5. Nasib di Tangan Tuhan

159 13 5
                                    

Selesai dari rumah gadis itu, aku kembali ke rumah bersama Mao dan Oma. Sebelum masuk, aku terhenyak melihat Senna dan Zeno ada di teras sambil duduk di kursi.

"Loh, Zeno? Ngapain kamu di situ?" tanya Oma ikuta kaget melihat dua orang paling belum mau kutemui semenjak kemarin.

"Menunggu Oma dan Mao." Zeno menatapku sendu. "Sekalian minta maaf padamu, Leo. Aku nggak bermaksud soal kemarin itu."

"Aku--"

"Masuk saja dahulu," ucap Mao memotong perkataan Senna. Bisa kulihat hunusan tajam lewat tatapan Mao ke arah Senna.
Apa hubungan mereka?

Tanpa tedeng aling-aling, aku menyambar kunci rumah dipegang Mao. Melangkah melewati Zeno dan Senna, memutar kunci setelah berhadapan dengan pintu utama. Memasuki ruang tamu selesai membuka dan membiarkan kunci menempel di lubang kunci.

"Zen, ikuti aku," perintah aku ditanggap Zeno. "Tanpa Senna!" tambah ancamanku melihat Senna berniat menghampiri aku.

"Leo," ujarnya lirih.

"Aku belum mau mendengar komentar kamu, Senna. Gara-gara kamu berbicara tidak-tidak ke senior jurusan kamu, aku diteror terus oleh mereka."

"Aku nggak bermaksud, Leo." Senna sepertinya akan menumpahkan titik-titik air bening. Aku mengacuhkannya. "Dari dulu, mereka sangat posesif kepadaku. Tapi, mereka tidak punya niat menyakiti orang dalam bentuk tidak tersentuh."

"Tapi, kamu memulainya duluan," geramku menahan kemarahan siap terlontar. "Aku tidak pernah tenang selama kuliah. Ada-ada saja kesakitan aku dapatkan dari mereka. Kamu tidak tahu, 'kan?"

"Maaf," ucapnya lirih seraya menunduk.

"Leo, kita masuk ke kamar saja," bujuk Zeno mendorong aku memasuki kamar terletak di sebelahku tanpa melihat lagi wajah seakan mau ditonjok.

"Lebih baik kamu pulang," kata Mao akhirnya disetujui Senna.

***

"Kamu tidak apa-apa?"

Zeno mengamatiku dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kulepas jaketku, membuangnya ke segala arah. Nyeri sekali badan aku, karena ada dua masalah membuat beban pikiran aku bertambah.

"Tidak seharusnya aku ikut-ikutan membantu Senna dengan iming-iming ditraktir dan perlindungan apabila masuk wilayah Ekonomi."

Aku menaikkan alis, menebak. "Ada yang kamu suka di Ekonomi?" Raut wajah Zeno memerah, sekali lihat langsung jelas. "Terserah, kamu mau apa. Aku tidak ikut campur, tapi kamu sudah menjadikan aku ke kubangan masalah dibuat si gadis ababil itu."

"Itulah makanya aku minta maaf padamu, Leo." Zeno, menangkup dua tangan di depan dada, berwajah muram serasa ingin kupukul. "Kamu boleh minta apa saja asalkan kamu mau memaafkan aku."

"Serius?" tanyaku tidak yakin.

"Serius seratus persen." Zeno mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk dua artinya, peace.

"Okelah. Tapi, belum aku butuhkan sekarang."

"Kamu memang hebat." Dia duduk di sebelahku, merangkul selayaknya sahabat. "Itu baru sahabat sejati aku," ucap Zeno berupa puitis.

"Ya, ya."

***

Siap membutuhkan apa lagi ketika berdiri menjulang, namun di hadapan kita ada sosok lelaki beserta kawanan kelompoknya sama-sama berdiri sambil bersidekap dada. Mata mereka seakan meremehkan. Di samping itu, kita tahu bahwa ada biang kerok atas masalah telah dibuatnya. Akan tetapi, tidak mampu menghentikan apa yang dia tuai.

"Ada apa kalian mencari saya?" tanya aku berdiri seolah kejadian kualami kemarin, tidak berefek buat aku. "Bukannya kalian telah mengganggu saya sejak kemarin?"

"Kami belum puas," ujar salah seorang dari mereka.

"Belum?" Cih, bilang saja ini adalah rengekan manja dari Nona Senna. "Lantas?"

"Saatnya siap membalas apa yang kamu buat, bocah."

Mengejek aku bocah, lagi pula tinggi aku masih mencapai tinggi orang Asia, 175 cm. Lumayan tinggilah untuk seukuran anak laki-laki. Mungkin karena keadaan aku begitu kecil dan kurus, makanya terlihat agak kecil. Tidak masalah.

"Enaknya dia diapain, Bos?" tanya mereka, salah satu teman atau anak buah orang di tengah itu.

"Hancurkan saja si bocah angkuh itu!" perintahnya langsung diterima baik oleh mereka-mereka siap menyerang aku.

Aku yang terkejut, hanya bisa mematung. Secara refleks belum ada pertahanan, salah seorang dari mereka menonjok pipi aku. Terhuyung sedikit ke belakang. Satu lawan tujuh benar-benar tidak fair. Itulah mengapa, aku tidak suka melawan orang lemah apalagi sendirian.

Gebukan, tonjokan, pukulan, tendangan aku terima seakan aku pasrah di tangan mereka. Tubuh aku terasa lemah, terlentang tidak berdaya di atas tanah berpasir. Kemeja kukenakan tidak terbentuk, ada tetesan darah di sana. Tampang aku mungkin beda seperti terakhir aku cek di kamar.

"Hentikan, Kak. Leo sudah babak belur." Dasar gadis ababil, dialah orang menyulut api kemarahan si senior itu karena mendekati aku. "Ini gara-gara aku, Kak. Nggak seharusnya meminta Kakak untuk memberitahu Leo, tapi tidak aku sangka, Kakak malah melakukannya dengan cara yang salah."

"Ini untuk kebaikan kamu, agar dia tidak macam-macam lagi," nasihat si Bos itu.

"Tapi, Kakak pasti nggak mau berurusan dengan Mao, 'kan?" Semua orang menegang mendengar nama saudara aku. Ada hubungan apa mereka dengan Mao? "Dia lebih kejam daripada Ren. Begini-begini juga, Mao nggak akan suka melihat saudaranya dibuat babak belur. Aku--"

"Pantasan saja Leo tidak mau berada di sekitar kamu, gadis sinting," Dinginnya sebuah kalimat membuat aku tercengang.

Mao?!

"Ma--Mao!" pekik Senna tidak disangka-sangka.

Tubuhku ringan dikarenakan ada membantu aku terbangun, berdiri dengan himpitan dua orang sedang merangkul aku. Kuintip sedikit betapa banyaknya kawan-kawan Mao berjumlah beberapa. Anak Hukum segitu banyaknya.

"Urusan saudara aku, termasuk urusanku juga." Seringai sinis tercetak di bibirnya. "Lawan mereka," perintahnya diangguk oleh teman-temannya sangat menyukai perkelahian dan tawuran.

Astaga, sebentar lagi akan ada hukuman dari dosen, dekan dan rektor. Bisa jadi patokan dalam perkelahian ini adalah Senna sendiri yang berusaha kabur bersama teman-teman sejenisnya. Namun, ada seseorang lantas menghentikan aksi pelarian itu.

Tiara?!

Beserta teman-teman perempuan lainnya, Tiara berhasil menangkap Senna dan kawan-kawan. Aku begitu kagum pada Tiara.

Akan tetapi, nasib aku kuserahkan kepada Tuhan. Yang mana terbaik untuk aku akibat aku tuai. Yang mana tidak terbaik karena aku menghindarinya.

[Part 5 End]

***

03 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang