3. Kelemahan Terbesar

240 14 11
                                    

Hari ini, penuh jadwal kosong, justru aku mesti bertemu dengan anak ... entah mau menyebutnya apa. Mau tidak mau, aku harus ke sana. Dengan kata tersebut, sepertinya tidak ada bantahan.

Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut taman bersama Zeno, sahabat aku dan Ren. Mao? Uh, jangan bilang. Dia itu asal saja pilih teman dan sahabat meski banyaknya menusuk dari belakang. Dari dulu tidak perduli. Itulah kelebihan Mao.

"Itu dia, Leo!" teriak Zeno di dekat aku. Kuping rasanya jadi berdengung gara-gara suara serak Zeno. Menyebalkan sekali. "Sennaa!!"

"Nggak usah panggil-panggil!" Kuusap wajahku seraya menyipit tajam. Paling malas kalau berurusan dengan si perempuan makhluk mengerikan itu. Pasti dia akan ...

"LEO!"

... berteriak dan bikin malu.

Desahku mengembuskan napas panjang melihatnya setengah berlari ke arahku. Lambaian tangan serta pakaian kemeja berwarna krem seakan dialah termanis di universitas ini.

Semakin dekat, aku menatapnya yang malu-malu. Kuangkat alisku dengan mengamatinya. Perempuan seperti ini, otaknya sangklek ya? Malu-malu ketika lihat dua laki-laki sedang menatapnya intens. Intens? Jijik aku dengarnya.

"Kok belum masuk kelas? Tidak kuliah?"

Lah, ini siapa yang bicara? Kelas? Kuliah? Kuintip Zeno yang nyengir tidak berdosa. Ah, sudah aku pastikan aku membolos bersama si curut ini hanya bertemu pujaan sejati. Senna, si ababil.

"Kami kosong jadwal," jawab Zeno tidak memikirkan alasan sebenarnya.

"Maksudnya membolos?" tanya Senna, lagi. Memang dia itu pengertian. Tahu orang tidak ada jadwal kosong, akhirnya membolos.

Cekikikan geli di sampingku menjawab semuanya. Zeno sialan! Lebih baik aku di kelas daripada menemaninya di sini. Anak itu ... siap-siap akan kucincang.

"Leo! Sedang apa kamu di sini?!" panggil seseorang menyerukan namaku. Aku berbalik menatap Athan merangkul bahu dan menyipit curiga pada Senna dan Zeno. Nama saja juga mirip. "Kamu nggak kuliah. Mr. Hendru menunggu kita. Dan kamu, Zeno, jangan bawa-bawa Leo ke urusan pedekate kamu. Mau dapat IPK rendah, he?"

"Sekali-sekali bolos, Than." Air muka Zeno terlihat sedih dan muram.

"Tapi, bukan begini caranya." Athan berkacak pinggang, menuntut Zeno agar bertanggung jawab. "Ini Mr. Hendru yang nggak suka anak-anak didiknya pada bolos. Kamu 'kan, tahu yang bolos akan hukum anak-anak lain. Bagaimana pun caranya," ungkapnya membuatku merinding. Aku melotot ke Zeno, menyuruhnya kembali ke kelas.

"Anuu ...."

Senna menginterupsi. Kupicingkan mata melihatnya setengah gugup. Apa-apaan gugup? Jangan katakan lagi, kalau dia ikut andil dalam masalah ini? Sepertinya butuh dikasih pelajaran.

"Apa?" tanya Athan tidak sabar. "Kelihatan sekali kamu ikutan dalam insiden membolos. Pakai lagi muka tidak berdosa itu. Capek dengarnya, Senna. Dan apa pula kamu di sini? Ini wilayah teknik bukan Ekonomi. Jauh-jauh dari kami."

Padahal aku ingin mengatakan itu, malah keduluan Athan. Senna, menatap Athan horror. Senjata perempuan, menangis. Ini benar-benar menjengkelkan bahkan aku belum sempat bilang.

"Semua ini bukan kesalahan Senna, Than. Ini kesalahan aku." Zeno melodramatis banget. Lihat saja, membela Senna justru salah di mata kami. Sungguh keterlaluan.

Zeno dan Athan siap adu tatapan tajam bagaikan pisau. Kalau di anime, pasti mereka sudah terluka parah. Butuh andil buat melerai karena Senna sepertinya menikmati pertengkaran ini. Dasar, ababil!

"Begini ya, Senna," kataku mengundang perhatian Senna terkagum-kagum padaku. Aku tidak akan pernah mengungkapkan cinta padanya. "Aku salut padamu dan sangat berterima kasih telah mengundang aku ke acaramu ini." Aku beri jeda sedikit. "Tapi, aku nggak suka prioritas aku di kampus hanya untuk bermain-main bersamamu. Aku tidak sudi bergabung, namun karena permintaan sahabat, aku pun rela. Dan jadwal katanya kosong, ternyata ada di hari ini! KAMU YANG MENGHANCURKAN SEGALANYA!" tekanku membuatnya tersudut, menangis terisak.

Butiran air mata menetes di pipinya. Cuih, aku bahkan nggak perduli. Malah berbalik bareng Athan dan Zeno yang merasa bersalah. Cukup hanya Zeno, sedangkan Athan menyeringai licik.

***

"Kamu apain Senna, si anak Ekonomi?" tanya Mao.

Kami berada di kantin kampus dekat dengan Hukum, tempat Mao menuntut ilmu. Karena seseorang dimaksud janjiannya ada di kantin ini. Maka dari itu, aku menyetujuinya. Rasanya malas dekat di sekitar Zeno yang menatapku bersalah. Tadi saja Zeno meminta maaf. Jadi tidak tega.

"Bukan urusanmu!" ketusku.

"Memang Senna itu telanjur suka sama kamu, tapi bukan begini caranya. Kasihan juga lihat dia mengadu ke senior."

Mataku nyaris membeliak lebar mendengar penjelasan itu. "Dia melapor ke senior atas pernyataan aku ke dia? Sungguh luar biasa. Ck, dia itu bikin aku muak!"

"Cara agar Senna tidak mengejar kamu, lagi. Carilah perempuan kamu senangi. Misalnya, seseorang aku bawa ini sekalian permintaan terakhir Ren," tutur Mao.

"Apa hubungannya dengan Ren?"

"Hubungannya ada. Lanjutan penuh gejolak. Kamu sendiri lihat 'kan, gara-gara kamu hal itu tidak pernah terjadi."

"Apaan?"

"Maaf, lama."

Suara familier. Mao berdeham dan tersenyum ramah kepada seseorang tepat di belakang aku, dekat dengan pintu kantin. Suara lembut ini tidak kulupakan.

"Silakan duduk, Tiara." Mao memberikan tempat terjangkau agar aku menatapnya. Sudah lama semenjak aku memarahi dia agar tidak mendekati Ren. "Lama tidak berjumpa. Kamu ke mana saja?"

"Aku kembali ke Aussie. Mama aku butuh aku," sahutnya ramah. Ditatap mataku lembut dan penuh kasih. "Apa kabar, Leo? Sudah lama tidak bertemu setelah terakhir kali kamu ..."

"Aku balik," putusku sepihak meninggalkan dia dan Mao. Aku paling tidak ingin bertemu muka sejak terakhir kali menyuruhnya pergi dari hadapanku dan Ren.

"Leo!!" panggil Mao justru tidak kutulikan. "Kamu akan kudapatkan. Awas saja kamu nanti!"

Duh, singa mengamuk. Mirip kali pertama dia menjemputku di kantin wilayah teknik dengan cara membopongku seperti karung beras. Itu adalah terakhir kalinya aku tidak mau mempermalukan aku di depan publik.

Akhirnya aku balik lagi dan duduk. Kelemahan terbesarku adalah Mao marah. Jika tidak menuruti, dia akan mencincangku sampai ke hulu. Dan aku tidak mau itu!

Di antara ababil atau si pengganggu satu mesti kujalani. Ah, Ren, kamu malah beri aku masalah terbesar.

Kelemahan terbesar aku juga adalah perempuan.

[Part 3 End]

***

02 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang