⬛️ melody - e l e v e n ⬛️

53 3 0
                                    

Mr. Indra, guru olahraga Sekolah Harapan Bangsa itu menghampiri Regan dan Melody. Guru berumur awal tiga puluhan itu memgerutkan keningnya bingung, biasanya Melody tidak pernah mengenakan seragam olahraga—biasanya, hanya Regan yang mengenakan seragam olahraga dan ikut serta pelajarannya itu.

"Melody? Kamu ikut pelajaran saya?"

Melody mengangguk senang. "Iya, Sir! Boleh, kan?"

Mr. Indra melirik Regan, yang dibalas dengan anggukan kecil dari lelaki itu. "Oh, boleh," Mr. Indra gantian mengangguk kecil.

"Kalau gitu, kamu ikut barisan perempuan. Ikut pemanasan disana," Mr. Indra memberi intruksi, menunjuk sekumpulan murid perempuan kelas 11 IPA-A yang membentuk barisan di sisi kiri lapangan. "Saya mau ambil bola dulu di gudang belakang."

Melody menurut. Ia berjalan pelan, sedikit kikuk, menuju sekumpulan 'teman' perempuannya itu. Yang pertama kali menyadari kehadirannya adalah Lisa, perempuan berkaca mata yang duduk di depan tempat duduknya.

Yang lain ikut memandang Melody.

Wakil ketua kelas 11 IPA-A, Caterina, yang terkenal karena kesupelannya tersenyum. "Melody ikut olah raga? Sini, sini!"

Mendapat sambutan baik dari perempuan itu, Melody tersenyum. "Hai."

"Haiiii," Tania menyambut Melody dengan heboh. Ia mendekati Melody, menyentuh rambut lembut Melody yang tergerai. "Yaampun! Bener, ya, rambut lo halusss banget. Wangi banget, lagi. Pake shampoo apa, sih?"

Sahabat Tania, Chika, mendengus geli melihat tingkah sahabatnya itu. "Gausah didengerin dia, Melody. Dia emang terobsesi gitu sama rambut lo. Biasa, iri. Liat aja, rambutnya kaya broko—"

"Heh!" Tania membekap mulut Chika. "Jahat lo! Ini rambut keturunan keluarga Adiputera, tau!"

Melihat itu, Melody tertawa kecil. Ia pikir, teman-temannya tidak menyukainya. Ia kira, teman-temannya akan mengucilkannya. Ia kira, teman-temannya menyeramkan dan tidak bersahabat. Tapi ternyata ia salah. Teman-temannya menyenangkan.

"Gue baru liat lo ketawa," Lisa tidak tahu bagaimana sudah berada di sampingnya.

"Hm?" Melody memiringkan kepalanya menatap Lisa. "Kita satu kelas juga ya, waktu kelas sepuluh?"

Mata Lisa yang sipit membulat, sepersekian detik. Ia tidak menyangka Melody menyadari kalau mereka satu kelas saat mereka masih duduk dibangku kelas sepuluh. Maksudnya, ini Melody. Melody Addyson Huang. Melody yang sombong, yang hanya mau berteman dengan Regan, yang seperti living barbie, yang selalu menjadi bahan pembicaraan para lelaki di sekolah mereka. Lisa kira, apa yang orang katakan tentang Melody benar. Kalau gadis itu tidak peduli dengan siapapun selain dirinya (dan mungkin Regan dan keluarganya), tidak mau berteman dengan siapapun, kecuali Regan, dan hanya mau berteman dengan orang kaya. Tapi Lisa salah. Melody tidak seperti itu. Buktinya, Melody sekarang sedang berbicara dengan dirinya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya itu. Buktinya lagi, ia berteman dengan Ryuga, kan? Kalau hubungan mereka bisa disebut 'pertemanan', sih.

"Lo.., inget?"

Melody terkekeh. "Inget, dong! Kamu, kan, duduk di samping Regan. Aku pernah liat kamu suka diem-diem perhatiin Regan. Iya, kan?"

Seketika wajah Lisa memerah. Iya, memang benar. Waktu kelas sepuluh dulu, gadis itu memang suka diam-diam memperhatikan Regan. Waktu kelas sepuluh dulu, gadis itu memang menyimpan rasa kagum yang besar kepada Regan. Tapi, itu dulu. Sekarang, dia sudah punya pacar. Serius.

Melihat reaksi Lisa, Melody tertawa, lagi. "Eh, aku salah ngomong, ya? Gapapa kok, Lisa. Aku juga suka diem-diem perhatiin Ryuga!"

"Mmm," Lisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue kira lo pacaran sama Regan? Maksudnya, semua orang mikir gitu."

Melody mengerutkan keningnya. Kenapa semua orang mengira ia dan Regan berpacaran? Padahal, mereka itu kan sahabat. "Pacaran? Aku sama Regan?" Melody menggeleng. "Nggak kok. Aku sama Regan itu sahabat."

"Yang bener?" Lisa menatap Melody. "Kalau yang pernah gue baca dan pengalaman pribadi, nggak ada cewek dan cowok yang bisa cuma jadi sahabat. Bakal ada titik dimata salah satu dari mereka, atau kalau beruntung dua dari mereka, punya rasa yang lebih dari sekedar sahabat, Dy."

Melody terdiam selama beberapa saat. Punya rasa yang lebih dari sekedar sahahat? Tidak. Dia tidak akan mempunyai perasaan seperti itu kepada Regan, dia yakin. Dan Regan juga tidak akan mempunyai perasaan lebih dari sekedar sahabat kepadanya, kan?

.
.
.
.

Setelah mengikuti pemanasan, para murid perempuan berbodong-bodong menuju toilet. Entah, untuk apa. Hanya ada Reysa—gadis berkuncir kuda dengan kaca mata tebal yang duduk seorang diri di pojok lapangan, dan Shane serta Shena—si kembar identik yang bermain volley berdua tak jauh dari tempat Melody berdiri.

Ryuga melihat gadis itu, kemudian berjalan mendekat. "Masih mau gue ajarin main volley?"

Melody menoleh, "Mau! Ayo, ajarin aku!"

Ryuga mengulurkan bola yang dibawanya sedari tadi pada Melody. "Nih."

Melody mengambil bola berwarna campuran putih, biru, dan kuning tersebut. "Ini diapain?"

"Gin—"

"Eh, awas!"

Dug!

Smash yang dilakukan Shane tidak mampu di tahan oleh Shena, membuat bola tersebut mengenai wajah Melody. Kencang. Tepat di wajah gadis itu. Untuk sekedar informasi, Shane itu sudah mengikuti kejuaraan volley sampai tingkat nasional. Smash-an bolanya tidak main-main.

Melody mundur beberapa langkah saat bola tersebut mengenai wajahnya. Kepalanya pening seketika.

"Melody, sumpah, sorry gue nggak sengaja!" Shane segera menghampiri Melody dengan wajah tidak enak. "Lo nggak—mimisan! Lo sampe mimisan gitu. Duh, sorry Dy! Gue anter ke UKS, ay—"

"Gaperlu."

Regan tiba-tiba muncul. Jika ada kata yang dapat menjelaskan raut wajah Regan saat ini seperti apa, mungkin itu adalah menyeramkan. Suara lelaki itu begitu dingin dan tajam saat berucap, "Minggir."

Shane bergerak menjauh, takut, tidak pernah melihat seorang Regan seperti itu. "Gue minta maaf, Re," Shane bergumam.

Regan hanya diam. Ia menggendong tubuh Melody, sedangkan gadis yang di gendong itu mengumpat di dada bidang Regan sambil menutupi hidungnya, enggan menatap siapapun.

"Itu cuma mimisan," kening Lyla, sahabat Shane mengerut. "Kok lebay gitu, sih?"

Ryuga menatap Lyla dengan tatapan tajamnya, tapi tidak membalas perkataan perempuan itu. Yang perempuan itu katakan memang benar. Itu hanya mimisan. Kenapa harus seberlebihan itu?

Mr. Indra yang sudah kembali ke lapangan membubarkan kerumunan yang tadinya mengerumuni Melody, "Sudah, bubar! Sana kalian latihan volley lagi!"

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang