2. Sensasi Baru

251 16 6
                                    

Tubuhku terguncang hebat kesekian kalinya, serasa remuk dan menjadi-jadi. Kugerakkan sedikit badanku dan memulai menenangkan seakan meregang sedikit, namun tubuhku seperti disentil hebat.

"Woy!! Leonardo Alastair, bangun!!" teriak seseorang sangat familier di kupingku. "Ini waktunya masuk sekolah. Kamu mau berada di sini terus menerus?!!"

Sedikit aku menyipit menatapnya, bergeming sama sekali. Tampangnya nyengir sambil menepuk punggungku begitu keras. Memangnya aku ini gabah minta ditepuk? Orang lagi asyik tidur malah diganggu.

"Leoo!!" Kupingku terasa gatal sekali, seperti ada nyamuk masuk. "Kalau tidak bangun, aku akan--"

Kupotong kalimatnya dengan cara menolehnya, "Akan ap--Cicak?! Singkirkan itu dari aku, bodoh!!" jeritku mampu menembus gendang telingaku.

Siapa yang tidak kaget. Ternyata yang menjilat telingaku adalah ekor Cicak di genggaman Mao, tanpa rasa berdosa di tampangnya yang sumringah.

"Akhirnya bangun juga," katanya, lalu meletakkan di atas lemari. "Sahabat aku benar-benar luar biasa, dia bisa membangunkanmu dalam sekejap."

Aku nggak nyangka dia itu gila. Heran, selama ini apa yang selalu ada di otaknya? Karena setiap sudut rumah pasti ada binatang-binatang berkeliaran. Aku saja ketakutan sekilas melihat ada Laba-Laba tepat di depan mataku setelah membuka pintu kamarku. Aku jerit mati-matian. Untung ada Oma menyuruh hewan itu dibuang tanpa ampun.

Menggaruk kepala agak gatal dan mengusap wajah bantalku, aku mengernyit mengamatinya sedang mengulurkan handuk.

"Apa?"

"Mandilah, apa kamu tidak mau sekolah? He?"

Astaga, sekolah. Eh, salah, maksud aku kampus!! Kutepuk jidatku, kusambar handuk berwarna kesukaan aku. Putih. Memasuki kamar mandi, mengguyur tubuhku mendadak meriang akibat dinginnya air shower.

"Jangan lama-lama!" seru Mao di luar kamar mandi. "Juga, kalau mandi, siram air ke kaki kamu dahulu baru badan kamu kemudian seluruhnya biar kamu nggak kena stroke!"

Geram sekali mendengarnnya. Kenapa baru bilang sekarang? Jantung nyaris copot setelah syaraf dan tulang-tulang terasa mati. Brrr .... dingin!!

***

Kulangkahkan kaki ke luar rumah, siap memasuki mobil kesayangan Mao. Toyota Camry. Ckck, mobil sebagus ini aku tahu dia dapat dari hasil penjualan cafê-nya terbilang cukup sukses, mengalahkan usaha Papa. Duh, dengar namanya jadi merinding.

Biar aku ceritakan setelah makan malam menegangkan itu. Keesokan harinya, aku dan Mao telah bersiap meninggalkan rumah kenangan indah di Jakarta Selatan, dekat rumah Oma dari sini. Meninggalkan Mama masih tertidur pulas.

Soal barang milik kami, selepas kematian Ren di sepuluh hari kepergiannya, aku dan Mao mengepak semua milik kami dan membawanya ke rumah Oma. Sisanya tetap ada di rumah lama, milik Papa.

"Leo, di kampus nanti kamu makan bersamaku. Aku sedang mengajak seseorang," ujarnya tanpa berpaling. Desahan napas menyetujui pernyataannya. "Kenapa tidak jawab seperti biasa?" tanyanya cemberut, bibirnya maju lima senti.

Dasar, anak kecil. "Iya, silakan mau ajak siapa," ketusku.

Kendaraan Mao menembus keramaian di jalan. Sepertinya kemacetan telah habis karena ini sudah menunjukkan pukul 09.45. Lima belas menit lagi waktu untuk bertemu rekan lama.

***

Pinggang aku sakit. Pasti pukulan dan tepukan kasar Mao menyebabkan aku menjadi seperti ini. Dia itu memang sangat kasar dalam tingkah lakunya walaupun terlihat ceria dan bahagia di depan teman-temannya meski relatif cerewet.

"Leopard!"

Grr, apa-apaan nama itu. Aku bukan hewan bertotol-totol hitam di kulit. Dan di sini bukan kebun Binatang. Ini daerah fakultas teknik di mana orang-orang berpakaian biasa. Seperti berada di rumah. Asal-asalan.

Berbalik siapa memanggilku walau aku tahu. Tapi, menyebutnya jadi gerah sendiri.

"Sobat aku sepertinya merelakan Ren pergi, nih." Rangkulannya kutepis karena omongannya tidak mutu. "Sensi amat." Diamati tubuhku dari atas ke bawah. Risih, jadinya. "Gayamu seperti Kakek-Kakek kehilangan tongkatnya sampai kamu membungkuk," kikiknya.

"Cih, kamu itu sengaja meledek aku atau apa?" hardikku menatapnya tajam.

"Sabar, sobat. Tidak usah sensi," ujarnya terkekeh. "Sini kubantu biar sampai ke kelas meskipun jadwal hari ini kosong."

Astaga, betapa kejamnya baru tahu sekarang. Ubun-ubunku mengeluarkan asap panas, menyembur ke mata.

"Tadi kamu bilang apa?"

Spontan, mulutnya ditutup meski aku tahu dia memang sengaja. "Maaf, kawan. Kemarin mau beritahu, tapi HP-mu tidak aktif makanya--saatnya lari!!"

"Zeno!" jeritku ingin mengejar, tapi tulangku rasanya mau patah. "Sini kamu, dasar tidak bertanggung jawab."

"Leo, aku bawakan obat nyeri punggung." Suara cempreng dari saudara kembarku menghentikan aksiku, meliriknya sinis. "Lagi PMS, ya? Itu mata hampir keluar," tuturnya tanpa dosa.

"Ini 'kan gara-gara kamu!" tunjukku ke arahnya yang mendekatiku. Bahkan tidak berdosanya, Mao membuka kemeja aku begitu saja. Ditempelkan sesuatu begitu keras ke punggung. "Aduuh," pekik karena kesakitan.

"Hehe, sakit ya. Maaf, kebablasan."

Semakin mau kuremuk wajahnya itu yang tersenyum tidak jelas. Rasanya nyaman dan lega. Koyo pereda sakit di punggung mereda amarahku. Lagi-lagi Mao menghilang selesai mengobati aku. Dia itu, aku tidak mengerti segala tindak tanduknya bikin aku pusing.

Beda dengan Ren, terlalu pendiam dan kaku. Ah, rasanya kenyamanan pernah kurasakan dahulu bersama Ren, seketika menghilang. Tidak ada yang mendengar ejekkan dan ocehan aku. Takut pada ancamanku.

Tidak ada Ren duduk diam memandang perdebatan aku dengan Mao, berbagi mulut. Tidak ada Ren tertawa mendengar cerewetnya Mao. Dan tidak ada obat penawar bagi rumah di mana keluarga berkumpul. Ren, itu segalanya.

Dan sensasi ini sungguh asing bagiku. Sangat asing.

"Leo, dipanggil si bocah cilik, Senna!!"

Aduuh, Zeno! Lama kelamaan aku pastikan mulut besarmu kulempar di danau Toba.

Menyebalkan!

[Part 2 End]

***

02 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang