9. Kenyataan demi Kenyataan

120 11 0
                                    

Siang terik ini, kalau bukan karena pekerjaan akan kupastikan masuk dalam ranjang dan bergelung nikmat di bawah selimut sambil menonton DVD kesayangan. Namun, karena proyek pertama di bulan ini aku mampu mengeyahkan semua itu dari pikiran aku.

Kini, aku lantaran bernafsu bekerja demi meraih masa depan dan mengejar sesuatu yang kasat mata. Melemparkan diri ke pusat bumi, menuntun aku untuk memaafkan masa lalu.

Berkas-berkas di tangan aku begitu sulit dicerna. Mengirimkan emosi. Siapa tidak sangka, laki-laki sudah usia matang dan siap melanjutkan ke jenjang pernikahan malah naik tensi akibat proyek begitu mencengangkan ini.

Ketukan di pintu tidak aku hiraukan, lebih kepada apa di depan mata. Hentakan kaki menggunakan sandal apartemen tidak aku sadari pemilik siapa. Namun, aroma bunga Lily memberikan aku arahan ada seseorang baru aku pelajari buat menyayanginya.

"Susah?" tanyanya sambil menaruh gelas berisi es jeruk. Mantap sekali, sampai aku meraihnya dan meminumnya hingga habis. "Haus banget, ya?" kekehnya geli.

Kulemparkan berkas-berkas itu ke meja, menyandarkan kepala ke pundak gadis di sebelah aku. Tidak kuasa menahan, tangan lembutnya mengusap peluh baru kurasa setelah dia menyekanya.

"Kalau capek, istirahat saja. 'Kan kasihan diri kamu," ucapnya lantaran sedih melihat aku susah payah. "Aku buatkan masakan kesukaan kamu. Kuharap kamu menyukainya," senyumnya pasti akan meleleh kalau ada yang berlama-lama menatap itu.

Butuh sebulan untuk mengarungi samudera betapa indahnya sebuah maha karya, yaitu cinta. Aku tidak respek pada suatu kenyataan ini, tapi hati aku telanjur dagdigdug. Lebih tepatnya jantung berdetak kian marathon.

Buku-buku pemahaman tentang cinta. Atau ciri-ciri seorang pria jatuh cinta pada sosok wanita. Atau buku sekarang jadi populer adalah novel berisikan romantis. Atau komik bergenre shoujo.

Mao bahkan tidak mengerti apa itu cinta, lebih berkutat pada proyek akan kami bangun di luar kota. Kuyakin kalian tidak mengerti bahwa aku telah menetap bekerja di perusahaan Mao, dengan bantuan Mao sangat profesional.

"Mengapa menatap aku seperti itu?" Aku mengerjap dua kali, seakan bingung pada diriku sendiri. "Kamu terpesona pada aku, ya?" tanyanya berbinar.

Terkekeh dan menggeleng, aku menjitak kepalanya mampu membikin dirinya meringis seraya mengusap bagian aku jitak. "Jangan kege-eran kamu. Aku terlalu menghayati perkembangan pekerjaan aku, nggak disangka aku malah melihati kamu," canda aku membuatnya cemberut.

"Tapi, 'kan kelihatan banget kamu terpesona." Matanya terlihat berbinar, berharap. "Aku serasa terbang, seperti aku pernah mengalami ini. Seolah aku ditakdirkan bersama kamu."

Pengucapan kalimatnya membuat aku mematung, tidak berkata banyak. Hanya berupa gumaman. Entah terdengar di telinga atau hanya angin yang lewat.

***

Bolak-balik aku membuka buku, membaca isinya dengan fokus mata. Tidak aku hiraukan dua sahabat aku terlihat canggung ketika aku meminta mereka datang tanpa sosok perempuan membikin aku jengkel setengah mati. Yeah, mereka sangat terkejut saat aku mengatakan aku mengingat di mana mereka menipu aku.

"Leo," panggil mereka yang aku acuhkan. "Leo," sekali lagi aku berpaling ke buku yang kubaca. "LEO!!" teriaknya menyudahi aksi cuek.

Aku menutup buku dan kusimpan di meja, menyilangkan kedua kaki dan kedua tangan sambil menatap mereka acuh tak acuh.

"Mau bicara apa?" tanyaku datar, membuat mereka terkejut dan ... gugup.

"Emm ...."

"Kalau tidak ada yang mau bicarakan, akan aku katakan sekali lagi." Lewat sudut mata, ada sebuah bayangan bersembunyi bawah pohon rindang sangat besar. Aku menunjuk hingga mereka memandang arah penunjukkan itu. "Panggilkan dia dan bawa ke sini!" perintahku.

Mereka berdua tersentak kaget, terburu-buru bangkit dan berjalan ke pohon lebat di ujung sana. Menarik tangan seorang penguntit, yang aku tahu wajah itu familier.

"Sudah lama ya ...," deham aku sengaja jeda. "... Senna."

Sosok itu sontak tertegun mengapa aku bisa menyebut namanya, sedangkan dia menutup diri menggunakan masker dan jaket berbahan wol. Lewat gerak gerik yang suka sekali mengikuti dua sahabat dan aku ke mana-mana. Juga lekuk tubuhnya sudah terekam di otak.

"Leo?"

Ini bukan perempuan di depan dan sengaja aku memanggil seseorang ke sini sebagai bentuk penghormatan aku agar menghentikan semua kelakuan tidak beradab.

Sebuah kecupan di pipi mengantarkan aku menuntun dia duduk di sebelah aku, menyuruh dua sahabat menyuruh si gadis yang melongok untuk mengikuti apa dilakukan orang aku sayangi di samping aku.

"Sejak kapan?" Pertanyaan kali ini bukan dari sebelah aku, tetapi dari Senna yang berkaca-kaca. "Sejak kapan kamu memilih dia?"

Kuraih tangan, lalu kugenggam erat. "Sudah lama. Sejak aksi pengeroyokan kamu lakukan yang tidak terima penolakan aku untuk kamu," ujar aku datar menatapnya.

Senna gemetaran, seperti menahan amarah dan malu. "Kamu 'kan tahu, aku suka sama kamu! Tapi, kenapa malah memilih perempuan sok baik hati ini!" tunjuknya ke arah Tiara.

"Jika menyukai, pastilah tahu bahwa tiada kata untuk saling menyakiti." Ketahuilah, aku bisa menyangkal itu tetapi itu bena adanya karena aku tidak menyukai Senna. "Kamu tidak mengharap ke aku, tapi ke Maoran," selidik aku membuat Senna menegang. "Benar 'kan, Senna?"

Kembali lagi tubuh Senna gemetar. Kedua bahu terguncang hebat. Aku mengeratkan genggaman itu untuk membikin aku kuat dan tidak takluk pada perkataan Senna.

"Dari dulu aku memang menyukai Maoran, saudaramu." Otomatis, aku dan dua sahabat aku terkejut bukan main. "Aku yang tidak bisa bersamanya. Demi melihat dia, aku mesti membanting harga diri aku agar Mao bisa melihat aku seutuhnya tanpa melihat yang lain."

Kegemingan kami rasakan tidak luput dari penjelasan Senna tentang Mao, katanya mampu memporak-porandakan hidup Senna.

"Walau Mao ceria dan bahagia di sekitaran orang. Nyatanya, dia hanya menatap satu orang penuh kesedihan." Senna terisak, aku pun tidak berkata untuk menenangkannya. "Dialah saudara kembar aku, Sierra."

Sierra?!

Astaga, jangan katakan alasan Mao menutupi kesedihannya dan kesuramannya adalah perempuan sangat mirip dengan ada di depan aku.

"Sierra? Siapa dia?" tanya Tiara meminta jawaban aku dan dua sahabat aku.

"Dia, gadis baik hati nan lembut. Suram dan tidak bisa didekati. Anak teknik juga," jawab Athan mengetahui pemikiran aku justru berdiam diri. "Sayangnya, semenjak insiden dua tahun lalu, Sierra koma. Kecelakaan menghancurkan hubungan persaudaraan dan tidak kami ketahui permasalahannya di mana."

Insiden dua tahun lalu. Pertengkaran hebat dilakukan teman, yang aku sadari adalah teman Senna, dengan Sierra memancing sekitar untuk melihat. Pertengkaran itu mengakibatkan Sierra didorong teman Senna hingga ada kendaraan lewat, menabrak Sierra menyebabkan Sierra mengalami koma berkepanjangan. Mobil yang menabrak entah hilang ke mana sejak aksi itu. Raib.

"Itulah mengapa Mao membenci aku," ujar Senna menyentak kami dari keterdiaman. "Aku curhat pada teman baikku, mengatakan ini-itu. Aku juga ikut andil terhadap kecelakaan Sierra. Karena mobil aku kendarai itu adalah milik aku, hadiah dari Papa."

Dan kini, aku terkejut banget sampai mata dan mulut aku terbuka.

Dialah pelaku sebenarnya dicari Mao.

[Part 9 End]

***

09 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang