepo deh kaya Dora," ucap Sesil sinis, pertanyaan macam apa itu?

"Udah, biarin dia tanya. Ya karena keadaanku sering naik turun sejak Sesil pergi tanpa jejak."

"Maafin aku, Kak. Tapi aku itu--aku--"

"Udah, jangan diterusin kalau kamu emang nggak bisa."

"Kalian ini pacaran?" Revin dan Sesil sontak saling menatap.

Same but Different (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang