Tiga

3.9K 294 2
                                    

Tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit tampaknya membuat suasana hati Hilman siang ini jadi berkabut. Ia berdiri dan memandang keluar jendela kantornya yang ada di restoran, tepatnya di lantai dua.

Dari atas ia dapat melihat suasana jalan raya yang di terpa hujan, beberapa kendaraan yang lalu-lalang, juga beberapa orang yang mengenakan jas hujan dan payung. Hilman menghembuskan napas dengan sangat berat. Hari ini hari pertama ia menjalankan tugasnya sebagai seorang pemilik restoran yang cukup terkenal seantero Kota Surabaya.
Ia berjalan kembali ke meja kerjanya. Baru ketika pantatnya menyentuh kursi, Hilman langsung mengambil sebuah stopmap yang berisi daftar identitas karyawan yang bekerja di restorannya. Setelah dilihat, ternyata mayoritas para karyawan disini bisa dibilang lebih tua daripada Hilman sendiri. Apalagi yang bekerja di bagian dapur.

Hingga tiba-tiba, ia sedikit tercengang ketika kedua matanya tertuju pada sebaris nama yang sangat familiar baginya. Damri Baharuddin. Apakah ini Damri Baharuddin yang ia kenal?

Setelah di cek, Hilman terbelalak ketika melihat nama ayah dari Damri Baharuddin. Cokro.

Seakan-akan timbul sebongkah amarah dan rasa benci di benak Hilman. Masa lalunya yang kelam dan kejam seperti terputar kembali di pikirannya.

Tapi sebisa mungkin, ia berusaha untuk menahan emosinya. Ia harus bersikap profesional dalam hal bekerja. Kalau ternyata anak itu cukup disiplin dan tidak melakukan sesuatu yang merugikan, menurutnya itu bukan masalah.

Karena agak penasaran, Hilman mencari berkas-berkas lainnya mengenai karyawan. Setelah ia baca, ternyata kinerja anak itu memang cukup bagus. Tapi....

Tiba-tiba setitik airmata berlinang di sudut mata Hilman. Hal ini membuatnya teringat akan seseorang yang dulu menjadi satu-satunya harta yang ia miliki. Harta yang paling berharga yang membuatnya seperti menjadi manusia paling kaya raya di dunia ini.

Semakin lama, tangisan Hilman semakin pilu. Kesedihan yang ia rasakan sekarang seperti tak terbendung lagi. Bak segurat luka lama yang terbuka kembali.
Di tengah tangisannya, Hilman mengeluarkan dompetnya dari saku celananya. Ia mengambil sebuah kalung yang terbuat dari lilitan benang wol warna hitam dan putih, dengan gantungan berbentuk seperti bola berwarna putih yang dibuat dari kain perca.

Kalung sederhana ini sungguh membuatnya bahagia, sekaligus merana. Karena orang yang memberikan kalung ini padanya sudah hilang entah kemana. Namun jauh di dalam lubuk hati Hilmam, ia sangat amat berharap Tuhan masih berkenan untuk memberinya kesempatan untuk bertemu dengan orang itu sebelum ia mati. Hanya untuk mengatakan, bahwa ia sangat merindukannya

***

20 Juni 1997

Hari sudah semakin sore. Matahari tampak mulai menjingga. Saatnya Hilman membantu Razaq untuk mengangkat pakaian-pakaian yang tadi pagi dicuci oleh Razaq. Pakaiannya cukup banyak, karena disana ada pakaian Pak Cokro, Bu Wati, dan pakaian Damri.

Razaq hanya mencuci sedikit pakaiannya sendiri. Terlebih, ia memang tidak memiliki banyak pakaian. Sejak Pak Cokro dan Bu Wati mengangkatnya sebagai anak, ia bahkan hanya diberi beberapa pakaian lungsuran dari Pak Cokro yang sudah tidak dipakai lagi. Dan semuanya tampak terlalu kebesaran bagi Razaq.

Sempat beberapa kali Razaq menawarkan untuk sekalian mencuci pakaian Hilman yang kotor. Tapi Hilman menolaknya. Hilman lebih memilih untuk mencucinya sendiri daripada menambah-nambahi pekerjaan Razaq. Ia bahkan sesekali juga ikut membantu Razaq mencuci pakaian.

Setelah semua pakaian ditaruh di sebuah bak kering, Hilman dan Razaq mengangkatnya bersamaan ke dalam rumah. Setibanya di kamar, mereka berdua langsung melipat baju-baju tersebut di ranjang masing-masing tanpa menyetrikanya. Paka Cokro dan istrinya memang lebih suka menyuruh Razaq menyetrika pakaian ketika baru akan dikenakan karena mereka pikir akan lebih terlihat rapi dan baru.

Tak berselang lama mereka melipat pakaian, tiba-tiba Razaq menghampiri Hilman yang tengah fokus melipati pakaian.

"Hilman, aku punya sesuatu untukmu," kata Razaq sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung.

"Untukku? Apa itu, Kak?" tanya Hilman dengan penasaran. Razaq tersenyum kecil. Dengan satu gerakan cepat, ia menunjukkan kalung yang tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya. Kalung yang terbuat dari benang wol hitam dan putih yang dililit sedemikian rupa hingga terlihat cukup unik, dengan bandul berbentuk bola yang terbuat dari kain perca. Bukan hanya satu kalung, tapi dua. Hilman tampak sangat senang. Razaq tersenyum lagi ketika melihat raut wajah Hilman. Ia langsung duduk di sebelah kanan Hilman, di pinggiran kasur.

"Aku buat ini tadi ketika Bu Wati menyuruhku untuk menyulam salah satu pakaiannya yang berlubang. Jadi ketika sepi, aku buat ini, untuk kita berdua. Satu untukku, dan satunya lagi untukmu," tutur Razaq sambil langsung memakaikan salah satu kalung itu ke leher Hilman, dan ia memakai yang satunya dilehernya sendiri.

Hilman menatap kalung yang telah tergantung di lehernya itu dengan penuh arti.

"Dengan kalung ini, kita akan selalu saling memiliki hingga nanti. Tak akan ada yang bisa memisahkan kita. Karena kamu satu-satunya yang ku miliki," kata Razaq dengan serius yang langsung membuat Hilman bersemu. Hilman merasa seperti orang yang paling bahagia sedunia.

Tiba-tiba, ada suatu rasa yang muncul dari dalam benak Hilman. Seperti sebuah perasaan sayang yang menggebu pada Razaq. Tapi ini bukanlah rasa sayang seorang adik kepada kakaknya. Rasa ini sepertinya lebih dari itu.

"Terimakasih, Kak Razaq," kata Hilman lirih.

"Sama-sama," balas Razaq sambil tersenyum teduh sambil mengusap kepala Hilman.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Damri masuk ke dalam kamar dan langsung mendekati Razaq dengan sikap manja.

Anak kandung Pak Cokro dan Bu Wati ini umurnya sebaya dengan Hilman. Damri lahir tiga bulan lebih dulu daripada Hilman.

"Kak Razaq! Kak Razaq! Bantu aku beres-beres kamarku yuk!" ajak Damri lalu tiba-tiba melirik ke arah leher Razaq dan Hilman secara bergantian.

"Kalian berdua kok punya kalung yang sama? Itu kalung darimana?" tanya Damri dengan nada iri. Hilman tersenyum bangga sambil memegangi kalungnya.

"Ini dibuatin sama Kak Razaq. Dia buat sepasang, yang satu aku pakai, yang satu dipakai Kak Razaq," jelas Hilman yang membuat Damri semakin merasa iri.

"Kok aku nggak dibuatin sih? Kak Razaq jahat!" teriak Damri lalu berlari keluar kamar sambil menangis.

Razaq dan Hilman saling menatap satu sama lain dengan raut cemas. Damri anak yang selalu dimanjakan oleh Pak Cokro dan Bu Wati. Mereka takut jika anak itu mengadu pada orangtuanya.

"Hilman, sebaiknya kita lepas dulu kalung kita. Kita sembunyikan dulu. Firasatku tidak enak," pinta Razaq. Hilman mengangguk dan melepas kalungnya dengan segera.

"Biar aku sembunyikan!" ujar Razaq langsung mengambil kalung di tangan Hilman untuk dibaurkan dengan miliknya dan dimasukkan ke dalam celananya. Lebih tepatnya ke dalam celana dalamnya yang membuat Hilman mengangkat kedua alisnya.

Belum sempat Hilman memprotes, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Tampak Bu Wati dengan wajah agak geram menatap Hilman dan Razaq secara bergantian, serta Damri yang mengintip dari belakang badan Bu Wati.

"Mana kalungnya?!!" teriak Bu Wati dengan suara yang lantang. Hilman dan Razaq terdiam menunduk.

[Bersambung...]

Jangan lupa vote & comment ya guys ^_^

Guardian Angel (boyxboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang