⬛️ melody - f i v e ⬛️

109 6 1
                                    

Mereka sampai di Dufan, sekitar pukul lima—tapi hari itu mendung, membuat langit sudah keabuan. Ryuga memandang langit yang terlihat suram itu, beberapa saat, sebelum Melody datang disampingnya, mengampit lengan kekar lelaki itu seenaknya. "Ryuga, aku mau main itu! Terus, itu, tapi—beli ice cream dulu, yuk?"

"Gue ngga suka ice cream," Ryuga ingin melepas tangan Melody yang bergelayut di lengannya itu, tapi, rasanya.., apa, ya? Bukan! Bukan nyaman. Dia bukan tipe lelaki yang dengan mudahnya merasakan kenyamanan di dekat orang-orang baru. Tapi Melody.., entahlah, gadis itu punya sesuatu yang membuat orang lain merasa.., merasa selalu ingin dekat dengan gadis itu, sekaligus jauh dari gadis itu.

Alis tebal Melody menyatu. "Emang.., ada ya orang yang ngga suka ice cream? Regan aja suka, loh."

Regan. Mendengar nama orang itu, Ryuga menjadi ingat kejadian saat disekolah—ugh. Ryuga juga tidak tahu kenapa ia mengatakan hal seperti itu pada Regan. Yang jelas, Ryuga tidak suka dengan Regan.

Karena dia keliatan dekat dengan Melody?

Nggak! Batin Ryuga berteriak. Nggak, nggak, nggak. Nggak mungkin, lah. Dia cuma.., Regan begitu angkuh. Dalam hal apapun. Terlebih, yang menyangkut Melody. Ia bertingkah seperti hanya ia yang tahu tentang Melody, hanya ia yang boleh dekat dengan Melody, dan—intinya, hanya ia yang boleh apapun itulah yang berhubungan dengan Melody. Ya. Benar. Karena itu. Padahal, memang ia pikir Melody siapanya? Saudaranya? Pacar—

Pacar?

Ryuga melirik Melody, yang membuatnya harus sedikit menunduk karena tubuh Melody yang mungil. "Regan pacar lo?"

"Hah?" lagi, alis tebal Melody menyatu. "Paca—oh, pacar. Bukan, lah!" Melody terkekeh. "Aku udah sahabatan sama Regan waktu—hmm, waktu bayi. Waktu kita sama-sama baru lahir. Kita tumbuh bareng, sekolah bareng terus, sampe dulu—" Melody berhenti.

"Kenapa berhenti?"

Tanpa alasan yang Ryuga tahu, pipi Melody memerah. Gadis itu menggeleng, "Ng-nggak, nggak. Ayo, beli ice cream!"

Ryuga mengangkat bahunya melihat tingkah laku Melody. Ia kemudian mengikuti langkah Melody yang menuju stand ice cream. Melody tersenyum lebar, seperti anak kecil saat melihat begitu banyak jenis rasa ice cream di stand tersebut.

"Ryuga, beneran nggak mau? Ini enak, loh. Beneran, deh!"

Ryuga menggeleng, "Nggak. Lo aja."

"Cobain, deh, ya? Dikiiit aja. Okay? Enak, kok! Suer!" Melody menatap Ryuga dengan penuh harap.

Tapi, Ryuga menggeleng. Ia tidak suka ice cream. Lebih tepatnya, seperti, apaya, phobia? Dulu, Ryuga juga suka ice cream. Tapi ada satu kejadian dimana Ryuga harus memakan ice cream selama satu jam penuh tanpa berhenti—bisa bayangkan bagaimana rasanya? Ugh. Keesokannya, Ryuga langsung sakit—buang-buang air. Sakit tenggorokan. Sejak saat itu, Ryuga tidak mau lagi makan ice cream. Trauma.

"Gue pernah sakit selama dua hari gara-gara makan ice cream, Melody," akhirnya, Ryuga menjawab.

Melody berhenti berbicara. "Trauma, huh?" Melody tersenyum, menampakan gigi-gigi putihnya. "Kalo makannya cuma satu cup, percaya, deh, nggak apa-apa kok. Mau, ya?"

Tanpa meminta persetujuan Ryuga lagi, Melody memesan satu cup ice cream rasa vanilla ukuran small, dan satu cup ice cream rasa vanilla plus topping oreo ukuran large.

Ryuga menghela napas pasrah. Gadis polos di sampingnya ini, benar-benar keras kepala. "Batu," gumamnya.

"Apa?" Melody menoleh. Ryuga menggeleng. "Nggak," ucapnya.

Melody baru akan mengucapkan sesuatu, tapi perempuan pertengahan tiga puluh yang menjaga stand ice cream itu memanggilnya.

"Satu vanilla ice cream small dan satu vanilla ice cream with oreo large!" ucapnya, menyerahkan dua cup berisi ice cream yang dipesan Melody.

"Makasih," tersenyum manis, mengambil dua cup ice cream tersebut. Gadis itu menyerahkan cup yang lebih kecil kearah Ryuga. "Nih!"

Dengan terpaksa, Ryuga mengambil cup tersebut. "Harus banget gue makan, nih?"

Mulut Melody penuh dengan ice cream saat menjawab, "Harus—mmmm, yummmyyyy!"

Ryuga tidak pernah melihat seseorang memakan ice cream seperti yang dilakukan Melody—serius. Melody memakan ice cream seperti ice cream adalah makanan terlezat di dunia. Seolah-olah ia baru memakan ice cream selama bertahun-tahun lamanya.

"Kayanya lo suka ice cream banget, ya," Ryuga memandangi Melody. "Mending yang punya gue buat—"

Mulut terbuka Ryuga tersumpal oleh satu dendok penuh berisi ice cream. Ryuga melotot pada Melody, yang ia balas dengan senyum lebar.

Manis.

.
.
.

Mereka bermain sampai matahari akan terlelap, pukul enam. Lebih tepatnya, Melody. Maksudnya, Melody yang lebih banyak bermain—permainan anak kecil. Seperti wahana istana boneka. Menaiki wahana seperti cangkir-cangkir yang Ryuga sudah lupa namanya, dan banyak lagi. Waha yang Ryuga naiki bersama Melody hanyalah Komidi Putar—itu juga karena terpaksa—dan Bianglala.

"Lo tau, ngga," Ryuga yang duduk disebelah Melody berucap. "Lo itu cewek paling penakut yang pernah gue temuin."

Mereka berada di pinggir Pantai Ancol. Menunggu matahari terbenam. Melody selalu suka melihat saat matahari terbenam. Maka dari itu, ia mengajak Ryuga untuk melihat matahari terbenam lebih dulu sebelum mereka pulang. Biasanya, Melody melihatnya bersama Regan. Gadis itu akan bersandar di punggung Regan yang kokoh, sambil mengampit lengan tangan sahabatnya itu. Tapi kali ini ia bersama Ryuga. Jadi, Melody memeluk kedua lututnya, menunggu matahari terbenam dalam diam.

"Bukannya takut," Melody bergumam. "Daddy nggak pernah bolehin aku main wahana yang serem-serem gitu," lanjutnya.

Ryuga mendengus. "Takut lo kenapa-kenapa? Bisa diterima. Forever daddy's little girl."

"Forever daddy's little girl," bibir mungil Melody mengulang kalimat yang dikatan Ryuga. "Hmmm, bener."

"Dan lo fine-fine aja dengan itu? Don't you feel uncomfortable? Maksud gue, lo udah bukan anak SD lagi. Lo udah SMA."

Mata Melody menatap lurus kedepan, dimana matahari sudah mulai terbenam. Mata bulatnya hampir tidak berkedip menyaksika pemandangan itu. Padahal, ia sudah berkali-kali melihat pemandangan matahari terbenam. Tapi, ia selalu gagal untuk tidak terpesona. Pemandangan yang dilihatnya seperti sebuah gambar yang terdapat dalam sebuah canvas. Karya seni yang indah.

Tidak mendapat jawaban, Ryuga menoleh ke arah Melody. Siluet Melody. Tampak begitu.., pas. Jika ada yang mendefinisikan sesuatu yang mendekati sempurna, mungkin Ryuga akan menjawab bahwa itu adalah Melody.

Ryuga tidak tahu, apa pemandangan matahari terbenam, atau siluet Melody yang lebih indah.

29 Oktober, 2015
----------------------------------------------
PUBLISH LAGI!!!! Yes, akhirnya. Btw, ada dua part (kalo gasalah) yang di edit. Baca ulang aja gapapa ehehe, enjoy!

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang