Melody terlelap di kamar Regan. Sedangkan Regan duduk di pojok kamarnya, memperhatikan Melody lekat-lekat. Sahabatnya itu. Sahabat—ia mencemooh dalam hati. Sahabat. Dulu, Regan rasa kata sahabat sudah lebih dari cukup. Melody tidak akan berpaling darinya. Melody akan selalu menjadi Melody-nya, sahabatnya sedari bayi, sahabat yang ia sayangi, sahabatnya yang selalu ia jaga, sahabat yang—ia cintai. Tapi, sekarang Regan tau, kata sahabat tidak cukup.
Sejak bertemu pria itu. Anak pindahan berdarah Jepang-Indonesia itu. Regan mengacak-acak rambutnya, frustasi. Sepanjang tujuh belas tahun hidupnya, Melody tidak pernah seperti ini—tertarik pada seorang pria lebih dari rasa tertarik gadis itu pada ice cream, kalau bisa dibilang. Gadis itu tidak pernah tidak mengabari Regan—gadis itu hampir selalu mengabiskan waktu bersama Regan. Regan, Regan, dan Regan. Kehidupan gadis itu selalu berputar disekitar Regan.
Regan membutuhkan Melody—bisa dibilang, lebih dari Melody yang membutuhkan Regan. Regan mencintai sahabatnya itu. Entah, sejak kapan. Mungkin saat pertama kali Regan melihat Melody yang memakai gaun panjang saat ulang tahun ke-enam belasnya. Atau sejak Melody menangis didalam pelukannya empat tahun lalu. Regan tidak tahu. Yang pasti, Regan tidak lagi melihat Melody hanya sebagai sahabat-nya. Regan—ia melihat Melody sebagai seorang gadis. Gadis yang ia sukai. Ia sayang. Ia cinta.
Regan beranjak dari tempat duduknya, berjongkok disamping tempat tidur, mengelus pipi mulus Melody. "Aku sayang kamu, Dy."
.
.
.
."Maaf, Om."
"Bukan salah kamu. Gapapa, Re. Yang penting Melody nggak apa-apa," jeda. "Maaf Om selalu merepotkan kamu, ya."
Regan menggeleng walaupun tahu orang disebrang sana itu tidak dapat melihatnya. "Nggak, Om. Nggak ngerepotin Regan sama sekali. Regan sayang Melody," tarikan nafas. "Regan yang minta maaf karena ngga bener jagain Melody samp—"
"Gapapa," suara itu memotong kata-katanya. "Om tau kamu selalu lakuin yang terbaik buat Melody. Om akan pulang besok, sekarang Om ada meeting lagi. Om tutup."
"Ya, Om."
Telpon dimatikan.
"Daddy, ya, Re?"
Regan berbalik, melihat Melody yang sudah bangun, duduk dipinggir tempat tidur. Mata gadis itu sedikit bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Regan mengangguk pelan.
"Kamu kasih tau Daddy?"
"Nggak," Regan ikut duduk disamping Melody, membuat gadis itu menyenderkan kepalanya di bahu kekar Regan. "Belum, maksudnya. Sampe Om Leo nelfon aku tanya kenapa kamu dan aku ngga masik sekolah hari ini."
"Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi bolos hari ini," Melody mengucapkan itu dengan tulus. Regan itu, tipe anak rajin yang tampan. Regan mungkin tidak sepintar Ryuga yang bisa mendapatkan beasiswa disekolahnya itu—yang terkenal dengan siswa-siswanya yang berotak cemerlang. Tapi Regan pintar. Dia selalu bilang, dia ingin menjadi dokter.
Regan terkekeh. "Aku bisa belajar sendiri nanti malam," balasnya.
"Aku juga pengen belajar," gumam Melody. "Tapi nanti otak aku meledak, duar!"
"Lebay," Regan terkekeh, lagi. "Makan, yuk, udah siang. Mau makan apa?"
"Mau makan..," telunjuk Melody mengetuk-etuk dagunya, berpikir—walaupun Regan tau, gadis itu tidak benar-benar berpikir. "Mau makan seafood!"
"Terakhir ngajak kamu makan seafood, kamu nggak masuk sekolah dua hari gara-gara alergi."
Melody terkekeh, mengingat kejadian dua minggu yang lalu itu. Ia tau kalau dirinya alergi kepiting, tapi, melihat Regan yang begitu lahap memakan kepiting saus padang—makanan kesukaan lelaki itu—seorang diri, membuat Melody bandel 'menyicipi' kepiting tersebut. Sepulangnya, seluruh tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah yang gatal.
"Janji, nggak bakal makan kepiting lagi!" dua jari Melody terancung membentuk tanda peace.
"Mmmm," Regan bergumam panjang. "Yaudah. Kamu mandi deh, nanti aku yang beli makanannya. Kita makan dirumah aja."
"Tapi aku ma—"
"Melody," suara Regan lembut, tapi tegas. Dan jika sudah begini, Melody tau ia tidak bisa merengek lagi.
"Okay, kita makan di rumah."
.
.
."Tidur, Dy."
Sekitar pukul setengah sepuluh saat Regan mengatakan itu untuk yang ke tiga kalinya pada Melody. Sedangkan gadis itu masih asyik bermain Get Rich lewat iPad milik Regan.
"Melody," Regan berucap lelah.
Tanpa mengalihkan pandangan dari iPad, Melody berucap, "Aku belum ngantuk." Untuk yang kedua kalinya.
"Fine, tapi ayo pulang. Om Leo pulang hari ini, Dy."
"Daddy pasti pulang tengah malem. Kalo nggak, subuh," Melody menatap Regan. "Aku cuma lagi nggak mau sendirian di rumah."
Regan diam. Ia mengalihkan pandangan kearah lain, enggan menatap Melody. Ia tidak pernah suka melihat tatapan Melody yang—entah, ia sendiri tidak bisa menebak dengan pasti apa arti tatapan Melody. Tapi yang Regan tau pasti, sahabatnya itu sedih. Kesepian. Melody memang tidak pernah mengungkapkan itu secara tersurat, tetapi tatapan Melody mengungkapkannya.
"Mau nginep disini?" akhirnya, Regan bertanya.
Melody nyengir lebar. "Kenapa Regan nggak nawarin dari tadi, sih?"
"Jadi kamu emang pengen nginep disini?" Regan menggelengkan kepalanya. "Yaudah. Aku mau belajar dulu. Kamu disini aja, ok?"
Regan memang punya ruang belajar sendiri—letaknya tepat disebelah kamar lelaki itu, kamar yang omong-omong sedang Melody (dan Regan) pijaki. Ruangan belajar Regan tidak terlalu kecil, juga terlalu besar. Selain satu meja belajar lengkap dengan kursi-nya, ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak buku tinggi yang hampir seluruhnya terisi oleh buku-buku pelajaran. Dan, semuanya milik Regan.
Walaupun sudah bersahabat dengan lelaki itu dari bayi, Melody baru memasuki ruang belajar sahabatnya itu.., mm, berapa kali, ya? Sepertinya dua. Atau tiga. Melody tidak betah berlama-lama disana. Membosankan. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika berada disana. Membaca buku? Buku-buku milik Regan? Oh, tidak, terima kasih. Melihat tebalnya buku-buku itu saja rasanya otak Melody ingin meledak. Oke, itu berlebihan.
"Jangan lama-lama belajarnya, nanti otak kamu meledak!"
Sebelum menutup pintu kamarnya, Regan membalas ucapan Melody, "Jangan kebanyakan main Get Rich, nanti mata kamu mele—"
"REGAAN!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody
Teen FictionIni adalah cerita cinta seorang gadis bernama Melody Addyson Huang.