"Selamat pagi, Ryuga!"
Lelaki itu tetap fokus pada buku tebalnya. Tidak membalas ucapan 'selamat pagi' Melody. Jangankan membalas ucapan Melody, mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya saja tidak.
Melody mengerutkan keningnya. "Ryuga. Kenapa nggak bales ucapan selamat pagi aku?"
Melihat itu, Regan menghela napas dari tempat duduknya. Sepertinya, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membuat Melody menjauhi Ryuga. Mengabaikan Melody seperti kemarin? Tidak lagi. Ia tidak akan mengabaikan gadis itu lagi. Apalagi menjauhi gadis itu. Jika ada yang terjadi dengan gadis itu dan Regan tidak ada disana, ia yang akan menyesal nantinya.
"Ryuga. Ryuga, Ryuga, Ryuga. Kamu—"
"Berisik," menutup buku bacaannya, Ryuga bangkit dari tempat duduknya. Tanpa melirik Melody sedikitpun, lelaki itu berjalan melewati Melody, seolah-olah gadis itu tidak ada, berjalan keluar kelas.
Melody mengerjap. Sekali. Dua kali. Kok jadi dingin banget gitu? batinnya bertanya-tanya. Gadis itu menaruh tas yang dibawanya (yang omong-omong hanya berisi satu buku kosong, sketch book miliknya, dan kotak pensil), kemudian berjalan cepat mengikuti Ryuga, keluar dari kelas. Yang segera diikuti oleh Regan.
Melody tidak lagi berjalan dengan cepat ketika matanya menangkap sosok Ryuga yang hampir menghilang dibelokan koridor. Gadis itu berlari, yang langsung dicegah oleh Regan.
"Regan? Regan, aku mau nyusul Ryuga," Melody melepaskan tangannya yang di genggam oleh Regan. "Regan nggak perlu ikutin aku, kok."
"Lutut kamu masih luka, Dy," helaan napas. "Ryuga mungkin ke perpustakaan—buku yang dia baca tadi punya perpustakaan sekolah. Kamu nggak perlu lari, ngerti?"
Melody bahkan baru sadar kalau lututnya masih luka, sedikit membengkak. Gadis itu tersenyum kecil, "Aye aye captain! Regan masuk kelas duluan aja, okay? Nanti aku nyusul. Bye-bye!"
Tanpa menunggu balasan Regan, Melody berjalan menuju perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah, dekat dengan toilet siswa, yang seingat Melody, penuh dengan rak-rak buku besar yang buku-bukunya berdebu dan telah menguning.
Melody pernah kesana untuk menemani Regan, dan tidak ada waktu didalam sana yang tidak ia habiskan untuk bersin-bersin. Hidung Melody sangat sensitif, membuatnya bersin-bersin di tempat yang berdebu.
Pintu kayu tersebut berwarna cokelat tua, dengan tulisan "Perpustakaan" diatasnya yang sudah mulai mengelupas. Masih sama persis seperti terakhir (dan pertama) kali Melody melihatnya. Pelan, Melody mendorong pintu kayu tersebut. Bau buku-buku yang telah menguning dan berdebu langsung merasuki indra penciuman gadis itu.
Tepat setelah kedua kakinya telah memasuki ruang perpustakaan, gadis itu bersin. Sekali. Dua kali. Tiga kali, penjaga perpustakaan—Ms. Lelga, memicingkan mata kearahnya, menempatkan jari telunjuknya di bibir, "Sssstt."
Melody menutup hidungnya, "Woops—sorry, Ms. Lelga."
Gadis itu buru-buru menyusuri satu per satu lorong berisi rak-rak buku, sambil menutup hidungnya agar bersinnya tertahan. Matanya mencari-cari sosok Ryuga. Di lorong ketiga, gadis itu melihat sosok Ryuga tengah bersender di salah satu rak buku sambil membaca, entah itu apa, dengan satu tangan di masukkan ke dalam saku celana.
Satu meter sebelum sampai tepat disamping Ryuga, Melody kembali bersin-bersin. Sukses, merebut perhatian Ryuga. Begitu melihat Melody, Ryuga berdecak, menunjukkan terang-terangan ketidaksukaannya akan kehadiran Melody.
Melody sendiri tampak tidak sadar, malah tersenyum lebar. "Ryug—hatchu!"
Ryuga mengambil langkah mundur. "Penyebar virus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody
Teen FictionIni adalah cerita cinta seorang gadis bernama Melody Addyson Huang.