Mobil taksi itu melaju menembus teriknya matahari di Kota Surabaya dengan kecepatan sedang.
Hilman Zakariya tampak sangat lesu sambil menyandarkan punggungnya di jok kursi mobil. Perjalanan dari New York ke Surabaya benar-benar membuatnya jetlag.
"Kau tidak apa-apa, Hilman?" tanya seorang laki-laki di sebelah kanan Hilman. Ia menoleh dan menemukan wajah kakak angkatnya yang sangat tampan. Lucas Azzafri memang memiliki darah timur tengah dari ayahnya, sedangkan ibunya asli orang Indonesia. Hanya saja ia lahir di kota New York. Lucas berusia 27 tahun, 2 tahun lebih tua daripada Hilman yang usianya sekarang 25 tahun.
"Aku baik-baik saja, Kak. Aku hanya jetlag. Memangnya kakak tidak lelah?" tanya Hilman.
"Tidak juga, soalnya tadi di pesawat aku tidur. Jadi aku tidak terlalu merasa lelah," jawab Lucas lalu memandang Hilman.
Namun Hilman malah memandang ke arah luar jendela. Entah kenapa hatinya merasa sangat sesak sejak ia menginjakkan kakinya di Kota Surabaya ini.
Sudah sekitar 17 tahun ia meninggalkan Indonesia dan menetap di New York bersama orang tua angkatnya yang mulai mengangkat Hilman sebagai anak ketika Hilman masih berusia 8 tahun.
Dan rasanya seperti membuka masa lalu yang kelam yang dulu pernah dia alami. Hingga tak terasa, beberapa bulir airmatanya berlinang.
"Kamu kok menangis? Ada apa?" tanya Lucas. Sontak, Hilman langsung berusaha untuk menghapus airmatanya dan berusaha untuk tersenyum.
"Tidak ada apa-apa kok, Kak. Aku cuman teringat sama mama dan papa," jawab Hilman berbohong. Padahal ia sedang tidak memikirkan orang tua angkatnya sama sekali. Ia memikirkan hal yang lain.
Tapi entah kenapa, Hilman jadi merasa sedih jika mengingat orang tua angkatnya yang sudah tiada sejak 2 tahun yang lalu karena kecelakaan. Hingga akhirnya Hilman dan Lucas memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mencoba memulai kehidupan yang baru.
Ia kembali menangis.
"Cup! Cup! Cup! Sudahlah, Hilman. Jangan nangis. Aku yakin mama sama papa sekarang sudah tenang dan bahagia di sana," hibur Lucas sambil membimbing kepala Hilman supaya bersandar di bahu kirinya. Diusapnya kepala Hilman dengan lembut untuk menenangkan tangisan Hilman.
Hilman memeluk erat tubuh kakaknya yang kokoh itu dari samping. Ia selalu bisa merasa damai jika berada di samping kakak angkatnya itu.
"Kita mau langsung ke rumah atau mampir dulu ke restoran dan supermarket?" tanya Lucas masih sambil mengelus-elus puncak kepala adik angkatnya itu.
Mereka berdua mendapatkan warisan berupa restoran dan supermarket besar dari mendiang orangtua mereka. Selain itu juga sejumlah uang yang lebih dari cukup, yang mereka gunakan untuk membeli sebuah rumah yang cukup bagus. Mereka juga memutuskan untuk menjual rumah mereka yang berada di New York.
Namun karena usaha supermarketnya terlalu besar dan cukup rumit, akhirnya Hilman meminta supaya Lucas saja yang mengurusi usaha supermarket itu, sedangkan Hilman yang meng-handle usaha restoran. Lagipula Hilman memang suka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan memasak.
"Kita langsung ke rumah saja, Kak. Kita istirahat dulu, besok saja kita berkunjung ke sana. Lagipula aku sudah tidak sabar pengen tidur. Tubuhku udah pegal-pegal nih, Kak."
"Baiklah, adikku sayang. Adikku yang bawel," balas Lucas sambil mencubit hidung Hilman.
***
09 April, 1997
Hari masih sangat pagi di Kota Surabaya ini. Di luar juga masih gelap. Namun Hilman sudah harus terjaga untuk melaksanakan aktivitas wajibnya.
Memasak.
Kalau sampai Bu Wati dan Pak Cokro tahu jika pagi nanti sarapan belum siap, Hilman bisa terkena hukuman yang kejam dari mereka. Bahkan beberapa hari yang lalu, Pak Cokro memukuli Hilman dengan ikat pinggang hingga paha Hilman membiru karena ia bangun kesiangan sehingga tak sempat membuat sarapan.
Pak Cokro adalah paman Hilman, lebih tepatnya kakak kandung dari ibu Hilman sendiri. Namun karena orangtua Hilman sudah meninggal karena rumah Hilman kebakaran, sejak 5 bulan yang lalu, Hilman terpaksa harus tinggal dengan pamannya yang kejam ini.
Hilman tidak berani kabur dari rumah, karena Pak Cokro mengancam akan memberi hukuman yang lebih berat atau bahkan membunuhnya jika ia berani mencoba kabur.
Pak Cokro dan Bu Wati punya seorang anak kandung laki-laki yang bernama Damri Baharuddin yang usianya sebaya dengan Hilman.
Pak Cokro dan Bu Wati memperlakukan Damri dengan kasih sayang dan penuh manja, berbeda 180 derajat dengan Hilman yang diperlakukan hampir seperti budak. Dan sikap Damri kepada Hilman sama saja dengan sikap orangtuanya.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekati ruangan dapur. Sepertinya itu bukan anggota keluarga Pak Cokro, karena mereka tidak mungkin bangun sepagi ini.
"Boleh aku membantumu memasak?" tanya seorang laki-laki bertubuh cukup jangkung dan berwajah tampan.
"Tidak usah, Kak Razaq. Memangnya kerjaan kakak sudah selesai?" tanya Hilman kepada laki-laki yang bernama Razaq itu, lebih tepatnya Razaq Hanafi.
Razaq adalah anak angkat Pak Cokro dan Bu Wati. Usianya 10 tahun, dua tahun lebih tua daripada Hilman. Mereka mengangkat Razaq sebagai anak sejak setahun yang lalu. Namun Pak Cokro dan Bu Wati tidak memperlakukan Razaq sebagai anak mereka sendiri. Mereka memperlakukan Razaq hampir sama dengan Hilman. Namun Razaq ditugaskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang lebih berat. Seperti membersihkan rumah, mencuci mobil, dan sebagainya.
"Sudah kok. Cuman belum ngepel lantai saja. Tapi itu bisa ku kerjakan nanti," jawab Razaq sambil berjalan mendekati Hilman.
Di antara seisi penghuni rumah ini, hanya Razaq lah yang bisa dibilang me-manusia-kan Hilman. Mungkin karena mereka sama-sama bernasib buruk, jadi Razaq selalu menyemangati Hilman setiap hari. Begitupun sebaliknya.
"Jangan gitu dong, Kak. Lebih baik kakak menyelesaikan pekerjaan kakak dulu, baru boleh membantuku memasak. Aku takut nanti Pak Cokro tahu kalau pekerjaan kakak belum beres hanya karena membantuku memasak. Bisa-bisa kita berdua mendapatkan hukuman, kak," kata Hilman mengingatkan dengan nada khawatir.
Namun tampak Razaq tersenyum manis ketika mendengar serentetan kata-kata yang meluncur dari bibir Hilman.
"Kamu nggak usah khawatir. Biar aku yang menanggung hukuman Pak Cokro," jawab Razaq dengan santainya. Hilman jadi naik pitam.
"Nggak, Kak. Kakak sudah menolongku dari hukuman Pak Cokro sebulan yang lalu sampai paha Kak Razaq berdarah karena sabetan ikat pinggang Pak Cokro. Aku nggak mau Kak Razaq kena hukuman lagi," ujar Hilman dengan nada ketakutan.
Hilman jadi teringat ketika kejadian itu berlangsung. Kemarahan Pak Cokro tak terbendung tatkala melihat rumah yang masih belum di bersihkan karena Razaq membantu Hilman memasak sarapan. Pak Cokro menyabetkan ikat pinggangnya ke paha Razaq berulang kali hingga berdarah. Razaq hampir tidak mampu berdiri keesokan harinya. Dan Hilman merasa sangat bersalah hingga ia merasa bahwa ia adalah orang paling bodoh yang membiarkan Razaq dipukuli Pak Cokro.
Mengingat kejadian itu, membuat airmata Hilman berlinang.
"Kok nangis? Jangan nangis dong," kata Razaq sambil menyeka kedua pipi Hilman yang basah.
Tanpa banyak bicara, Hilman langsung menghambur memeluk Razaq dengan sangat erat sambil menangis sejadi-jadinya.
Sekarang ia hanya punya Razaq di dunia ini. Ia tidak ingin kehilangan Razaq.
Razaq balas memeluk Hilman sambil mengelus rambutnya.
"Aku akan selalu menjagamu dari perlakuan kejam Pak Cokro selama aku mampu," ujar Razaq lirih di telinga kanan Hilman yang malah semakin membuat Hilman menangis lebih lepas dan membenamkan wajahnya di dada Razaq.
[Bersambung...]
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardian Angel (boyxboy)
DragostePerasaan yang sudah hampir itu tumbuh kembali dan menggeser posisi spesial di palung hati setelah laki-laki yang paling dicintai tiba-tiba muncul seperti sebuah keajaiban. WARNING!!! Marning, kuning, pening! Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Namun...