Lima

3.8K 282 5
                                    

Hari sudah sangat larut. Mungkin malah sudah menjelang dini hari. Tapi Razaq dan Hilman belum juga tidur. Tampak mereka berdua sudah bersiap-siap di kamar mereka dengan mengenakan sepatu dan mengendong tas yang berisi beberapa potong pakaian dan barang-barang lain yang penting untuk dibawa.

Malam ini juga, mereka berdua berencana untuk kabur dan membebaskan diri dari rumah terkutuk ini. Tampak Hilman yang cemas sambil memandang Razaq dengan penuh keraguan.

"Kamu sudah siap?" tanya Razaq pada Hilman dengan penuh percaya diri. Hilman mengangguk lemas sambil menunduk. Namun Razaq segera mengangkat dagu Hilman dan mencium bibirnya dengan sangat intens dan lama. Tak lama, Razaq melepas ciumannya sambil memandang Hilman dangan pandangan penuh arti.

"Aku yakin, kita berdua pasti bisa melakukannya," ucap Razaq mendorong semangat Hilman. Hilman pun kini tersenyum penuh keyakinan. Ia yakin bahwa ia mampu, selagi Razaq mendampinginya.

"Sepertinya sekaranglah saatnya kita mulai bergerak. Jangan lepaskan genggamanmu," kata Razaq sambil memegang erat tangan kiri Hilman dengan tangan kanannya.

Razaq mematikan lampu kamarnya dan mulai membuka pintu dengan perlahan. Tampak seluruh bagian rumah yang gelap gulita karena semua lampunya dimatikan. Dengan sigap mereka berdua berjalan mengendap-endap menuju dapur tanpa membuat suara berisik.

Setibanya disana, dapur juga tampak sangat gelap. Tapi kedua mata mereka sepertinya sudah mulai bisa beradaptasi.

Razaq dan Hilman langsung berjalan menuju pintu belakang rumah yang dikunci gembok. Razaq melepas tangan Hilman dan mengambil sesuatu di saku kemejanya. Sejulur kawat yang akan ia gunakan untuk membuka kunci gembok itu.

"Apa kakak yakin kalau kawat itu bisa membuka kunci gembok ini?" bisik Hilman meragu. Razaq mulai memasukkan kawat yang baru saja ia lilit sedemikian rupa supaya bisa masuk ke lubang gembok.

"Aku melihat cara ini di acara televisi beberapa hari yang lalu. Dan aku yakin ini pasti berhasil. Percayalah padaku," balas Razaq sambil terus berusaha memutar-mutar lilitan kawat di tangannya.

Namun Hilman tampak sangat cemas sambil sesekali menengok ke belakang, takut kalau nanti ada salah satu anggota keluarga Pak Cokro yang memergoki mereka berdua.

Beberapa menit berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda kalau Razaq berhasil membuka kunci gembok pintu belakang itu. Hilman bisa melihat dahi Razaq yang penuh dengan keringat walaupun dalam suasana yang sangat gelap.

"Kak, kita balik ke kamar saja yuk! Sebelum Pak Cokro menangkap basah kita disini. Kita nanti pasti akan kena hukuman yang sangat berat," bisik Hilman yang sekarang merasa luar biasa deg-degan. Ia sekarang seperti menjadi seorang narapidana yang berusaha merobohkan jeruji besi.

Namun beberapa menit kemudian, terdengar suara....

Ceklikk!!

Pintu gembong berhasil terbuka!

"Ku bilang juga apa? Percayalah padaku. Sekarang kita harus segara pergi," kata Razaq sambil menggandeng tangan Hilman kembali dan membuka pintu belakang. Tampak hutan lebat dan gelap sudah menanti mereka.

"Kak, aku takut!" ucap Hilman sambil bersembunyi di balik punggung Razaq ketika melihat hutan yang gelap di depan mereka.

"Tidak usah takut. Aku akan selalu menjagamu. Ini kan hutan di area perkotaan, jadi tidak mungkin ada hewan-hewan liar yang buas," balas Razaq berusaha menenangkan.

Belum sempat Hilman menyuarakan kata-kata protesnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah ruang makan. Seperti suara Bu Wati yang mengantar Damri ke kamar mandi untuk buang air kecil.

Sontak, bulu kuduk Razaq dan Hilman merinding membayangkan jika mereka benar-benar tertangkap basah. Mereka pun segera keluar melewati pintu belakang dan menutupnya lagi dari luar.

Razaq dan Hilman langsung berlari menembus kegelapan hutan secepat yang mereka bisa. Baru sekitar tiga puluhan meter, pintu belakang rumah Pak Cokro terbuka. Tampak Bu Wati yang melihat Razaq dan Hilman yang tengah berlari tunggang-langgang.

"Hei!! Razaq!! Hilman!! Kalian jangan kabur!! Awas nanti kalau ku temukan kalian lagi!! Kalian akan ku bunuh!! Pak!! Bapak!! Razaq dan Hilman kabur!!" teriak Bu Wati lalu berlari ke dalam rumah untuk membangunkan suaminya.

Sedangkan Hilman dan Razaq masih berusaha menguatkan kaki mereka untuk berlari kencang melewati hutan sebelum Pak Cokro bisa menemukan mereka. Terus saja Razaq berlari sambil menggenggam tangan Hilman erat.

Hilman merasa sangat takut sekali. Tapi entah dari dalam hatinya ia juga merasakan kelegaan yang luar biasa ketika ia sadar bahwa kenyataannya sekarang ia sudah terbebas dari belenggu rumah terkutuk itu.

***

09 Juli 2014

Hujan rintik-rintik mengguyur tanah Kota Surabaya sejak pagi tadi.

Hilman baru saja keluar dari kantor kecamatan di daerah tempat tinggalnya untuk mengambil kartu keluarga, KTP, dan berkas-berkas yang lain yang beratas nama dia dan Lucas.

Awalnya Hilman ingin menelpon Lucas untuk menjemputnya. Tapi ia tidak ingin merepotkan kakak angkatnya itu. Lagipula ia ingin jalan-jalan keliling tempat tinggalnya. Untunglah tadi ia tidak lupa membawa payung lipat.

Ia segera mengeluarkan payung dari tasnya dan membukanya. Hilman mulai melangkahkan kaki menapakki trotoar yang agak becek sambil memegangi payung warna hitam polos di tangan kanannya.

Hilman agak heran melihat suasana di sekitarnya yang jadi sedikit lengang. Apa mungkin itu karena hujan hingga membuat orang-orang jadi merasa malas untuk keluar rumah? Sepertinya begitu.

Ketika ia sudah berjalan cukup jauh dari kantor kecamatan, tiba-tiba Hilman terkesiap ketika sebuah lengan basah kuyup melingkar di lehernya dari arah belakang dengan ujung sebuah pisau yang menghunus di samping lehernya.

"Jangan teriak kalau kamu masih mau hidup!" ancam orang itu yang ternyata suara seorang pria yang terdengar berat dan serak. Karena Hilman ketakutan, tanpa sadar ia menuruti perintah pria itu. Bahkan sampai ia menahan napas dan gerak tubuhnya. Hilman mencoba melirik ke belakang.

Tampak pria berpakaian kumal dan wajah yang brewokan. Pria ini perampok! Astaga! Hilman memejamkan matanya.

Dengan sigap, perampok itu menarik dompet di saku belakang celana Hilman.

"Jangan ambil dompetku! Ku mohon! Jangan!" rengek Hilman. Ia tidak mempermasalahkan mengenai uangnya. Namun soal kalungnya yang ia taruh di dompetnya.

"Diam!!" ancam perampok itu lagi.

Tak berapa lama, perampok itu mendorong Hilman hingga tersungkur ke depan lalu berlari kabur. Payung Hilman terlepas dari tangannya dan dahinya membentur permukaan trotoar dengan cukup keras hingga berdarah.

Dalam keadaan basah kuyup karena hujan dan rasa sakit yang luar biasa hebat di keningnya, Hilman berusaha untuk berdiri dan mengejar perampok itu dengan susah payah sambil berteriak minta tolong.

Perampok itu masih bisa dilihat oleh Hilman dari kejauhan. Ia mulai berlari ke daerah yang ramai. Ia berteriak minta tolong sambil terus berlari. Orang-orang sekitar mulai membantu Hilman mengejar perampok itu hingga ia terpaksa menghentikan laju kakinya karena sudah tidak kuat lagi.

Perampok itu sudah tidak kelihatan lagi. Kalungnya hilang sudah.

Hilman jatuh berlutut menyesali kebodohannya. Satu hal terakhir yang Hilman ingat bahwa ia sekarang berada di daerah yang sangat ramai seperti sebuah pasar. Hingga akhirnya ia merasakan gempa bumi yang sangat dahsyat tengah terjadi. Namun ia melihat orang-orang sepertinya tidak merasakan guncangan gempa yang ia rasakan hingga tubuh Hilman terkulai tak sadarkan diri.

[Bersambung]

Itu gambarku tentang Hilman. Btw jangan lupa vote & comment ya! ^_^

Guardian Angel (boyxboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang