Empat

3.8K 303 3
                                    

"Mana kalungnya?!!" teriak Bu Wati dengan suara yang lantang. Hilman dan Razaq terdiam menunduk. Karena tak mendengar jawaban apapun, Bu Wati berjalan mendekati mereka berdua. Damri mengikuti dari belakang ibunya.

"Mana kalungnya?! Cepat serahkan!" teriak Bu Wati dengan suara yang makin keras. Namun dengan cepat, Razaq merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah kalung. Modelnya hampir sama seperti kalung yang mereka berdua miliki. Hanya saja yang ini sepertinya produk gagal.

Dengan cepat, Bu Wati merebutnya dari tangan Razaq dan mengamatinya.

"Ini cuman kalung jelek, sayang. Besok ibu belikan kalung yang berjuta-juta kali lipat lebih bagus dari ini," rayu Bu Wati.

"Tapi aku mau itu, Bu! Aku mau itu!" balas Damri dengan nada manja yang tampak seperti dibuat-buat. Bu Wati memandang Hilman dan Razaq sekilas, lalu memandang Damri lagi.

"Ya sudah kalau begitu. Ini boleh jadi milikmu. Sekarang kita keluar dari sini. Ini bukan tempat kita. Dan ibu sarankan jangan pernah lagi berdekat-dekatan apalagi bergaul dengan mereka," kata Bu Wati lalu melangkah keluar kamar bersama Damri. Setelah pintu tertutup dengan bunyi yang cukup keras, baru Hilman dan Razaq bisa bernapas lega.

Razaq membuka celana pendeknya sedikit dan mengambil kedua kalung yang tadi di sembunyikan di sana.

"Ih! Kak Razaq jorok!" protes Hilman. Razaq hanya tertawa kecil.

"Ya sudah nanti kalungnya kakak cuci deh," balas Razaq. Namun tiba-tiba Hilman langsung mengambil salah satu kalung di tangan Razaq dengan secepat kilat.

"Tidak usah, Kak. Buat apa dicuci segala? Aku tidak akan pernah mencucinya," kata Hilman sambil mengerlingkan mata. Razaq tertawa lagi sambil menarik kepala Hilman dan menyandarkannya ke pundaknya. Hilman balas memeluk badan Razaq dari samping.

Razaq mengelus-elus rambut Hilman dan mengecup puncak kepalanya.

"Aku sayang kamu, Hilman. Kamu satu-satunya harta yang aku miliki saat ini, dan selamanya," bisik Razaq dengan mesra.

"Aku juga, Kak," balas Hilman lalu melepas pelukannya dan menatap Razaq dengan tersenyum. Razaq ikut tersenyum sambil mencubit hidung Hilman dengan gemasnya.

"Aduh! Sakit, Kak!" protes Hilman sambil memegangi hidungnya lalu memukul-mukul pundak Razaq. Razaq tertawa-tawa sambil mencoba menghindar dan memeluk tubuh Hilman.

Namun tubuh mereka malah oleng dan membuat Razaq jatuh menindih tubuh Hilman. Kedua wajah mereka sangat dekat. Jantung Hilman serasa berdegup dengan kencang.Wajahnya sedikit merona.

Tangan kanan Razaq mengelus-elus rambut Hilman sambil tersenyum teduh. Dan pada saat itu juga, Razaq mencium bibir Hilman dengan gerakan sangat pelan. Namun Hilman tidak berani menggerakkan bibirnya sendiri hingga Razaq melepas ciumannya.

"Aku akan mengajarimu cara mencium. Tinggal ikuti saja gerakan bibirku," kata Razaq. Hilman mengangguk dengan penuh rasa malu. Razaq kembali mencium Hilman dan Hilman mencoba mengimbangi gerakan bibir Razaq yang sangat intens.

Tanpa disangka-sangka, Hilman merasakan sesuatu milik Razaq mengeras dibawah sana, yang membuat Hilman ikutan terangsang.

Razaq melepas ciuman mereka lalu tertawa kecil.

"Kamu kenapa ikutan tegang kayak aku?" goda Razaq. Sontak, pipi Hilman bersemu merah seperti kepiting rebus. Razaq kembali mencium bibir Hilman dengan cepat.

"Sepertinya kita harus cari jalan keluar supaya bisa kabur dari sini," usul Razaq.

"Tapi kita mau kabur kemana, Kak? Kita tidak punya tempat tinggal lain selain disini," balas Hilman.

"Aku lebih memilih jadi gelandangan daripada jadi budak disini. Memangnya kamu mau?"

"Tapi Pak Cokro mengancam akan membunuh kita jika kita berani kabur dari sini. Lagipula rumah ini selalu di kunci dari depan maupun belakang. Bahkan kamar kita ini pun tidak ada jendelanya, yang ada hanya ventilasi kecil yang bahkan tidak muat untuk dilewati kepala," protes Hilman.

"Aku akan menjagamu. Tenang saja. Pasti ada jalan keluar. Aku tidak mau kita menderita terus disini. Mau tidak mau, kita harus bisa melarikan diri dari rumah terkutuk ini. Bagaimana? Kamu mau kan?" tanya Razaq sambil memegangi kedua pipi Hilman dengan pandangan merayu.

Hilman menarik napas panjang dan menghembuskannya.

"Asalkan bersama Kak Razaq, tentu saja aku mau," jawab Hilman. Razaq tersenyum senang sambil memeluk Hilman dengan sangat erat.

***

Cuaca dini hari ini sepertinya masih mendung. Tak tampak satu pun bintang di langit. Pekarangan depan rumah juga masih basah karena diguyur hujan tadi malam. Memang akhir-akhir ini cuaca di Kota Surabaya tidak menentu.

Hilman baru saja selesai mandi malam dan sudah berpakaian sederhana. Hanya menggunakan kaos abu-abu yang agak kebesaran, serta celana pendek hitam selutut. Ia memang lebih suka mandi dengan air hangat sebelum makan sahur.

Ia segera menuruni tangga dan menuju ruang makan. Setibanya disana, hanya ada Bi Sumi, pembantu baru, yang sedang menyiap-nyiapkan makanan di atas meja makan.

"Lho, Bi, Kak Lucasnya belum bangun?" tanya Hilman.

"Belum, Den. Tadi Den Lucas udah saya bangunkan beberapa kali, tapi katanya iya iya melulu," jawab Bi Sumi. Hilman melirik jam dinding ruang tamu. Pukul setengah tiga pagi. Tumben sekali kakak angkatnya itu belum bangun jam segini. Biasanya ia yang paling awal bangun untuk sahur dan membangunkan Hilman.

Tanpa pikir panjang, Hilman kembali menaiki tangga menuju kamar Lucas yang ada di sebelah kamarnya.

Tok! Tok! Tok! Tok!

"Kak! Kak Lucas! Bangun! Kakak nggak sahur?" tanya Hilman dari luar kamar.

"Nanti aja," terdengar suara Lucas dari dalam kamar. Sepertinya Lucas masih mengantuk.

Hilman memutar gagang pintu kamar Lucas yang tidak di kunci. Langsung tercium bau kamar Lucas yang khas dan sangat maskulin. Tampak dekorasi di dalam kamar Lucas yang juga tertata dengan baik. Ia segera masuk ke dalam kamar yang temaram. Lucas tengah tertidur pulas dengan posisi terlentang tanpa selimut, dan hanya mengenakan celana jeans hitam.
Hilman mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur.

"Kak. Ini udah jam setengah tiga loh. Kakak nggak sahur?" tanya Hilman. Tak berselang lama, tampak Lucas menggeliat merenggangkan otot-otot tubuhnya dan membuka matanya.

Lucas langsung duduk dan menatap Hilman dengan cemas.

"Jam berapa sekarang?!" tanya Lucas dengan suara agak keras. Sepertinya tadi ia tidak mendengar kata-kata Hilman.

"Jam setengah tiga. Untung kakak sudah bangun. Kalau nggak, pasti tadi aku siram pakai air seember," jawab Hilman. Lucas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal.

"Maaf, maaf. Kakak ngantuk banget. Tadi kakak habis nonton bola," balas Lucas sambil memeluk adik angkatnya itu dari belakang.

Entah kenapa, seperti ada getaran halus di benak Hilman ketika Lucas melakukannya. Dan ketika Hilman menoleh ke belakang, tiba-tiba dengan cepat, Lucas mengecup bibir Hilman. Jantung Hilman serasa seperti mau meloncat keluar.

"Ayo kita segera makan sahur," ujar Lucas sambil beranjak menuju ruang makan, meninggalkan Hilman yang masih membeku di tepi tempat tidur.

Hilman meraba bibirnya sendiri, yang baru saja dikecup oleh Lucas. Kakak angkatnya itu belum pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya. Apa mungkin.......

Ah! Tidak mungkin!

Ia segera menyadarkan dirinya. Mungkin saja itu wujud kasih sayang Lucas pada Hilman sebagai saudara. Hilman segera menepis prasangkanya dan segera menyusul Lucas menuju ruang makan.

[Bersambung...]

Vote dan commentnya ya, temen-temen. ^_^

Btw itu gambaran Lucas versi aku (sebenernya dulu ada yg lebih mirip, tapi ini cukup mewakili kok).

Guardian Angel (boyxboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang