◼️ melody - n i n e ◼️

65 3 0
                                    

Hari bergulir dengan cepat. Iya, secepat itu. Sampai-sampai tidak terasa sekarang sudah pekan ulangan. Pekan yang paling tidak dinanti-nanti oleh seluruh murid manapun, iya kan? Begitu juga dengan Melody—pastinya. Gadis itu mengernyit tidak suka saat Mr. Rendra, guru Fisika mereka, mengumumkan bahwa lusa, kelas mereka akan ulangan harian mata pelajarannya sebelum keluar dari kelas.

Fisika. Melody tidak bisa fisika, sama sekali. Oke, Melody memang hampir tidak bisa semua mata pelajaran—tapi fisika? Melody nol besar. Oh, tidak. Melody ada di titik minus, malah. Dan itu kenyataan.

"Mending mati digigit zombie daripada ulangan fisika," Melody menggumam. "Eh. Gajadi. Ugh. Pilih ulangan fisika aja, deh. Daripada jadi zombie, coba? Geli. Serem. Jaha—"

"Berisik."

Melody nyengir. "Ryuga, kamu suka nonton film zombie, nggak? The walking dead? Resident Evil? World War Z? Atau—"

"Berisik," Ryuga menatap Melody dengan tatapan terganggu. "Gue nggak suka nonton film yang nggak masuk akal."

Dijawab seperti itu, Melody merengut. "Kok nggak masuk akal, sih? Resident Evil kan—"

"Gue nggak suka nonton film yang nggak ada guna-nya," alis Ryuga hampir menyatu. "Lo nonton gituan apa gunanya? Nggak ada."

"Terus, kamu sukanya nonton film kaya apa?" mata Melody mengerling penuh antusias. "Regan suka nonton film sejarah gitu. Kalo aku, sih, nontonnya ngantuk—kadang ada juga yang menarik, sih. Terus Regan juga suka nonton film—"

"Hubungan lo sama Regan tuh apa sebenernya?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Ryuga tanpa bisa ia cegah. Lelaki itu mengutuk kebodohan dirinya dalam hati. Seharusnya, ia tidak bertanya seperi itu. Kan, terkesan seperti ia penasaran saja dengan gadis itu. Memang penasaran, sih. Gak, gak, batin Ryuga menolak. Nggak boleh penasaran sama Melody. Cuma buang-buang waktu, Ryuga.

"Bukannya udah pernah bilang, ya? Kita sahabatan," Melody menatap lurus-lurus Ryuga sambil menyangga dagunya dengan satu tangan. "Lupa, ya?"

Oh, Ryuga ingat. Waktu itu. Waktu Melody mengajaknya pergi secara tiba-tiba. Waktu mereka melihat matahari terbenam bersama. Waktu—ya, waktu itu.

"Mmm," Ryuga menangkat bahunya acuh. "Iya, lupa, nggak penting soalnya."

"Masa?" kerlingan jahil. "Kalo nggak penting, kok kamu nanya lagi, sih?"

"Melody Addyson Huang, memangnya Ryuga lebih menarik daripada materi yang saya berikan, begitu?"

Melody dan Ryuga terkesiap. Wajah Ryuga memerah, malu. Sedangkan Melody, seperti biasa, tampak tidak terpengaruh. Gadis itu hanya menampakkan gigi-gigi rapihnya, tersenyum tanpa dosa.

"Sorry, Mr. Bernard," Melody dan Ryuga berucap bersamaan.

Mr. Bernard menggeleng-geleng. "Melody, nilai ulangan harian kamu yang terendah. Lima puluh, dan kamu masih berani-berani nya tidak memperhatikan pelajaran saya?"

Melody menunduk. Dia memang bersalah. Maksudnya, mencari masalah di pelajaran Mr. Bernard memang salah. Mr. Bernard itu terkenal karena kedisplinannya, kegalakannya, kemenyebalkannya, dan ke-ke lainnya yang membuat dirinya ada di list guru yang patut dijauhi dan disegani. Jangan sekali-sekali berbuat satu kesalahan dengannya, karena jika sudah begitu, ia akan selalu menghubungkan satu kesalahan itu dengan kesalahan-kesalahan yang lainnya.

"Maaf, Sir," Melody berucap, masih menundukkan kepalanya.

"Kamu tau, kan, maaf tidak akan membuat nilai kamu membaik," Mr. Bernard menatap Melody tajam dari balik kaca mata plus-nya. "Saya mau, ulangan selanjutnya kamu mendapat nilai di atas tujuh puluh. Dan Ryuga, karena nilai kamu yang tertinggi, kamu saya tugaskan sebagai mentor Melody."

Di tempat duduknya, Regan ingin memprotes. Ia bisa menjadi mentor Melody. Toh nilainya juga bagus—walaupun tidak sebagus nilai Ryuga. Tapi sebelum lekaki itu memprotes, Ryuga sudah lebih dulu menyuarakan protesnya.

"Saya? Ngg—ekhm, rumah saya jauh dari rumah Melody, Sir. Dan, maaf, saya punya pekerjaan saya sendiri setelah pulang sekolah."

Mr. Bernard tidak suka dibantah. Sekalipun itu oleh murid pintar yang biasanya adalah murid kesayangannya. Melody berbisik, pelan, agar hanya bisa di dengar oleh Ryuga, "Mr. Bernard gasuka di bantah, Ryuga. Iya-in aja perkataan dia. Serius."

Ryuga tidak menggubris perkataan Melody. Tidak ada salahnya, kan, mencoba? Ia tidak ingin menjadi mentor Melody. Dia sudah cukup sibuk oleh urusan dirinya sendiri.

"Saya tidak menerima bentuk penolakkan apapun," Mr. Bernard menjawab, mutlak.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ryuga selain menuruti permintaan guru menyebalkan itu, kan?

.
.
.
.

Bel pulang sekolah, membuat Melody bersorak senang. Gadis itu memasukkan segala macam buku yang ada di atas mejanya kedalam tas secara acak, berbanding dengan Ryuga yang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan rapih.

"Ryuga, masalah Mr. Bernard—"

"Gue nggak ada waktu free buat ngajarin lo," cepat, Ryuga membalas. "Dari Senin sampe Jumat gue kerja part-time abis sekolah. Sabtu-Minggu gue kerja dari pagi sampe sore."

Melody pikir, Ryuga hanya bekerja dari Seni sampai Jumat. Tetapi ternyata lelaki itu bekerja setiap hari. "Mm, kamu, kerja dimana kalau Sabtu sama Minggu?"

"Bukan urusan lo," Ryuga menjawab dengan dingin. "Denger, gue emang nggak ada waktu buat jadi mentor lo, dan, gue juga nggak mau. Tapi gue harus. Tadi Mr. Bernard bilang, kalo lo masih dapet nilai dibawah tujuh puluh pas ulangan, nilai gue yang bakal terancam."

Melody menahan napas. "Aku—"

"Jadi, gue harus jadi mentor lo. Sabtu, gue selesai kerja setengah delapan. Mau nggak mau, lo harus siapin waktu dari jam setengah delapan sampe—hm, sembilan mungkin. Setiap hari Sabtu, sampe nilai lo bisa nyampe angka tujuh. Ngerti?"

"Ryuga, kamu bisa berhenti dari kerja kamu di hari Sabtu itu—maksudku, kamu bisa jadi mentor aku, dan Daddy bisa bayar kamu bua—"

"Nggak perlu," Ryuga memotong ucapan Melody. "Dari setengah delapan, sampe jam sembilan, hari Sabtu."

"Nggak perlu," suara Regan.

Mereka berdua berbicara seakan-akan hanya ada mereka berdua di dalam kelas, padahal masih ada Regan disana.

"Gue bisa jadi mentor Melody. Lo nggak perlu jadi mentor dia."

Kalau ingin jujur, sebenarnya Melody ingin Ryuga menjadi mentornya. Menambah waktu bersama Ryuga, Melody pikir itu akan menyenangkan. Tapi ia tidak ingin egois. Ryuga punya banyak hal yang lebih penting daripada nilainya, kan? Maksudnya, toh masih ada Regan yang bisa mengajarinya.

Satu alis Ryuga terangkat, "Lo? Jadi mentor Melody?"

Di dalam pikirannya, Ryuga sedang meninbang-nimbang. Apa ia harus menyerahkan tugas ini pada Regan, atau tidak? Bagaimana jika Regan tidak mengajari Melody dengan baik? Yang terancam adalah nilainya, kan? Nilainya adalah segalanya untuknya. Ia tidak bisa kehilangan beasiswa disekolah ini. Tidak di sekolah ini.

"Lo meragukan gue?" Regan menatap Ryuga tajam. "Gue emang nggak sepinter lo, tapi gue mampu jadi mentor Melody."

"Nggak." Akhirnya, Ryuga memutuskan. "Gue bakal tetep jadi mentor Melody, titik."

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang