10. Kejujuran di Balik Kurungan

141 11 3
                                    

Senantiasa mengatasi rasa penasaran, aku tidak bisa menjadikan keinginan aku untuk berpegang teguh agar bisa berbicara empat mata dengan saudara aku. Dari cara berpikir dalam menentukan masa depan, aku tidak berniat menambah beban pikirannya.

Kujadikan sandaran bantal seraya mengawasi dalam jarak jangka pendek, tepat di hadapan aku. Dunianya begitu berbeda, semenjak dua tahun lalu. Di mana kenyataan menghancurkan niat melangkah lebih maju. Pertama, keinginan Papa untuk menikah lagi. Dan kedua, orang disayanginya koma tak kunjung sadar.

Betapa seriusnya dia tidak bisa aku pastikan bertanya lebih jauh. Karena kemarin Senna melayangkan beberapa pernyataan bahwa dirinya ikut dalam kecelakaan tersebut. Kecelakaan hanya iri, karena Mao yang begitu ceria sangat menyayangi Sierra, saudara Senna. Entah Kakak atau Adik.

"Mengapa menatap aku seperti itu, Adikku termanis?" Aku berjengit, setengah duduk setelah bersandar. Tatapan lembut Mao membuat aku merinding.

Aku menelan baja susah payah ke tenggorokan. "Apa urusan kamu kalau aku melihatmu seperti itu? Waktu Ren mengawasi sambil menatap tajam tiada henti, kamu tidak keberatan. Kenapa sekarang kamu keberatan?" tanya aku menantangnya.

Desahan halus keluar dari bibir tipisnya. "Bukan begitu. Tidak biasanya kamu menatap aku sambil mengawasi ketat, seperti aku bakalan mencincangmu. Ada yang aneh pada wajah aku?" Pertanyaan aneh tidak kujawab meski terasa berhambur.

"Wajah kamu aneh," cuekku memalingkan muka. "Ada apa, Oma?" Kutangkap kondisi Oma yang lesu dibantu Mbok Laras, memapahnya duduk di samping aku yang kosong. "Muka Oma mengapa pucat sekali?" Aku mendelik keras pada Mbok Laras, meminta penjelasan. "Oma kenapa, Mbok? Keadaan Oma kenapa jadi begini?"

"Itu ...," Mbok Laras belum terjawab, karena deringan handphone pintar Mao terdengar. "Mbok bawakan air minum buat Oma dulu, ya?" pamit Mbok Laras menuju dapur.

Pandangan netra hitam aku terarah pada Mao yang menegang ketika membaca siapa yang muncul di layar ponsel pintarnya.

"Siapa, Mao?"

Mao mendekatkan ke telinga setelah menekan panggilan warna hijau, "mau apa lagi, he? Sudah puas melakukan itu padaku? Atau, aku sebut pada kami?" bentaknya entah pada siapa.

"Mao--"

"Berhenti meminta! Anda bukanlah orangtua kami, lagi!" Mao menghardik, jelas itu adalah Papa. Oma terhuyung dan pingsan seketika. "Cukup memengaruhi Oma! Dia tidak salah! Selama ini, lebih dari beberapa tahun aku dan kedua saudara aku telah bekerja keras demi kebutuhan kami bukan untuk Anda terutama dua isteri Anda masih secara sah hukum perkawinan!" teriaknya membikin aku lemas.

Suara kasihan terdengar cukup nyaring dan aku tahu, Papa butuh pertolongan aku soal kebangkrutan dialaminya. Mama yang tidak bisa mengeluarkan uang banyak pun, tidak berbuat banyak. Bukan bermaksud menyalahkan Mama yang tidak pernah merawat kami, tetapi aku sesali mengapa aku hidup di antara kehampaan dan kekosongan ini. Aku capek.

Soal Oma katanya pingsan, tadi aku meminta Mbok Laras dan Pak Ujang bawa Oma ke kamarnya. Bukan lantaran aku tidak sayang Oma, tetapi aku nggak kuat menahan rasa sesak ini sewaktu-waktu bisa fatal bila aku pingsan.

"Cukup!" Mao membanting handphone ke karpet, untung saja tidak pecah. "Orang itu ...," geramnya mengepalkan tangan seusai mengacak rambut secara kasar.

"Mao, hentikan pertengkaran tidak ada gunanya," ujarku lemah.

"Tidak gunanya?!" amarah Mao memuncak. Aku menelan saliva, gugup. "Mereka yang menelantarkan kita, apa boleh aku melakukan hak sedari dulu harusnya aku lakukan?!" Aku mengernyit bingung. "Asal kamu tahu, Leo, aku paling benci dengan kedua orang ditambah satu orang muncul di kehidupan keluarga kita! Si satu orang itu sengaja menikah dengan si lelaki itu hanya untuk menguras harta. Makanya aku sengaja menghukumnya. Tentu saja si wanita itu tidak akan menerima uang dari lelaki itu."

Sekarang aku mengerti. Satu orang maksudnya selingkuhan Papa. Papa adalah lelaki itu dan Mama adalah wanita itu. Memang, Mama terlalu berfoya-foya dengan cara menghamburkan uang Papa. Dan kami seharusnya dapat jatah, tidak kebagian sama sekali.

"Jadi intinya, aku tidak akan menarik ucapan aku. Selama ini si wanita itu banyak utang!" geramnya mengacak rambutnya hingga berantakan. "Ketika Ren dirawat di Rumah Sakit pun bukan uang mereka yang membayar, tapi uang Oma. Selebihnya dari aku masih lumayan untuk mengganti biaya Rumah Sakit Ren."

Akhirnya aku bisa memahami, di balik semua tersembunyinya fakta, aku mulai berpikir ini sengaja ditutupi agar aku dan Oma tidak tertimpa beban masalah.

Aku bangkit, kemudian duduk di samping Mao. Aku mengusap lengannya agar dia tidak marah-marah lagi.

"Maaf, Mao. Aku--"

"Aku mengerti, Leo." Tepukan lemah di punggungku membuktikan segalanya.

"Soal Senna," lanjutku lagi membuatnya tersentak dari duduknya. "Dia menceritakan tentang kamu sebelum menolaknya. Sebenarnya kamu justru menyukai saudaranya bukan Senna, 'kan?"

"Dan kecelakaan menimpa Sierra itu karena ulahku, yang selalu memancing kemarahan dan kecemburuan si Iblis satu itu," ucapnya marah walau agak lesu. Kini, aku tahu Mao menahan kemarahannya supaya tidak menimbulkan kegaduhan. "Jujur, aku menginginkan kedamaian bukan permasalahan muncul bertubi-tubi. Apa salah kita sebagai anak dilahirkan ke dunia?"

Hatiku tersayat mendengar gumaman Mao tentang curahan hatinya yang begitu sakit hati atas perlakuan Mama dan Papa lebih mementingkan diri sendiri dan kekuasaan.

"Semua pasti baik-baik saja," kataku untuk diri aku selain menghiburnya.

Sejak lama aku menangisi kehidupan aku penuh ketidak-adilan ini.

[Part 10 End]

***

10 September 2015

Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang