8. Segaris dengan Dua Tingkat

109 11 2
                                    

Sejenak menahan napas melihat betapa indah pemandangan lewat jendela apartemen. Pagi hari tercium samar bau hujan, menghilangkan polusi hingga terdesak tidak sengaja menghirupnya. Sementara aku meregang otot, di situlah aku menemukan matahari keluar dari sarangnya.

"Indah."

Menurunkan bahu bagaimana ada seseorang mengganti aku bicara untuk mengagumi benda bulat tepat di depan mata. Kulihat dari sudut mata aku, saudara kembar melongok tidak percaya apa dilihatnya.

"Orang kekanakan menatap matahari," kata aku jutek. "Kenapa kamu bisa bangun secepat ini?"

Mao tidak menggubris perkataan aku. Dia memilih menyentuh jendela dan mendorongnya, menatap takjub matahari kini begitu bersinar di pagi hari. Kalau sudah merasa kekaguman, dia tidak akan berhenti sebelum ...

"Mao, makanan kamu gosong!"

... ada yang melerainya.

Cepat-cepat Mao beranjak dari sana menuju dapur. Untung aku tidak dekat dengannya yang melewati aku begitu saja. Menabrak sedikit saja, Mao tidak perduli pada apa pun. Dia lebih mementingkan masakan baru dibuatnya.

Jendela terbuka, udara dingin pun masuk. Dengan cekatan, aku menutup jendela dan menguncinya, bergegas mandi sebelum handphone aku berbunyi nyaring. Segera mungkin, aku tekan tombol warna hijau dan mendekatkan ke telinga.

"Kamu!"

Aku terkaget-kaget mendengar suara yang sudah lama tidak kutanggapi. Semenjak dua minggu lalu, aku kehilangan duo sahabat sekarang ini tengah menjalani skripsi. Karena kesibukan aku butuh kesembuhan total, jadinya melupakan sahabat sehidup semati.

"Maafkan aku, Zeno. Aku lupa bilang sama kamu kalau aku pindah." Aku mendengar Zeno berteriak histeris karena tidak mendapati aku ada di rumah lama sekarang kosong. "Nanti aku kabari alamatnya, tapi tunggu di mall saja. Aku tidak mau kamu membawa si benalu ke rumah aku!" peringatan aku harus dituruti olehnya dan dia setuju.

Kumatikan handphone milik aku, masuk ke kamar tidak memerdulikan bau gosong begitu kuat aromanya. Tidak menyadari bahwa ada Oma terperangah memandangi Mao memasak bersama Mbok Laras.

"Ya Tuhan! Mao, apa yang kamu lakukan?"

Aku cekikikan di buatnya.

***

Mendarat mulus di lantai Mall dekat apartemen, aku setengah berlari menuju café terdekat pilihan Zeno dan Athan. Aku tidak menyangka Athan bakalan ikut. Ternyata Athan begitu perduli pada aku.

Kubuka pintu café, setengah menunduk karena dijamu kian hormat oleh pelayan. Menuntun aku ke meja makan dibantu pelayan setelah kusebutkan dua nama. Di sana kulirik dua lelaki tampan dan jangkung duduk santai sambil menyesap kopi. Aku berterima kasih pada pelayan itu, menghampiri dan duduk di salah satu kursi yang tersisa.

"Ada apa?" tanya aku to the point.

Sekiranya ada pelukan hangat sesama sahabat atau ucapan tersedih mungkin bisa termehek, ternyata justru kusadari sebuah tatapan meminta penjelasan akan pertanyaan di telepon tadi.

"Okay, Okay," kata aku menengahi. "Dua minggu telah lama berlalu dan aku lebih memusatkan fokus aku ke calon tunangan dan lupa memberitahu kalian tentang kondisi aku. Soal di mana letak aku pindah, tanyakan ke Mao karena aku tidak tahu mau berkata apa sebelum Mao menjelaskan."

"Kenapa tidak kamu jelaskan sekarang?" rengek Zeno membuat aku menatapnya jengah.

"Kamu tidak mau 'kan, mendapat balasan dari Mao hanya karena aku membuka rahasia." Zeno menggeleng. "Sebenarnya kalian mau berkata apa? Aku tidak punya waktu," ucap aku jengkel.

"Senna diberi peringatan oleh dekan. Jika berbuat ulah lagi, dekan akan mengeluarkannya secara tidak hormat serta senior-senior ikut dalam perkaranya," ucap Athan setelah meneguk minumannya hingga tidak bersisa.

"Apa urusan aku?"

"Dia mau minta maaf."

Aku memutar bola mata malas pada permintaan maaf dari gadis tidak tahu etika. "Bosan aku! Mendengar ucapan kalimatnya saja aku jijik, tidak percaya sama dia."

"Tapi ...," sahut Zeno ingin melanjutkan, bahkan aku mengangkat tangan untuk menghentikan.

"Aku ada janji." Aku menangkap sosok gadis berambut panjang terurai berjalan seraya mengedar pandangan ke segala arah. "Bersama seseorang," tambah aku disambut ribuan pertanyaan di raut wajah mereka. "Bye!"

Ketika sampai di samping gadis itu, aku menariknya keluar café. Aku tidak memerdulikan panggilan Zeno menyuruh aku kembali. Aku mengintip lewat celah jendela, di sana aku mendapati gadis yang tersenyum muram di samping mereka. Ck, aku ditipu mentah-mentah sama mereka.

"Kita mau ke mana?"

Kurasakan tangannya mengerat dalam genggaman aku. Samar-samar, aku tersenyum tipis pada kelakuan gadis aku tarik ini.

"Lihat saja nanti," jawab aku kembali menariknya.

***

Menatap bangunan-bangunan tinggi di gedung kosong belum terealisasikan penyelesaiannya. Mengajak gadis sekarang menguncir rambutnya. Gadis itu siapa lagi kalau bukan Tiara, duduk di sebelah aku dengan cara bersimpuh.

"Di sini enak sekali," katanya bahagia.

"Cocok menikmati selesai hujan deras." Sengaja aku memakaikan jaket tebal warna hitam ke pundaknya, menghalau dingin. "Lebih enak meraup dingin daripada membiarkannya," kata aku yang sempat meliriknya ingin membuka jaket.

Dibatalkan pengembalian jaket itu, Tiara berdekatan dengan aku memeluk perut aku. Sungguh, aku tidak berdaya apabila dirinya begitu romantis di depan aku. Intinya, aku mati gaya!

"Aku senang kamu bersama aku," ujar Tiara. "Aku bermimpi tentang Ren yang tersenyum ke arahku, meminta aku untuk menjaga kamu dari ular betina suka menipu orang lain."

"Ular betina?"

"Ya!" Tiara menatap aku. "Siapa lagi kalau bukan si Senna. Bahkan sebelum Ren meninggal, terakhir kali kulihat Ren begitu marah pada Senna. Memancing amarah Senna. Pantas, Mao justru tidak menyukai Senna."

Aku berbaring, menempatkan Tiara tidur di atas dada aku. "Aku tidak mengerti mengapa si gadis aneh itu mendekati kami. Tidak bisa mendekati Mao, berbalik ke Ren. Tidak bisa mendekati Ren, balik ke arah aku."

Kecupan pipi aku menyadarkan aku menatap wajah Tiara sangat dekat dengan wajah aku. Sekian lama tidak menyapa, aku baru sadari rona merah dipancarkan Tiara lewat kedua pipinya berwarna putih membuatnya terlihat manis.

Seberapa inchi aku berdekatan dengannya hingga aku tidak tahu bahwa aku telah menyentuh bibirnya yang ranum. Kulumat pelan dan takjub pada lembutnya sebuah bibir.

First kiss, eh?

[Part 8 End]

***

08 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang