6. Perbedaan dan Persamaan

131 12 7
                                    

Ketika bermula aku tidak terpengaruh dengan ancaman apa pun, dikarenakan aku paling bisa melihat titik kelemahan pas untuk diutarakan. Aku mampu membuat mereka tidak bisa berkutik.

Lampu merah telah menyala, itu tandanya aku siap dimarahi oleh orang sedarah dengan aku. Saat ini, dia mesti berurusan dengan pihak dekan dan dosen soal perkelahian sejak sore tadi.

Sekarang aku ditemani Oma sedang mengupas Apel, buah kesukaan aku. Bersama Tiara, duduk di ujung sofa dekat jendela. Bisa kutebak, Papa Mama mana mau menjenguk anaknya yang merupakan korban amukan kakak senior. Lihat babak belur saja langsung muak.

Kondisi memprihatinkan adalah aku susah bergerak. Bukan karena selang infus menancap di lengan kanan aku, tapi luka-luka nyeri di sekujur tubuh. Sempat aku muntah darah. Itu artinya pukulan di perut menandakan semuanya.

Sekilas aku tahu, aku akan dimarahi Oma. Namun, si penasihat belum muncul jadi berharap cemas menunggu. Berharap omongan dia tidak keterlaluan dan menyinggung hati aku.

BRAK!

Akhirnya dia muncul juga, si Maoran. Tatapan matanya yang tajam. Raut wajah yang memerah. Tonjolan di leher, naik turun. Rahangnya juga mengeras. Juga kepalan tangan memegang kenop pintu seolah memutih, agak mirip dengan dinding kamar rawat aku ini.

"Jelaskan!"

"Eh?" Oke, aku agak tidak ngeh maksud pertanyaannya itu. "Soal apa?"

"Jangan mutar-mutar kalau tahu segala kondisi!" bentaknya membuat aku tersentak. Sekarang, aku mengerti. "Apa kejadian tadi ada hubungan dengan kamu atau ulah Senna?!"

Aku menghela napas panjang. "Pasti Senna bicara tidak-tidak?" Ragu-ragu, Mao mengangguk. "Kali ini, aku tahu siapa yang suka sekali menutupi kebenaran. Kamu itu saudara aku, pastilah tahu mana benar mana bukan."

"Masalahnya, dia mengatakan bahwa kamu berkelahi untuk mendapatkan dia!" ujarnya membuat aku tertegun.

Sialan sekali kamu, Senna! Aargh!

"Enak saja aku berkelahi untuk dia!" Gigi aku bergemeletuk dengan gigiku yang lain. "Seenaknya saja aku menyukai dia. Tapi, terserahlah. Orang-orang banyak percaya dengan si gadis ababil itu. Karena sebentar lagi, aku akan keluar dari kampus."

Sentilan di kening membuat aku mengaduh. Kini Oma yang menyentil aku, aku meringis. "Bukan keluar, tapi kamu sengaja datang ke sana. Kamu 'kan sudah lulus tahun lalu semenjak Ren keluar."

"Iya, Oma. Aku tahu makanya sengaja bilang begitu." Sudut mata aku menangkap Tiara menutup mulut sembari menahan tawa. "Sengaja karena ada cucu perempuan kesayangan Oma."

Mao dan Oma mengalihkan pandangan dari aku ke Tiara yang kikuk. Aku terkekeh melihat semburat warna merah muda di pipinya.

"Kapan aku pulang, Oma?" tanyaku mengundang perhatian, seraya mengambil irisan buah Apel. "Bau Rumah Sakit seakan membuat aku mau muntah."

Trauma akan kematian Ren.

"Tiga hari."

Diraih piring berisi potongan Apel ke pangkuan Mao, aku melongok. "Apel aku itu!" imbuhnya, setengah bangkit untuk mengambil milik aku.

"Tuh, dibuatkan Oma lagi." Aku cemberut dan menatap Oma tersenyum melihat aku berebut Apel di tangan Mao. Kembali Oma mengupas untuk aku. Duh, rasanya ingin memeluk Oma.

Tubuh aku memang agak nyeri di bagian-bagian dipukul, namun karena disayangi Oma dan Mao, aku melupakan kesakitan aku.

Jujur, betapa besarnya jasa Oma merawat kami hingga besar. Selalu menasihati apabila kami berbuat salah. Menyayangi dan mengantar kami ke sekolah. Mendidik kami agar jadi lebih baik.

Beda dengan orang tua yang jarang atau hampir tidak pernah merawat, mengurus, mendidik dan menyayangi kami. Tapi, sejak Ren sakit-sakitan tiga tahun lalu, mereka mulai memperhatikan. Hanya Ren bukan kami berdua.

***

"Beda sekali kamu dengan Mao," tutur Tiara menyuapkan aku makanan Rumah Sakit dibawa suster tadi. "Kamu itu judes dan sinis kalau ke orang lain, sedangkan Mao, orangnya suka ceria dan tertawa."

"Hm."

"Ren juga. Kalau bicara biasa, dia selalu mengangguk atau menggeleng. Bicara pun juga singkat, agak kaku dan pendiam. Marah pun, Ren cuek-cuek saja bukan melayani kemarahan mereka," tambahnya lagi.

Aku menelan suapannya. "Dari dulu Ren orangnya tidak perdulian tanggapan negatif maupun positif tentangnya. Orangnya tidak mau capek. Menguras emosi dan tenaga. Tidak ada untungnya, katanya."

"Memangnya harus ada untung?" tanya Tiara terus menyuapi aku.

"Bukan. Sebenarnya apa akan dia dapatkan kalau misalnya dia meladeni orang lain, seperti mengfitnah dia." Tiara mengangkat bahu. "Tidak ada. Sesusah apa pun seseorang menarik perhatian Ren walau dikasih positif, tidak direspon dan berbalik ke negatif, tidak ada tanggapan. Ren butuhkan adalah keluarga dan orang-orang menyayanginya."

"Jadi, misalkan fitnah muncul atau pernyataan sepele atau kecil? Bagaimana?"

"Tidak ditanggap juga." Aku menyandarkan kepala aku di bantal. "Katanya, kalau menanggapi fitnah atau masalah sepele itu, sama saja masuk ke dalam lingkaran mereka buat. Membenarkan apa yang mereka katakan tentang kita. Karena kemarahan akibat dari ucapan mereka dan pembuktian lewat omongan, bisa menyebabkan perkataan mereka terbukti."

"Terus?"

"Akhirnya Ren membuat sebuah tindakan, kuyakin mereka akan bungkam seketika. Yaitu, usaha pembenaran. Biasanya omongan tidak bisa dianggap jujur, tapi tindakan adalah sebuah kejujuran." Aku meneguk air putih hingga tandas pemberian Tiara, menyerahkannya kembali.

"Mao?"

"Perbedaan aku, Mao dan Ren. Biarpun secara biasa, Mao kelewat ceria dan bahagia, tapi kalau marah, Mao itu menyeramkan. Beda dengan aku yang biasa pasti jutek dan sinis, dan marah pun juga aku keterlaluan sinisnya." Aku tersenyum ke Tiara. "Itu perbedaan antara aku, Mao dan Ren. Tapi, motivasi pedoman kami adalah Ren. Karena dia mengajarkan kami segalanya."

"Persamaannya?"

"Kami ini kembar, tahu mana terbaik juga terburuk."

"Apa karena aku terburuk untuk Ren sehingga yang terbaik, dia meninggalkan aku?"

Pertanyaan Tiara kali ini benar-benar membuat aku tidak bisa menjawab.

[Part 6 End]

***

04 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang