⬛️ melody - t h r e e ⬛️

193 9 0
                                    

Ryuga bergeming saat namanya dilontarkan oleh Melody. Detik berikutnya, ia tersadar dan bergegas meninggalkan meja Melody dan Regan. Tidak peduli dengan Melody yang terus memanggil namanya.

"Dy, udahlah."

"Ya.. tapi itu.. dia kerja di sini..?"

Regan mengangkat bahunya. "Mungkin ya mungkin ga. Walaupun sembilan puluh persen iya," Regan menyantap pesanannya santai.

"Tapi gimana dia bisa sekolah di Harapan Bangsa?" well, Harapan Bangsa itu bisa di bilang sekolah kalangan menengah ke atas. Kalau seorang dengan pekerjaan pelayan di pizza hut seperti Ryuga ini, bersekolah di Harapan Bangsa, rasanya salah.

"Dia, 'kan, murid beasiswa."

Melody menatap Regan. "Emang iya?"

Regan mengangguk, masih dengan santai menyantap makanannya.

"Kok aku gak tau.."

"Gak usah terlalu di pikiran gitu, sih, Dy."

Melody mendesah, membenarkan perkataan Regan. Kenapa juga dia begitu peduli dengan Ryuga? Padahal 'kan, mereka bahkan belum kenal selama satu minggu. Tapi, rasanya Melody selalu ingin tahu apapun tentang Ryuga. Selalu penasaran dengan Ryuga. Ryuga yang tampak abu-abu di mata Melody.

***

Esoknya, Melody semangat sekali begitu sampai di sekolah. Sampai-sampai Regan sudah tertinggal cukup jauh di belakang Melody. Regan mengejar Melody, menarik tangannya.

Melody sontak berhenti, ia menatap Regan. "Kenapa?"

Regan melepaskan cengkraman tangannya dari pergelangan tangan Melody, "Jangan cepet-cepet jalannya, Melody."

"Eh? Sorry," Melody meringis, lalu mulai berjalan lagi. Kali ini, ia memperlambat langkahnya.

Regan, menghela napas tanpa sadar. Ada yang salah dengan Melody.

Melody menghentikan langkahnya di samping Ryuga—yang seperti biasa, sibuk dengan buku tebalnya.

"Ryuga."

Ryuga mendongak, dan matanya bertemu dengan mata biru Melody. Ryuga mendesah. Pasti masalah kemarin, ucapnya dalam hati.

"Apa?"

"Kenapa kemarin langsung lari gitu aja?"

Mata para penghuni kelas tertuju pada mereka berdua. Sekali lagi, Ryuga mendesah.

"Bukan urusan lo," jawabnya datar.

"Kenapa, sih?"

"Apanya, sih?"

"Kenapa kemarin lari gitu aja?" Melody mengulang pertanyaannya.

"Emang kenapa?"

"Kenapa malah balik nanya?" Melody tampak kesal.

"Kenapa lo pengen tau?"

"Karena aku mau tau tentang kamu. Emangnya, salah ya?"

Ryuga terdiam. Karena aku mau tau tentang kamu.

Ryuga akhirnya tersadar juga. "Salah," ucapnya, dingin. Lalu dia meninggalkan kelas. Meninggalkan Melody.

Melody bersiap mengejar Ryuga, tapi tangan Regan mencegahnya. Ia menatap Regan. "Jangan, Dy."

Seumur hidupnya, ia selalu menuruti apa yang dikatakan Regan. Tapi kali ini, tidak. Melody tidak ingin menuruti perkataan Regan. Kali ini aja, batinnya.

Perlahan, Melody melepaskan tangan Regan yang menahannya. "Kali ini, aja, Re." Lalu Melody bergegas mengejar Ryuga.

Regan bergeming. Ada yang salah dengan Melody, dan dia merasa semua ini memang salah. Salah.

Melody mengikuti langkah kaki Ryuga yang panjang diam-diam. Tadinya, Melody mengira Ryuga akan ke perpustakaan. Tapi ternyata, salah. Ryuga berjalan dengan langkah panjang ke arah rooftop. Dan, saat di tangga ke dua kaki Melody melangkah, Ryuga memutar tubuhnya.

Melody membeku. Ketahuan, deh, batinnya. "Em.. hai?"

"Ngapain sih, lo?" Ryuga memandang Melody dingin.

"Mau ikut ke rooftop," jawab Melody dengan cengiran senang—sama sekali tidak terganggu dengan Ryuga yang memandangnya dingin.

"Balik aja sana ke kelas." Ryuga berbalik dan meneruskan langkahnya.

"Gak mau," Melody ikut meneruskan langkahnya.

"Lo tuh bebal banget, ya?" Ryuga memandang Melody gemas. "Gue bilang balik. Ngerti gak sih?"

"Ngerti," jawab Melody. "Tapi, aku mau ikut ke rooftop."

Ryuga mendesah. Menyerah kepada perempuan yang satu ini. "Fine," ucapnya.

Melody bersorak.

Sampai di rooftop, napas Melody memburu. Ia keliharan benar-benar letih.

Ryuga menatapnya. "Segitu doang capek?"

Melody langsung berdiri tegak. Ia menyeka keringat yang membanjiri mukanya yang bak boneka itu. "Gak, kok," Melody tersenyum.

Ryuga langsung mengalihkan pandangannya. Tidak, ia tidak sanggup melihat senyum malaikat Melody. Bisa-bisa.., ia terjerumus pada senyum itu.

"Di sini enak, ya," gumam Melody. Angin sejuk menerpa rambutnya yang indah.

Ryuga membenarkan dalam hati. Ia menatap Melody, diam-diam. Dan, dia terpana pada kecantikan perempuan itu. Terlalu sempurna, batinnya. Sekali lagi, ia langsung mengalihkan pandangannya dari Melody. Dia tidak bisa terjerumus pada Melody. Tidak boleh. Masalahnya sekarang sudah cukup. Tidak perlu di tambah lagi kalau-kalau dirinya sampai terjerumus pada Melody.

"Ryu. Kamu.. bawa minum, gak?"

"Gak lah, kenapa? Aus?"

Melody memutuskan utuk duduk. Dia lelah, sungguh. "Kalau jawab jujur, ya. Kalau bohong, enggak."

Ryuga mendengus. "Terus, lo mau gue beliin lo minum, gitu?"

Melody menggeleng. "Ngg, gak gitu."

"Tapi gue bawa tissue," Ryuga merogoh kantong celannya. Mengeluarkan satu pak tissue setelahnya. Ia melempar tissue itu ke arah Melody. Melody sigap menangkapnya. "Seengaknya bersihin tuh keringet lo."

"Thanks," Melody tersenyum.

Ryuga membalas dengan anggukkan.

"Anyway, kamu belum jawab pertanyaan aku."

"Harus gue jawab? Lo kepo banget ya, orangnya?"

Sebenarnya, jawabannya adalah tidak. Tapi, ini Ryuga. Tidak bisa menjadi ya.

"Jawab aja, kenapa sih?"

Hening selama beberapa saat.

"Lo tau, gue siswa beasiswa," ucap Ryuga akhirnya.

"Tapi gue tetep harus kerja buat keperluan lainnya," lanjutnya. Melody diam, menyimak dengan serius. "Jadi, gue kerja lah di sana. The end."

Melody mengangguk paham. "Tapi.. orang tua kamu..? Maksudnya daddy kamu.. gak kerja.. atau..?"

Air muka Ryuga berubah saat itu juga. "Gue gak tau bokap gue siapa."

"Hah?" suara Ryuga terlalu lirih, terlalu pelan, Melody tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

Ryua menggeleng, "Nggak." Ia melanjutkan, "kenapa gue ada di sekolah ini, itu ada alasannya."

Melody memiringkan kepalanya, menunggu Ryuga melanjutkan kalimatnya yang masih menggantung itu. "Alesannya, apa?"

Ryuga menoleh, menatap Melody dengan mata tajamnya itu. Bibirnya membentuk senyum misterius, "It's for me to know and you to find out, Melody."

Melody mendengus lirih. Jika Melody itu bagai warna putih yang mudah terbaca, Ryuga itu bagai warna abu-abu yang.., misterius. Dan Melody suka itu. Sebelumnya, kehidupan Melody itu—apa, ya, terlalu lurus. Monoton. Tidak ada yang menarik. Ya, sebelum akhirnya ia bertemu Ryuga.

"Ryuga, tau ngga?" Melody mengulum senyum, lucu. "Kamu menarik. Aku suka."

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang