4. Terkekang oleh Tanggung Jawab

172 11 4
                                    

Hari-hari terhitung dari jari aku dan ingatan menyebabkan aku tidak bisa tidur. Terngiang sebuah mimpi di mana aku bertemu Ren tersenyum lebar ke arahku. Sesaat enggan mendekat, namun justru dialah duduk di sampingku.

"Gimana kabarmu?" tanyanya masih mengulas senyum lebar. Aku mendesah pelan.

"Baik. Kamu?" Aku menanya balik.

Ren memandang lurus ke depan, tetap tersenyum. "Sakitnya sudah hilang. Rasanya lega sekali. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua perasaanku ini."

"Segitunya?"

"Bila kamu mati dari dunia sandiwara, kamu akan tahu bagaimana rasanya." Ren mengalihkan ke arahku, aku tersenyum simpul. "Kuputuskan kamu tidak salah langkah akibat kepulanganku, Leo."

Aku termenung mendengar kalimat ambigu diutarakan Ren. "Soal apa?" tanyaku mengernyit.

"Tiara."

Tubuh aku menegang, seakan meradang mendengar sebutan nama paling anti kuresap ke ingatan. Betapa malasnya aku menyebut nama itu dari mulut Ren.

"Kenapa dia?"

Bangkit, aku mendelik pada Ren yang mengetahui aku akan seperti ini. "Hentikan kekanakan, Leo! Kamulah menghentikan aku buat memulai. Kamulah menghadang aku untuk bertemu dengannya. Kamulah bagaikan sebuah duri menancap di hati akibat rasa bersalahku. Sudah cukup, Leo!"

"Aku malas membahasnya, Ren! Dia bukan apa-apa. Dia hanyalah apa-apa yang muncul di kehidupan aku setelah kepergianmu!" hardikku menunjuknya tepat di wajah Ren.

"Tapi ...."

"Ren, aku mati-matian menghilangkan dia dari kehidupan kamu. Okelah, karena kamu peka disebabkan keterdiaman kamu itu. Tapi, nggak harus menyuruh aku untuk mengawasi dia selama setahun penuh!" Aku mengembuskan napas berat. Sesak. "Sudah cukup dengan dia yang drama queen. Aku tidak mau dia ada di sekitar aku!"

Ren bangkit, menatap tajam ke manik mataku. "Kamu keterlaluan, Leo! Apa masalahmu?! Mao saja tidak keberatan melakukannya, tapi kamu justru mengabaikannya!"

"Cukup, Ren! Kamu itu sudah meninggal. Jangan bawa-bawa diri kamu ke lingkup kehidupan aku. Cukup permasalahan kamu buat selepas kepergianmu meninggalkan kami!"

"Oh, jadi kamu bersyukur karena aku telah pergi?" Aku tertohok pada pernyataannya. "Sudahlah. Aku benar-benar tidak paham pada obrolan menyesakkan ini. Adikku yang kusayangi malah menganggap kepergianku merupakan masalah."

"Ren, aku ...."

"Aku pergi."

Badanku terpaku di tempat melihat Ren pergi meninggalkan aku. Suaraku tercekat di tenggorokan. Rasanya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena telah menyakiti hati Ren. Aku sangat keterlaluan. Payah!

"Leo, saatnya pergi." Lambaian tangan menghancurkan lamunan tentang semalam, aku berdeham sejenak. Aku menatap Mao memiringkan kepala, agak bingung pada kelakuan aku. "Kamu sakit?" tanyanya khawatir.

Menggeleng, aku berdeham sekali lagi. "Mau ke mana?"

"Temani Oma. Aku nggak mau menyesal membiarkanmu di sarang binatang berkeliaran." Kulit aku jadi meremang mendengarnya. "Kamu mau, 'kan?" ajaknya lagi.

Aku mengangguk, menyetujui ajakannya mungkin bisa mereda beban pikiran aku akibat kurang tidur. Kuraih jaket di atas ranjang, mengikuti Mao menuju teras di mana Oma sudah menunggu.

"Boleh tidak, kamu memenuhi permintaan aku," ujarku sebelum memasuki mobil.

"Apa?"

"Kapan aku bisa terhindar dari semua penghuni binatang di dalam rumah ini?" kataku kesal ditanggapi kekehan geli dari Mao. "Pertanyaan aku tidak pantas kamu tertawakan!"

"Padahal aku nyaman," ucapnya seolah dibuat polos.

"Malah aku tidak terasa nyaman, bego!" imbuhku menyatakan kekesalan aku selama seminggu di mana aku sudah berapa lama tinggal di rumah Oma. Aku pastikan bukan milik Oma, tapi untuk penghuni hutan disediakan Mao.

"Ya, ya." Mao menggedikkan bahu, malas. "Aku belum tahu mau ditempatkan di mana kita nantinya. Oma belum ada kejelasan tentang tempat tinggal. Aku pun masih lebih suka tinggal di sini. Adem dan enak buat dihirup."

"Menghirup kotoran, sih iya."

"Kejamnya kamu, Leo." Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. Malas menanggapi sikap dramatis kalau sedang galau.

Kami pun masuk ke mobil Oma, Alphard berwarna silver. Kepunyaan Oma terbilang kaya raya. Oma merupakan Ibu kandung Papa yang lebih memilih menjaga cucu-cucunya daripada ikut Papa bersama selingkuhannya.

"Kalian lama sekali. Ada apa?" tanya Oma melihat wajahku keruh dan wajah Mao yang suram. "Oma tahu, pasti masalah tempat tinggal. Oma tidak keberatan ada hewan kesayangan kamu, Mao." Si kembar identik aku tersenyum lebar karena dibela. Aku menggerutu kesal dalam hati. "Tapi, kamu tentu tahu bahwa Leo tidak terbiasa dengan kebiasaan kamu. Boleh karena Ren menyukai perbuatan kamu, tapi Leo itu trauma pada hewan. Sebagai Kakak di keluarga ini, kamu mestinya mengerti permasalahan Adikmu."

"Iya, Oma," sahut Mao mematuhi perkataan Oma. "Tenang saja, Oma. Mao telah membeli apartement di Kemang." Mataku hampir meloncat. "Sebenarnya milik Ren, warisan dari Opa sebelum meninggal. Hehe," nyengirnya tidak luput dari keterperangahan aku.

"Sekarang kita ke rumah Tiara."

Jduaar!

Astaga, aku lupa kalau Oma begitu antusias mendengar dia telah balik ke Indonesia. Oh, tidak. Sementara aku tidak tahu bagaimana caranya turun karena Pak Rahmat sudah mengendarai Alphard ini menuju rumah dibilangan Jakarta Selatan, Ps. Minggu.

Mampus aku!

***

Duduk melamun sambil cemberut rasanya sungguh tidak enak. Lihat saja, Oma dan Tante Alfi mengobrol, sedangkan Mao tertawa dengan si Tiara-Tiara itu. Betapa mengesalkan hidup sendiri.

"Jadi, bagaimana?" ucap Tante Alfi, Mama Tiara. "Ini permintaan belum sempat terpenuhi. Lagi pula permintaan aku untuk Ren tidak terbalaskan olehnya. Untung saja Ren menyebut satu nama."

"Siapa, Tante?" tanya Mao ikut nimbrung pada pembahasan tentang apa itu. Bahkan Mao lebih semangat.

"Ini soal tanggung jawab." Oma menyela. "Sebenarnya sebelum Ren mengembuskan napas terakhir, Ren meminta satu orang untuk menggantikannya. Tanggung jawab masa kecil. Sebuah perjodohan."

Petir menggelegar tepat di antara diri aku dan di ambang batas kehidupan aku. Tidak terbayangkan aku akan mendapatkan tanggung jawab begitu besar, kuyakin ini bukan Mao yang diharapkan tapi karena aku yang mengakhiri segalanya dengan cara memulai menjauhi mereka.

"Permintaan Ren menyebut dirimu, Leo, agar meminang Tiara sebagai istri masa depanmu. Karena Ren tidak bisa dan Mao tidak berniat menyetujuinya, akhirnya kamu satu-satunya yang bisa." Penjelasan Tante Alfi menghunus ulu hati aku.

Seringai menyebalkan terpampang jelas di bibir Mao. "Itulah akibatnya selalu kamu hindari pertemuan antara Ren dan Tiara," bisiknya tepat di wajah aku yang kusut.

Sungguh keterlaluan kamu, Mao! Grrr!

[Part 4 End]

***

03 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang