Tidak seharusnya aku berada di sini, sembari mengambil barang ketinggalan--eh, malah bertemu Nyai yang kutahu raut mukanya terlihat menakutkan sementara aku menunduk bukan setengah takut melainkan diinterogasi.
"Ini apa?"
Tentu, aku tahu itu adalah kertas berisikan penyerahan surat akta tanah rumah ini ke pemilik nama Maoran Alastair. Ogah lagi, Maoran menggunakan nama tengah pemberian orang di depanku. Ingat kenangan, ingat kenangan buruk.
"Kertas," jawabku acuh.
"Benar, ini kertas. Mama maksud, apa kamu tahu isi kertasnya?" geramnya membuat aku mengedikkan bahu.
"Buat apa? Aku 'kan nggak bisa berbuat apa-apa," sahutku enteng.
"Leo!" Amarah Mama memuncak. "Kamu sesungguhnya mengetahui, Mama mengambil rumah ini agar Mama bisa menjaganya. Tapi, kenapa kalian mengambil alih tanpa sepengetahuan Mama."
"Ma, aku nggak tahu apa rencana Maoran terhadap rumah ini. Aku enggak perduli." Kuketahui raut tampang aku tampilkan secara alami, sangat jutek malas buat perduli. Lagi. "Sebentar lagi, aku akan berumah tangga. Dan aku tidak punya hak atas rumah ini secara pemiliknya atas nama Renald dan beralih ke pemilik sah selanjutnya, Maoran. Wajarlah Mao meminta hak rumah ini."
Mama terdiam lama, mungkin menahan kemarahan sempat berkecamuk. Membara dalam netra sama seperti milikku dan kedua saudaraku, tak menggoyahkan karakteristik kumiliki sejak lahir atau semenjak berubahnya sikap kedua orangtua kami.
"Kenapa kalian lakukan ini?"
Aku tidak mampu menjawabnya, hanya mengangkat bahu sok malas untuk perduli. Mengacuhkan isakan tangis Mama menggores sayatan luka dulunya sempat dihancurkan akibat ulah wanita bermuka dua di depanku.
"Mungkin membuat mata Mama kembali terbuka." Mama sontak terkaget mendengar penuturanku. "Sebelum Ren pergi, dia meminta Mama untuk peluk dia terakhir kali. Tapi, Mama nggak perduli malah acuh sama sekali. Papa notabene orangtua kesayangan Ren, tetap saja tidak meruntuhkan niat Ren buat pergi dari kehidupan kalian semua. Intinya, kami kecewa pada sikap kalian."
"Ma--Mama ...."
"Dulu, kami pikir kalian itu sibuk. Mengurus ini-itu. Supaya kami nggak melarat. Ternyata, ketika kami berusia di mana mengetahui kehidupan dan lingkungan berkat Oma dan Opa, kami lantas nggak percaya melihat kalian menyukai uang, kekuasaan dan jabatan tertinggi sehingga melupakan kami."
Mama meneteskan air mata tanpa suara. Ah, aku entah kenapa terlena pada tangisan Mama tetapi tidak merubah niatku untuk menceritakan keluh kesah kami sepanjang kami berjalan tanpa ada sanggahan.
"Aku capek, Ma." Aku tersenyum sedih membayangkan keterdiaman Ren dan cerianya Mao agar menutupi keresahan dan kesakitan akibat ditinggalkan tanpa sebab. "Kami capek. Bahkan Ren terlalu lama pendiam, nggak mau membicarakan curahan hatinya akhirnya meminta berpulang kembali ke tanah. Aku, mesti bertanggung jawab atas perlakuan kulakukan pada seseorang dan Maoran, berjanji membahagiakan Oma telah membesarkan kami setelah kehilangan Opa." Aku menatap Mama intens. "Mama nggak malu sama diri Mama sendiri?"
Mama tertegun, ditilik dari keterkejutan tubuhnya mendengar pernyataanku tentang 20 tahun hidup menjalani kesendirian walaupun saling bahu membahu meminta pertolongan.
"Aku pulang, Ma." Aku bangkit berdiri. "Soal Maoran, mengapa Mama nggak ngomong dengannya. Jangan sama aku yang enggak tahu apa-apa masalah kelicikan Maoran mengambil kekuasaan Mama miliki," lanjutku melenggang pergi, setelahnya.
Enteng rasanya mengeluarkan beban perasaan menghimpit jantung. Helaan napas segar kuhirup. Terlukis sudah senyuman dahulunya tak pernah kupaparkan sesampainya aku ke mobil Pajero Sport. Biarlah barang tadi kuambil tidak jadi karena masalah ini mesti diberitahukan ke orang bersangkutan. Uh, aku tidak sabar.
***
Sepanjang perjalanan, aku terus tersenyum tiada henti. Sesuai perasaan senang menghampiri hingga aku tidak mencerna kapan telah sampai ke tujuan.
Turun dari mobil dengan cara membanting cukup keras pintunya, setengah berlari mendekati sosok tengah berdiri tersenyum serta kebingungan menatap raut wajahku seolah berubah. Beda dari biasanya.
Kupeluk tubuh itu erat seeratnya. Rasanya ringan menancap tepat sekujur tubuh. Aku tidak mampu lagi berkata, sampai ketika itu aku menangis. Bukan sedih, tetapi bahagia.
"Leo, kamu kenapa?" tanya dirinya sambil mengusap punggungku.
"Kita menikah besok." Sekejap tubuhnya menegang, mendorong tubuhku meminta penjelasan. Kuraih kedua sisi kepalanya, kukecup keningnya penuh cinta. Entah mengapa, cinta itu datang. "Aku bahagia. Baru kali ini aku merasakan kebahagiaan," tuturku menangis.
Usapan di pipi, menghapus tetesan bening tersebut tidak mengalihkanku terhadap wajah cantik baru kuketahui akhir-akhir ini.
"Aku senang kalau kamu bahagia," sahutnya seraya mencium pipi kiriku seakan menenangkanku. "Dan aku bingung tentang pernikahan besok."
Aku tertawa. Kini, hanya seorang Tiaralah melihat diriku tertawa untuk pertama kalinya.
"Mau kapan pun kita menikah asalkan bulan ini, juga." Kuraih tubuh itu, kuangkat layaknya seorang pengantin baru. "Aku mencintaimu lewat ketulusan hatimu, Tiara Arasya Hafid!"
Dia pun ikut tertawa. Bahagia.
"Aku juga mencintai ketika kamu menjuteki aku, Leonardo Alastair!" teriaknya memeluk leherku, sekali lagi mengecup pipiku.
"Enggak ada nama Kejora?"
"Aku yakin kamu enggak suka ada nama itu," ujarnya mengetahui perasaan akhirnya kubuang jauh-jauh.
Tidak kulepaskan tubuh dia dari gendonganku, mengalihkan pandangan menuju Tante Alfi yang berdiri kebingungan seraya tersenyum senang terhadap keakraban kami.
"Tante, aku meminang Tiara, anak Tante, menjadi isteriku. Bolehkah?" izinku mengukir senyuman keceriaan.
Tante Alfi tersenyum lebar, mengangguk. "Boleh-boleh saja. Besok kita siapkan pernikahannya ya, Leo," candanya membuat semburat merah di pipi Tiara merekah.
"Iih, Mama!"
Aku tertawa bahagia. Akhirnya selama ini aku kira tidak ada kebahagiaan, kesenangan dan keceriaan dalam kehidupan itu sirna. Tetapi ketika kedatangan Tiara dulunya mengobrak abrik emosiku karena Tiara lebih mendekatkan diri kepada Ren atau Mao. Aku pun memarahinya, menyuruh Tiara menjauhi Ren dan Mao. Sehingga sekarang ini, aku mulai menyadari kedatangannya merupakan berkah bagiku.
Makasih, Tuhan.
[The End]
***
Yeay! Selesai! Tamat! Happy Ending!
Makasih sudah membaca XD
Regards,
Sanchi (Azzameltha)
11 September 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing The Sun [Leo's Story] ✔️
Fiction généraleIni kenyataan dan itu membuat aku muak terhadap semua ini. Yang penting akan aku kejar dan aku dekap apa mesti aku cari. Aku akan melindunginya setelah mendapatkannya. Ini kisahku, milik Leonardo Kejora Alastair. ------- ©2015, Chasing The Sun by Az...