Sedikit menyesal atas perbuatannya, Barry memilih untuk meninggalkan Leni dan juga rumah yang selama ini ia tempati. Tak ada yang tahu kemana ia pergi, hanya sepucuk surat yang mewakili ucapan terakhirnya yang ia tinggalkan dimeja dekat dengan ranjang dimana Leni sedang terbaring dirumah sakit. Disaat Leni terbangun dari tidurnya, ia menemukan surat tersebut diatas meja, dan ia pun segera membuka dan membacanya.
Leni,
Maafkan aku yang tak berguna ini, Maafkan semua sikap dan perlakuanku terhadapmu selama ini, aku harap kau tidak membenciku, karena sesungguhnya, aku tidak pernah berniat untuk kasar terhadapmu. Mungkin selama ini, aku menjadi seorang pria yang sangat tidak berguna dimatamu dan anakmu, aku hanya membebani hidup kalian, dengan kepergianku kali ini, mungkin semuanya akan jauh lebih baik.
Kamu adalah wanita sabar dan penyayang yang pernah ku temui. Aku tahu, aku sering menindasmu dengan semua sikap kasarku dan sering mempermalukanmu. Mungkin kamu tak dapat secara mudah untuk memaafkanku, tapi hari ini yang ku minta adalah maaf darimu.
Aku berharap kau dapat segera sembuh seperti sedia kala, dan jangan pernah sekalipun untuk mencoba melakukan hal-hal bodoh lagi, ketika kau terbangun dari tidurmu, dan membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi jauh dari kehidupanmu.
Terima kasih yang sangat besar ku ucapkan untukmu, karena telah bersamaku selama dua puluh tahun lebih, sebuah angka yang sangat sulit untuk dilalui dalam bahtera rumah tangga. Selamat tinggal Leni.
Salam,
Barry.
Leni menatap kosong langit-langit ruangan, ia merasakan genangan airmata memenuhi kedua bola matanya, dan disaat bingkai mata sudah tak dapat lagi membendungnya, maka genangan tersebut perlahan-lahan mengalir dan menggores lembut sudut mata Leni.
Ia menutupi wajahnya dengan surat yang ditinggalkan oleh Barry, batinnya terguncang, hatinya merasakan kecewa yang amat mendalam, tubuhnya bergetar menahan isakan tangis yang hampir sama sekali tak terdengar dari bibirnya.
***
Sebelum berangkat kerja, Hansen menyempatkan diri untuk menjenguk Ibunya yang sedang berada dirumah sakit untuk menjalani perawatan medis. Pada saat Hansen masuk kedalam ruangan dimana tempat ibunya berada, ia mendapat ibunya berbaring menghadap jendela. Hansen pun berjalan mendekati ibunya.
"Bu." sapa Hansen.
Leni membalikkan tubuhnya dan menatap Hansen, dan Hansen mendapati kedua bola mata ibunya memerah.
"Apa yang terjadi? Mengapa ibu menangis?"
Leni memecahkan tangisnya yang ia pendam sedari tadi, ia bangkit dari berbaringnya dan memeluk putra semata wayangnya itu dengan pelukan yang sangat erat. Hansen benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan pada saat-saat seperti ini, ia hanya dapat mengelus-elus punggung ibunya dan berusaha menenangkan wanita paruh baya tersebut.
"Bu, apa yang sebenarnya terjadi? ceritakan padaku." desak Hansen.
Leni melepaskan pelukannya, mengusap setiap goresan air mata yang tertinggal diwajahnya. Ia pun mengambil surat yang ditinggalkan oleh Barry dan diberikan kepada putranya tersebut dan Hansen mulai membacanya.
"Jadi ia benar-benar pergi dan meninggalkanmu begitu saja?" tanya Hansen setelah membaca isi secarik kertas ditangannya.
Leni tidak menjawab, ia hanya terdiam dan tampak menahan isakan tangis.
"Benar-benar keterlaluan dan sangat tidak memiliki rasa tanggung jawab!" ujar Hansen dengan geram.
***
Seminggu lebih Brandon tidak bertemu dengan Hansen. Semenjak Hansen tiba-tiba meninggalkannya disaat mereka sedang melewatkan makan malam, membuat Brandon sangat merindukan sosok Hansen. Berulang kali ia mencoba untuk menghubungi Hansen, tapi Hansen selalu menolak untuk diajak bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dancers
Romans*Another Gay Repost Story *Original Writer : @Monster26 *Don't like don't read! *LGBT HATERS GO AWAY!!