Sepuluh

3.1K 271 10
                                        

Begitu Razaq menutup pintu, Hilman mengambil tongkat kruk milik Razaq.

"Ini tongkatmu," kata Hilman sambil menyodorkan tongkat kruk pada Razaq dengan kaku. Razaq menerimanya sambil memandang Hilman dengan penuh arti.

"Pakaianmu basah. Kamu harus ganti pakaianmu, nanti masuk angin. Aku punya beberapa potong pakaian yang mungkin pas buatmu."

"Tidak usah, Kak. Tidak perlu," cegah Hilman. Lucas mendekat ke samping kanan Hilman dengan gaya sedikit protektif.

"Tidak apa-apa. Aku tidak ingin kamu sakit karena masuk angin," kata Razaq. Hilman menunduk sejenak. Kedua bola matanya terasa panas jika ia memandang wajah Razaq lama-lama.

Pada saat yang sama, Lucas memegang pundak kanan Hilman.

"Aku juga tidak ingin kamu sakit. Kamu ganti baju dulu sana. Lagipula kakakmu Razaq juga tidak keberatan. Biar aku disini menunggumu di ruang tamu," tutur Lucas lirih sambil memposisikan wajahnya sangat dekat dengan telinga kanan Hilman. Hilman menoleh pada Lucas sambil tersenyum dan mengangguk pelan. Razaq tampak membuang muka, merasa sangat tidak suka ketika Lucas melakukan hal barusan.

"Baiklah kalau begitu," kata Hilman. Razaq memiringkan kepalanya, tanda supaya Hilman mengikutinya.

Mereka berdua meninggalkan ruang tamu dan berjalan ke arah belakang hingga mereka berdua tiba di depan kamar dengan daun pintu berwarna cokelat terang. Razaq membuka pintu dengan santai dan berjalan masuk.

"Ayo. Masuk aja," ajak Razaq. Hilman mengangguk patuh sambil mengekor di belakang Razaq. Kamar itu tampak sedikit gelap. Cat temboknya juga mulai pudar. Kamar yang agak sempit itu hanya muat untuk satu tempat tidur dan satu lemari kecil.

Razaq membuka lemari itu dan mengeluarkan satu setel pakaian yang di rasa cocok untuk Hilman.

"Kamu pakai yang ini ya?" kata Razaq sambil menyodorkannya pada Hilman. Hilman yang sedari tadi terdiam hanya mengangguk kecil sambil menerimanya. Ia sadar betul kalau suasana berubah menjadi agak kaku dan tegang.

"Ya sudah kalau begitu. Aku tunggu di luar," kata Razaq sambil berjalan keluar dan menutup pintu.

Hilman memandangi pakaian milik Razaq yang ada ditangannya. Dengan sedikit enggan, ia melepas pakaiannya yang basah dan mengenakan pakaian Razaq.

Dan ternyata begitu ia pakai, ternyata masih sedikit kedodoran. Padahal ini pakaian milik Razaq yang katanya paling kecil.

Hilman meletakkan pakaian basahnya di tumpukan baju kotor. Ia duduk di pinggiran kasur dengan perlahan. Hilman menarik kerah baju Razaq dan diciumnya. Bau tubuh Razaq masih menempel di pakaian itu. Bahkan baunya hampir sama seperti dulu.

Tapi sekarang keadaannya sudah tak seperti dulu lagi. Hilman sudah memiliki Lucas. Tiba-tiba setitik airmata berlinang di pipi Hilman. Ia segera menghapusnya secepat mungkin. Tak ada gunanya menangis. Ia tidak berdaya menghadapi waktu. Ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Waktu ketika ia dan Razaq bersusah payah bersama menjalani kehidupan yang pahit.

Airmatanya kembali berlinang tanpa ia sadari.

"Jangan nangis, Hilman! Kamu harus kuat! Kamu bisa kok," ucap Hilman lirih untuk menyemangati dirinya sendiri sambil menghapus airmatanya. Ia berusaha untuk mengingat hal-hal yang menyenangkan supaya pikirannya teralihkan.

Ketika ia akan berdiri, kedua matanya terpaku pada kasur yang ia duduki. Kasur yang selama ini menjadi tempat Razaq istirahat. Hilman mengambil sebuah bantal yang ada disana dan mulai menciuminya.

Bau rambut Razaq terasa sangat sama dengan yang dulu. Ia menempelkan wajahnya pada bantal itu sekali lagi dan menarik napas panjang. Pada saat yang sama, bahu Hilman berguncang hebat. Ia menangis pilu dalam diam.

Kalau Tuhan mengijinkan, ia ingin sekali kembali ke masa lalu dan tidak akan pernah melepaskan tangan Razaq ketika di mushola waktu itu. Ini semua karena kebodohannya. Kebodohannya.

"Hilman? Kamu sudah selesai?" tanya Razaq dari luar kamar secara tiba-tiba, yang membuat Hilman langsung melempar bantal yang ia pegang dan menghapus sisa-sisa airmatanya dengan cepat.

"Iya, Kak. Aku sudah selesai," ujar Hilman dengan suara agak bergetar karena menahan diri yang masih ingin menangis.

Razaq membuka pintu kamar dan masuk. Ia memandang Hilman dari atas sampai bawah.

"Sedikit kebesaran. Tapi tidak apa-apa. Bajunya cocok buatmu," kata Razaq. Hilman tidak menjawab, malah menunduk dengan kaku. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Terlalu banyak hingga ia bingung harus mulai darimana.

"Kenapa kakak meninggalkanku sendirian di mushola waktu itu?" tanya Hilman tiba-tiba, langsung ke pokok permasalahan. Razaq tampak mengerutkan kening. Ia berjalan mendekati Hilman.

"Maafkan aku. Aku mohon maafkan aku. Aku tidak meninggalkanmu, Hilman. Waktu itu aku tertabrak sepeda motor hingga pingsan karena kepalaku bocor terbentur aspal. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh ayah Syarief. Aku baru bangun sehari setelah kejadian itu, tapi waktu aku kembali untuk mencarimu ke mushola pasar, kamu sudah tidak ada," jawab Razaq sambil memegang kedua pundak Hilman.

"Kamu sudah terlambat," ucap Hilman sambil membuang muka. Razaq tampak tidak mengerti dengan kalimat Hilman barusan.

"Kamu sudah sangat terlambat. Aku sudah berangkat ke New York. Aku di adopsi oleh orang tua angkatku, dan aku sudah tidak berada di Surabaya lagi ketika kamu mencariku," jelas Hilman dengan bibir bergetar. Razaq terbelalak mendengar pengakuan dari Hilman.

"Oh, iya. Ku dengar kamu juga sudah menikah dengan kakaknya Syarief," sindir Hilman tanpa memandang wajah Razaq.

"Aku tidak menginginkan pernikahan itu. Pernikahanku dengan mendiang Fatima itu paksaan dari orang tuanya. Kamu juga harus tahu kalau selama kami menikah, kami tidak pernah berhubungan badan sama sekali," kata Razaq mencoba memberi penjelasan pada Hilman.

Hilman masih membuang muka. Namun kedua tangan Razaq berpindah dari pundak ke kedua pipi Hilman. Ia memutar sedikit kepala Hilman hingga kedua mata Hilman memandang ke arahnya.

Napas Hilman tertahan ketika melihat pipi Razaq yang basah karena air mata. Hatinya seperti teriris. Perih.

"Kumohon, percayalah padaku," bisik Razaq lirih. Hilman ikut sedih melihat Razaq, yang dulu dia kenal sebagai laki-laki yang tangguh, kini seperti tak berdaya di hadapannya.

Dengan cepat, Hilman melingkarkan kedua lengannya ke badan Razaq dan memeluknya dengan erat. Razaq agak sedikit terhuyung ke belakang ketika Hilman melakukan hal itu. Tapi Razaq berusaha untuk tidak terjatuh. Ia balas memeluk Hilman sambil mengelus-elus rambut Hilman dan mencium keningnya.

Hilman sesenggukan di dada Razaq. Ia menciumi bau tubuh Razaq, yang tak jauh beda dengan yang dulu. Ia rindu aroma tubuh Razaq. Ia rindu pelukan Razaq. Ia rindu sekali. Dan hari ini, segala rasa rindu yang ia rasakan seperti terusir, di lenyapkan oleh pertemuan mereka hari ini.

Ketika mereka melepas pelukan, Hilman tampak tersenyum dengan lelehan air mata di pipinya.

"Tinggallah bersamaku dan kakak angkatku, Lucas, yang tadi bersamaku. Aku akan merawatmu," ajak Hilman.

"Aku tidak bisa. Siapa yang akan mengurusi rumah ini? Lagipula aku tidak yakin jika kamu dan Lucas hanya sekadar kakak dan adik angkat," kata Razaq. Hilman terdiam. Ia tidak berani menyanggah kebenaran yang memang ada di antara dia dan Lucas. Sepertinya Razaq sudah bisa membaca gerak-gerik mereka berdua.

"Apa kamu tidak kasihan sama aku, Kak? Sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Aku hanya ingin merawatmu. Lagipula aku tidak bisa membantu Syarief yang mungkin masih harus tinggal di penjara selama beberapa bulan lagi. Dan aku tidak mau melihat orang yang aku sayangi kesusahan," balas Hilman. Razaq memandang Hilman dengan tajam.

"Ya sudah kalau memang itu maumu. Aku juga akan menuruti apapun yang diminta oleh orang paling aku rindukan dan aku sayangi di dunia ini," balas Razaq dengan nada cemburu, yang membuat Hilman serasa dilanda dilema.

[Bersambung...]

Guardian Angel (boyxboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang