7. Rahasia di Atas Jejak

106 11 2
                                    

Menempati rumah tinggal baru, itu rasanya asing. Tetapi, itu lebih baik daripada tinggal di kandang penuh binatang tidak jelas. Aku seperti menemukan napas segar setelah menjejakkan kaki di tanah apartemen ini.

"Silakan pilih kamarmu yang mana," kata Mao menyandarkan barang-barang dibantu Pak Ujang ke dalam kamar di sebelah Mao. "Aku pilih kamar dekat ruang tamu. Kamu dan Oma menghadap ke jendela, sedangkan Pak Ujang dan isterinya di dekat dapur." Mao tersenyum lebar. "Fasilitas memadai, karena dipenuhi AC."

Memutar bola mata, jengah atas kelakuannya bin ajaib. Aku tidak protes. Aku malah bersyukur tidak ada bantahan dan penolakan ketika dia meminta tetap tinggal di rumah lama sambil menemani binatang-binatang menjengkelkan.

"Oma istirahat saja. Biar Mbok Laras pijat Oma kalau Oma pegal, naik lift menuju lantai 20."

Lagi-lagi aku mendesah kasar. "Kita pakai lift, bukan pakai tangga. Tentu saja Oma nggak akan capek. Hanya lesunya, kenapa bisa di lantai 20?"

"Hanya ini paling besar dengan 5 kamar tidur ditambah 1 kamar tamu. Dapur agak besar. Ruang tamu luas. Kamar mandi ada di kamar masing-masing. Dan udaranya sejuk apabila membuka jendela lebar-lebar," jelasnya panjang lebar.

Aku menaikkan alis, "seberapa kaya kamu hingga bisa mengeluarkan uang sebanyak itu?"

"Tidak seberapa banyak." Mao menggedikkan bahu. "Aku hanya mengambil separuh uang Papa, jadinya sisa sedikit. Biarlah, kasih hukuman ke Papa tidak memberi kita uang jajan selama ini."

Aku melotot. "Serius kamu? Kamu ambil uang Papa?!"

Oma menyela sebentar, tahu bahwa ini masalah besar. "Nak, kamu belum minta izin ke Papa kamu 'kan? Apa dia tidak marah?"

"Justru Papa kelimpungan." Aku menganga mendengarnya. "Bahkan aku telah memberi peringatan, Papa tidak akan menemukan kita. Rumah lama telah dijual serta isinya. Itu kebutuhan kita bersama selama lebih dari tujuh turunan."

Dengan mengusap wajah kesal aku, aku menatap tajam pada Mao yang biasa-biasa saja melewatinya. "Kamu tidak kasihan sama Papa dan isterinya?"

"Malah aku nggak kasihan kedua-duanya terutama Mama."

Oma dan aku saling berpandangan, tidak mengerti tentang perbuatan Mao membuat Papa Mama sengsara. Ada apa semenjak aku berada di Rumah Sakit? Papa Mama bahkan tidak menjenguk aku. Hanya Tiara, Oma dan Mao saja yang selalu mendampingi aku.

Tepukan pelan di bahu mengembalikan aku ke dunia nyata. "Nggak usah dipikirkan. Urusan Papa Mama adalah masalah aku. Aku 'kan, sudah bisa mengurus perusahaan aku sendiri yang kurintis bersama Ren. Kegiatan ini belum diketahui Papa Mama."

"Lantas, apa terjadi nanti besoknya? Telepon akan datang dari mereka ketika kita tidak memberi mereka sebuah pernyataan yang jelas."

"Maafkan aku, Oma, Leo." Mao, berwajah muram. "Aku mencabut SIM card di handphone kalian masing-masing. Aku pun beli yang baru."

"Tuhaaan!" Aku bersimpuh, ngeri dengan alasan Mao. "Kamu tidak perlu seperti itu!" teriak aku menyerukan penolakan.

Mao mengembuskan napas panjang. "Suatu saat kamu bakalan mengerti, mengapa aku melakukan ini untuk kalian semua." Mao berbalik. "Aku mau ke kamar. Aku capek."

Tertatih dengan keletihan batin dan fisik, aku duduk di samping Oma dan memeluknya. Aku tahu Oma terisak karena sebentar lagi Papa tidak memiliki segalanya. Uang dari Oma diberi ke Mao tidak Mao kasih ke Papa sebagai permintaan dari Papa. Nyatanya, Mao menyalah gunakan. Entah mengapa, Mao menyembunyikan segalanya dari kami.

***

"Leo!"

Aku sontak terperanjat kaget mendapati Tiara, gadis manis berambut hitam panjang digulung asal-asalan duduk di tepi ranjang aku. Aku menyipit ke arahnya, tidak percaya kedatangannya.

"Mau apa kamu ke sini?"

"Jenguklah," jawabnya tersenyum. "Sekalian lihat apartemen baru kalian." Sepasang netra hitam mengedarkan ke segala penjuru kamar aku. "Kereen! Beda banget dengan kamar aku di Samarinda. Ini tentu harganya sangat mahal! Mao benar-benar jenius dan sangat kaya."

Aku duduk di sampingnya. "Kenapa bilang begitu?"

"Saat ada Ren di samping Mao dan membantunya, penghasilan mereka meningkat kemudian membuka cabang di mana-mana." Tiara tersenyum, pasti mengenang Ren. "Mereka pekerja keras. Ren, lebih memilih berhenti kuliah dan Mao sudah selesai masa skripsi memutuskan bekerja dari awal tanpa bantuan orangtua kalian."

"Tentu saja," sahut aku. "Papa Mama tidak suka melihat kami bekerja. Cukup kuliah saja tanpa uang jajan ditambahkan. Mereka itu walau sedikit pelit, tapi perhatiannya segunung. Hingga akhirnya Ren putus kuliah, Papa Mama tidak memberi kami segepok uang lagi buat kebutuhan. Itulah mengapa, Mao cari kerja dan membangunnya tanpa sepengetahuan mereka."

"Eh?" Aku menoleh melihat Tiara yang kaget. "Mereka tidak tahu kalian kerja?"

"Entahlah." Aku berbaring di atas seprai berbahan lembut, diikuti Tiara di samping aku. "Mao dan Ren tidak mengizinkan aku ikut. Aku disuruh menyelesaikan masa kuliah aku. Dengan begini, aku mampu cari kerja sesuai keinginan aku."

"Mereka tidak kasih tahu pekerjaan Mao dan Ren itu apa?"

"Mereka diam." Aku menatap Tiara. "Dan mereka menyembunyikan sebuah rahasia sampai keesokan harinya, aku hanya diam. Mungkin Mao akan mengatakannya tanpa aku minta."

Tiara tidur menyamping, menatap sendu mata milik aku. "Aku tetap di sisi kamu, Leo." Pelukan ini menghangatkan. "Aku ada di samping kamu."

Rahasia aku tentu akan kuceritakan pada kalian. Perlahan-lahan, aku pun menerima Tiara. Meletakkan harga diri dan ego di tingkat terendah. Aku harap semua selalu ada di sini, sejejak langkah menghampiri.

[Part 7 End]

***

07 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang