Saat mobil yang ditumpangi oleh Ryuga dan Melody sudah sampai di depan sebuah gang kecil yang mengarah ke rumah Ryuga, Melody masih tertidur. Tampak terlalu pulas, sampai Ryuga tidak tega untuk membangunkan gadis itu. Padahal, Ryuga belum mengucapkan terima kasih pada gadis itu—bukan karena telah mengajaknya jalan-jalan, sih. Lebih karena telah sudah mengantarkan dirinya pulang.
"Melody-nya tidur," Ryuga berucap, membuka pintu, keluar dari mobil. Kaca mobil bagian depan terbuka, "Saya pamit ya, Pak. Sampein aja makasih saya ke Melody."
Pak Yus mengangguk mengeti, "Iya, Mas. Saya juga pamit ya, Mas Ryuga."
"Makasih juga ya, Pak. Hati-hati dijalan."
Pak Yus mengangguk, berterima kasih, kemudian kaca mobil ditutup, dan mobil mulai menjauh. Ryuga mengamati laju mobil yang ditumpangi Melody selama beberapa saat, sampai akhirnya mobil itu sudah tidak terlihat dari pandangannya, ia berbalik, berjalan menelusuri gang sempit yang kurang penerangan itu, pulang ke rumahnya.
.
.
.
.Pagi-pagi sekali, Melody terbangun dengan senyum lebar menghiasi bibir mungilnya. Badan-nya masih lelah akibat kemarin, tetapi, ia.., bahagia? Senang? Begitulah. Ia menyibak selimut tebal yang membungkus tubuhnya, kemudian beranjak ke kamar mandi yang berada di pojok kamar.
Ia menanggalkan piyama yang ia kenakan ketika selesai mengunci pintu kamar mandi, menyalakan shower, menikmati air hangat yang membahasi sekujur tubuhnya. Gadis mungil itu terus bersenandung di dalam kamar mandi. Sesekali senyum terbit di bibirnya. Padahal, biasanya, ia tidak pernah sesemangat ini ketika akan berangkat sekolah. Biasanya, ia lebih senang menghabiskan waktu dirumahnya, menonton serial drama korea di kamarnya, ditemani dengan popcorn manis dan—Regan.
Regan. Sahabatnya itu! Sepanjang tujuh belas tahun hidupnya, ia tidak pernah melewati hampir satu hari penuh tanpa Regan—hampir tidak pernah. Tapi kemarin, selain saat bertemu di sekolah, ia tidak bersama Regan—ia bersama Ryuga. Dan selama bersama Ryuga kemarin, ia mematikan ponselnya. Gadis itu meringis, kemudian mematikan shower.
Cepat-cepat ia memakai piyama mandi-nya. Keluar dari kamar mandi, memakai seragamnya, mengeringkan rambutnya, lalu cepat-cepat turun ke lantai bawah. Dan, dugaannya benar, Regan sudah duduk manis di ruang makan, sendiri.
Bi Asri, salah satu pekerja di rumahnya menyapanya. Melody balas menyapa dan bertanya, "Daddy kemana, Bi?"
"Tuan nggak pulang semalam, Non. Katanya dia ke Aust–aus apa, ya? Ausri—austra—oh, Austria! Dua hari, pekerjaan mendadak. Semalam saya mau bilang Non, tapi pas pulang Non tidur pules banget," tutur perempuan awal empat puluhan itu.
Melody mengangguk mengerti. Sudah biasa. "Oh. Yaudah, makasih Bi."
Dengan langkah pelan, Melody mendekati Regan yang sedang menyantap sandwich—buatan Bi Riah, sepertinya. Ia menarik kursi yang bersebrangan dengan Regan, lalu duduk. "Regan," lirih Melody.
Dilihat dari mikik Regan, delapan puluh persen, mengatakan bahwa sahabatnya itu marah padanya. "Regan, maaf—"
"Seharusnya kamu bilang aku."
Lagi, nada suara Regan terdengar begitu dingin di telinga Melody. Ia meringis. Memang salahnya. Seratus persen, sahabatnya itu benar-benar marah padanya. "Maaf."
Regan menggeleng, meminum jus jeruk dari gelasnya yang tersisa separuh sampai habis. "Tau, aku panik waktu tau kamu ngga ada dirumah kemarin? Pak Yus aku telfon nggak diangkat. Kamu juga."
"Hp aku—lowbatt," ucap Melody. Jari-jarinya bergerak gelisah, memain-mainkan ujung sweater biru muda yang ia pakai.
"Lowbatt, atau keasikan main sama murid baru itu?" Regan menatap Melody lekat. "Aku bilang, kan, jangan deket-deket sama dia."
"Namanya Ryuga," Melody menjawab. "Kenapa aku nggak boleh deket-deket sama dia, Re?"
Ryuga baik. Ingin, Melody berucap seperti itu. Tapi Melody pikir itu hanya akan memperburuk suasana hati Regan, untuk saat ini.
Karena aku takut kamu pergi dari aku karena dia, Melody. "Dia—nggak baik buat kamu, Dy. Kita nggak tahu latar belakang dia gimana."
"Dia bukan orang jahat," Melody memberanikan diri menatap Regan. "Dan—dan karena aku nggak tahu latar belakangnya, itu berarti aku harus cari tahu, kan? Gak salah kan, berteman sama dia?"
Regan menghela napas, kasar. Ia bangkit dari kursi, berucap, "Aku tunggu di mobil."
Saat Regan sudah tidak terlihat, Melody mendesah keras, membenamkan kepalanya di atas meja. "Kenapa siiiiiih," teriaknya tertahan.
.
.
.Sepanjang perjalanan menuju sekolah, dari rumahnya sampai di sekolah, Regan tidak mengeluarkan satu katapun. Begitu pula Melody. Mobil yang bisanya ramai dengan celoteh Melody dan sesekali tawa Regan tampak sunyi. Yang terdengar hanya berbagai lagu yang diputar di radio.
Melody turun dari mobil dengan wajah lesu. Ia tidak suka seperti ini. Terakhir Regan marah padanya—kapan, ya? Dua tahun lalu? Atau empat? Lima? Enam? Entahlah, intinya, sudah lama sekali.
"Regan," Melody mencekal tangan Regan. Rasanya, gadis itu hampir menangis, matanya sudah berkaca-kaca. "Jangan marah."
Regan tidak memandang Melody. Tapi dari suaranya, lelaki itu tau Melody sedang menahan tangis. Ia menghela napas. "Aku udah bilang aku nggak suka kamu deket-deket sama dia," ucapnya. "Tapi kamu nggak mau denger."
"Tapi—"
"See? Kamu nggak mau denger aku," Regan tersenyum miris, yang tidak dilihat Melody. "Terserah kamu, Dy."
Regan melepaskan tangan Melody yang mencekal tangannya. Berjalan menuju kelasnya sendiri, tanpa Melody. Untuk pertama kalinya. Dan itu sukses membuat beberapa murid berbisik-bisik. Sedangkan di parkiran sekolah, Melody masih bergeming. Ia menangis.
"Regan," gumamnya. Ia berlari mengejar Regan, tapi, belum sampai ia meraih tangan Regan, ia terjatuh. Tersandung kakinya sendiri, ceroboh, seperti biasa.
Lututnya berdarah. Ia meringis, dan begitu saja, ia menunduk, menangis. Gapapa, gapapa, gapapa, batinnya terus mengulang. Tapi—ia memang kenapa-kenapa.
Tiba-tiba seseorang mengangkat dagunya. Regan. Tatapan pria itu cemas. Sama seperti terakhir kali kejadian ini terjadi—satu tahun lalu? Atau dua? Melody tidak dapat mengingatnya juga.
"Gapapa," Regan berucap lembut, tapi tersirat rasa khawatir yang jelas dalam suaranya. "Gapapa, Dy. Ayo," dengan bantuan Regan, Melody bangkit.
Regan mengeluarkan kain dari saku celana-nya, "Luka-nya, tekan pake ini," Melody menuruti perintah Regan dalam diam. Setelahnya, Regan menggendong Melody menuju parkiran, kembali ke mobilnya.
Mereka berdua tidak sadar, hampir seluruh murid sekolahnya itu melihat kejadian itu. Heroik. Tapi, berlebihan. Ryuga, menjadi salah satu yang melihat kejadian itu. Ia mendengus keras.
Melody menangis, lagi. Tangannya yang bebas mengkait leher Regan, "Regan, maaf," kata itu terus terucap di bibir Melody. "Maaf."
Regan berbisik di telinga Melody, "It's okay, Dy. Gapapa."
.
.
.
.Melody dan Regan berujung dengan membolos sekolah hari itu. Regan membawa Melody ke rumahnya setelah selesai merawat luka Melody.
"Ayo, turun," Regan berjongkok di samping Melody yang masih bergeming di tempat duduknya. "Dy—"
Tanpa aba-aba, Melody memeluk Regan. "Regan, maaf." Gadis itu menangis, lagi. "Maaf. Maaf. Maaf. Maaf, aku—"
Lembut, Regan mengelus rambut Melody. "Ssst. Gapapa, Dy. Aku udah maafin," ia melepaskan pelukan Melody, menatap lekat iris kecokelatan gadis itu. "Jangan nangis lagi, ya? Kamu jelek kalo nangis."
Melody mengercutkan bibirnya, tangisnya sudah terhenti. Ia memeluk Regan, lagi. "Ayo, gendong. Aku mau bobok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody
Dla nastolatkówIni adalah cerita cinta seorang gadis bernama Melody Addyson Huang.