Sesil berlari dengan Arian mengikuti di belakangnya, dia segera memeluk Selin sesaat dia membuka pintu rawat kakak kembarnya. Sedangkan Arian berdiri agak jauh dari mereka untuk memberi ruang untuk kedua saudara itu berpelukan.
"Semuanya akan baik-baik aja kak," ucap Sesil sambil mengusap punggung Selin.
Arian tersenyum tipis lalu berjalan mendekat dan mengusap rambut Selin. Dia dan Sesil saling pandang lalu tersenyum satu sama lain beberapa detik karena Sesil sibuk dengan Selin.
"Kita hadapi sama-sama, kakak tahu kalau aku punya banyak kenalan. Kita bisa cari bantuan atau kita bicara baik-baik sama Tante Ren. Ingat kan kalau Tante Ren itu sayang sama kita berdua? Berhenti nangis ya kak?"
Selin mengangguk pelan lalu Sesil langsung menuntunnya menuju ranjang rumah sakit dengan bantuan Arian. Sesil menyerahkan obat sang kakak yang langsung diterimanya hingga tak lama Selin tertidur akibat efek obat yang ia minum.
"Kita kaya suami-istri nggak sih?" Sesil yang hendak menaruh gelas di nakas menghentikan gerakannya karena ia tiba-tiba teringat Revin.
Arian yang melihat Sesil yang terdiam langsung merasa bersalah karena menambah pikiran Sesil, akhirnya dia berdeham untuk menyadarkan Sesil. Percobaan pertama dan kedua gagal, Sesil sadar saat ketiga kalinya.
"Maaf, kalau ucapan aku bikin kamu tambah pikiran." Sesil menoleh pada Arian dan menatapnya beberapa saat lalu ia alihkan.
"Aku cuma bisa bilang kalau kamu harusnya ngerti. Dengan kamu bicara hal seperti itu dapat memperkeruh keadaan." Arian menghela napasnya, Sesil selalu mengatakan hal yang sama setiap kali membahas perasaan Arian.
Ya, Sesil sudah mengetahuinya karena tak hanya sekali Arian menyatakan perasaannya. Di samping dia memang tidak tertarik menjalin hubungan, ada Selin yang tulus mencintai Arian.
Sesil merogoh ponselnya, dia merasa kalau sikapnya tak sopan karena meninggalkan Revin begitu saja di pantai. Lalu suatu pemikiran hinggap di pikirannya, bagaimana Arian tahu dirinya pergi ke tempat itu? Kalau pun itu kebetulan, akal sehatnya tak dapat menerima kemungkinan yang melintas di pikirannya.
"Maaf, nomor yang Anda tuju sed--" Sesil mengernyitkan dahinya, Revin bukan seseorang yang ceroboh kehabisan baterai.
Sesil mencoba menghubungi Revin kembali, namun sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Revin minta buat jangan hubungin dia dulu, kalian kenapa?
Bahkan Revin menyuruh Helen untuk menyampaikan pesan itu. Ya Tuhan, harus apa dirinya jika begini? Sesil menyadari sesuatu, rasa khawatir ini tidak seharusnya hadir jika ia tak memiliki perasaan yang sama untuk lelaki itu.
Kita nggak apa-apa. Revin cerita sesuatu nggak?
Sesil meyakinkan dirinya jika rasa yang ia rasa hanya sekedar rasa bersalah, karena meninggalkan Revin sendirian tanpa kata. Pasti lelaki itu terluka, Sesil sadar bahwa Revin lah penyelematnya jika terjebak di situasi sulit.
Di samping tidak tertarik berpacaran, Sesil merasa untuk tidak menjalin hubungan lebih dari teman di situasi sekarang. Sesil bukan orang yang pintar membagi waktu dan perasaan, bahkan dia tidak tahu hatinya berkata apa.
Dia nggak cerita apapun. Setelah bilang itu, dia pergi gitu aja tanpa bilang mau kemana
Sesil menghela napas, sepertinya Revin memang butuh waktu sendiri. Tapi sampai kapan? Sesil tidak suka mempunyai masalah lain padahal masalah dengan Adrian belum terselesaikan.
"Sesil, bisa kita bicara?" Sesil mendongak dan di hadapannya ada Om Dava, yang ia kenali sebagai tunangan tantenya, Renata.
***
Adrian menggeram sesaat dia menutup pintu ruangannya, ini sudah kedua kalinya dirinya dipanggil oleh kepolisian untuk pemeriksaan. Dan dia akan dijemput paksa jika dia kembali mengabaikan panggilan tersebut.
Renata benar-benar mengganggu hidupnya, seharusnya dia itu segera menikah agar tidak terus merecoki apa yang ia lakukan. Berbeda dengan Ayu yang kalem dan lebih menyukai menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
Suara tepukan tangan membuat Adrian tersentak, dia melebarkan matanya karena Renata berhasil masuk ke ruangannya padahal dia sudah memberitahu resepsionis dan sekretarisnya untuk menghalangi siapapun yang ingin bertemu dengannya.
"Kamu pasti berpikir, bagaimana bisa aku masuk kesini?" Tanya Renata dengan senyum sinis yang terpatri di bibirnya.
"Mudah saja, tapi kamu tak perlu tahu." Lanjut Renata sambil mengambil tempat duduk yang disediakan di lain sisi meja kantor Adrian.
"Mau apa kamu kemari? Belum puas mempermalukan diriku kemarin?" Renata terkekeh.
"Sejak kapan kamu punya malu, Mas Dri?" Adrian melotot, itu panggilan Ayu untuknya.
"Berani-beraninya kamu it--"
"Apa? Mau tampar? Boleh saja, tapi ada seseorang telah berjaga di ruang CCTV."
"Sial!" Renata mendengus.
"Seharusnya memang dari awal, Kak Ayu tidak menikahi orang sepertimu. Dari awal kau adalah penjahat, apa kamu pikir aku tidak tahu kenapa Kak Rama meninggal?" Adrian tertegun.
"Ka-kau menuduh ku?" Renata tertawa sinis.
"Aku bahkan belum menuduh siapa pun, Adrian."
"Jika saja dia tidak meninggal saat itu, pasti seminggu kemudian kakak ku dan Kak Rama akan menikah. Dan mereka sudah mempunyai anak yang disayangi orang tuanya."
Tangan Adrian mengepal kuat, dia bangkit dari duduknya hendak menghampiri Renata namun beberapa polisi sudah masuk ke dalam ruangan ini.
"Angkat tangan! Bapak Adrian kami tangkap atas kekerasan terhadap anak."
"Tapi pak, saya bisa jelaskan." Renata bersedekap sambil tersenyum senang.
"Semua penjelasan dapat bapak sampaikan di kantor." Polisi menyeret Adrian keluar ruangannya.
"Awas kamu Renata, aku---" Suara Adrian teredam bersamaan dengan tertutupnya pintu.
***
Hai guys, ini update chapter 13. Makasih yang masih mengikuti cerita ini. Jika ada typo mohon dimaafkan 😂💪
Bye~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Same but Different (COMPLETED)
Chick-LitCERITA INI SUDAH LENGKAP "Anda bahkan tidak tahu apapun. Urusi saja anak kesayanganmu itu yang bahkan hanya berbeda dua menit denganku!" - Sesilia Claudia Ayuda. "Papah cukup! Aku benci papah!" - Selina Claudia Ayuda. "Kamu itu cantik dan pintar...