Jujur, ketika mau merasakan betapa anehnya di rumah ini, mau tidak mau aku menyentuh segala sisi terburuk. Belum pernah aku terka ada apa setelah kematian Ren. Oh, astaga aku tidak berniat menyalahkan perbuatan buruk Ren saat ini.
"Kau ingin di sini atau mau pulang?"
Entah ya, itu aku berbicara atau Papa. Lihat saja, Papa menyulut emosi Mama. Sebulan kepergian Ren, mereka otomatis berubah. Berubah 180 derajat celcius mirip suhu oven yang kepanasan kalau dinyalakan.
"Di sini rumahku, Mas! Kau nggak ada hak mengusirku!"
Susah-susah menjadi anak berbakti, ujung-ujungnya pasti kena bentak. Berbeda dengan Ren lebih memilih berkutat pada pekerjaan di laptop atau komputer di dalam kamar. Aku, justru berdiri di ambang pintu kamar atau dapur. Berasa mau membanting piring yang aku pegang.
"Sejak kapan ini milikmu!! Ini dari uangku bukan uang kamu!"
"Tapi, aku punya hak tinggal karena aku ikut menyumbangnya!"
"Nyumbang, he? Nyumbang itu benar, tapi hanya foya-foya. Kau nggak perduli aku miskin. Yang kau pentingkan hanya dirimu sendiri bukan kami!"
Nah, nah sekilas aku bisa lihat sebentar lagi merembes masuk ke lingkup kekeluargaan. Pasti nama orang telah pergi ikut tertancap. Aku nggak mau Ren tidak tenang hidupnya melihat Papa Mama menyalahkan orang lain dengan menyebut nama Ren.
"Kami? Di mana kau selama ini?! Kau lebih perduli pada selingkuhanmu pada anak-anakmu! Dan aku--"
"Lebih suka berpolitik daripada kehidupan keluarga. Demi memertahankan kedudukan dan kekuasaan saja di pikiranmu!" Papa sepertinya memberi jeda sekalian mengatur napas, itu bisa aku lihat dan amati. Selanjutnya, aku tidak menyangka mendengar kalimat terakhir di mulut Papa. "Memangnya kenapa aku selingkuh, itu bukan hak kuasa kau lagi. Sebentar lagi kita akan melakukan perceraian. Soal anak, aku nggak mau bawa Leo dan Mao. Sudah cukup, aku merasa bersalah pada Ren."
Sialan! Bahkan setelah mengucapkan itu, Papa lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa ada dosa sekian lama menelantarkan kami? Sungguh tega!
"Aku juga tidak mau menerima mereka. Biar saja Oma mereka yang membawanya, aku tidak sudi punya anak tidak tahu diuntung dan suka membantah! Beda dengan Ren selama ini!"
Sembelit rasanya mendengar itu semua. Kuletakkan piring bersih di atas meja, siap bergulat dengan mereka. Namun, cengkeraman bahu menghentikan langkah aku. Aku mengetahuinya karena hanya dia sendiri di dapur bersamaku.
"Jangan mempersulit dengan ikut-ikutan marah. Biarkan saja mereka." Tepukan pelan di bahuku menunda menyelesaikan omongan sempat tertahan di mulut. "Leo, mereka orangtua kekanakan. Lebih susah melewatinya daripada menjalaninya. Mungkin dengan kehilangan kita, mereka bisa berpikir jernih."
"Sampai kapan?" desisku.
"Waktulah yang menentukan." Mao menatap sendu pada Papa yang menampar Mama. Juga, aku yang terbiasa memandang itu. "Mereka telah membuat cinta dan kasih sayang pergi. Seketika kenangan akan Ren masih bergolak di pikiran Mama dan Papa. Bahkan aku sendiri tidak tahu mau apa lagi ke depannya."
"Hentikanlah aksi merengekmu di hadapanku," kataku seraya memutar bola mata sangat jengah atas kelakuannya. "Kamu itu laki-laki atau bukan, sih? Kata Opa, lelaki pantang merengek, nangis atau semacamnya yang bikin galau merana. Nggak ada kisah hidup lebih dramatis dari ini, he?" cemoohku tidak mendapat tanggapan darinya.
"Tadi habis memotong bawang putih makanya aku menitik air mata," sahutnya berlebihan.
"Terserah!" Aku dan Mao tersentak kaget. "Silakan nikmati sisa-sisa harimu di sini! Aku pulang!" teriak Papa melenggang keluar tanpa belas kasih.
Dan Mama? Melihatnya saja rasanya ngilu. Mama menunduk dengan tubuh gemetar. Mama menangis lagi. Kali ini bukan Ren yang menemani. Kali ini tentang Papa.
Kutatap Mao memakan buah Apel tanpa menjenguk Mama di sofa sana. Aku tahu Mao tukang dramatis keadaan. Bisa kupandangi titik-titik air bening di sudut mata. Lama-lama ikutan galau merana juga.
Aku melangkah menuju Mama, menyentuh pelan punggungnya secara mengelusnya. Sedikit, tubuhnya agak menegang. Walau aku tahu, Mama sudah jarang disentuh. Apalagi pelukan terakhir Mama untuk Ren sepertinya bikin Mama amblas.
"Ma, makan malam sudah siap. Apa Mama mau makan?" Mama berdiri menegakkan tubuh. Tak kulihat lagi wajah berurai air mata terkecuali tampang sembabnya. "Leo masak kesukaan Mama dan makan malam terakhir Leo berada di sini."
Mama tertegun, dilihat dari cara melangkah yang terhenti. Kembali Mama melanjutkan, di sana Mao tersenyum semringah penuh ketulusan. Namanya juga Maoran, tidak ada nama senyum paksa, muram, suram dan sinis. Dari dulu Mao, orangnya lebih ekspresif tanpa ada negatif di auranya. Muncullah kehangatan di ruang makan berkat dirinya, mencairkan ketegangan.
"Mao mau bawa Leo ke rumah Oma selagi Papa bakalan membawa calon isterinya ke sini lusa malam. Mao harap Mama bisa ikutan ke tempat kami," kata Mao terus menyuap makanan.
"Saya nggak bisa. Saya punya rumah di Kuningan."
Lihat! Akibat kami berbicara dengan berniat pergi, Mama berbahasa formil. Kuningan? Jauh amat. Di sini saja lebih jauh lagi kalau mau ke rumah Oma. Ada-ada saja.
"Nggak pa-pa, deh menurut Mama. Asal itu niatnya baik," senyum Mao menentramkan hati.
Salam lambat bagi pengantar. Ini bukan apa yang kalian lihat. Ini sejatinya dari dulu lewat sesungguhnya sebuah kenyataan. Salam ucap pada terlarang, menjadikan hampa untuk tercipta.
Keesokan harinya, mungkin tidak akan sama seperti lalu-lalu.
[Part 1 End]
***
01 September 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️
General FictionIni kenyataan dan itu membuat aku muak terhadap semua ini. Yang penting akan aku kejar dan aku dekap apa mesti aku cari. Aku akan melindunginya setelah mendapatkannya. Ini kisahku, milik Leonardo Kejora Alastair. ------- ©2015, Chasing The Sun by Az...