⬛️ melody - t w e l v e ⬛️

145 5 0
                                    

"Kamu tunggu disini aja," di gendongan Regan, lelaki itu dapat mendengar Melody berkata lirih.

Regan baru saja akan memasuki toilet perempuan. "Tapi Dy—"

"Gapapa," Melody membalas. "Aku bisa sendiri, kok."

Menyerah, Regan menurunkan Melody. "Dy—" panik. Wajah lelaki itu berubah panik saat melihat darah yang mengotori hampir seluruh permukaan baju olahraga yang dikenakan Melody. Juga kedua tangan Melody.

"It's okay," tepat setelah Melody mengatakannya, gadis itu kehilangan keseimbangan, dan, bam! Gadis itu kehilangan kesadarannya.

"Shit," Regan memaki. Dengan tangan bergetar, lelaki itu kembali menggendong tubuh Melody dan secepat mungkin berlari menuju mobilnya.

.
.
.
.

Mata bulat Melody mengerjap beberapa kali, yang langsung disuguhi oleh pemandangan serba putih setelah matanya sudah terbuka dengan sempurna. Gadis itu tau dengan jelas dimana dirinya berada. Rumah sakit.

Kepalanya masih sedikit pusing, membuatnya memejamkan matanya lagi. Salahnya. Salahnya ia seperti ini, merepotkan Regan, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Seharusnya ia sadar akan keadaannya.

Suara pintu terbuka membuat Melody kembali membuka matanya. Regan, masih dengan seragam sekolahnya yang.., kotor memasuki ruangan. Tangan kanan lelaki itu memegang bungkusan putih berisi makanan.

"Hei," satu senyum Regan yang menenangkan terbit. "Masih pusing?"

Sedikit. "Nggak."

"Mmm," mata Regan memicing curiga. Lelaki itu duduk di kursi yang berada disamping tempat tidur Melody. "Muka kamu pucet banget Dy, mirip Bella Swan."

Jika keadaannya tidak seperti ini, mungkin Melody akan tertawa mendengarnya, atau minimal, tersenyum. Tapi ia diam. Matanya menatap lurus kedepan, menatap tembok putih polos.

"Ada yang sakit?" Regan terdengar khawatir. Dan itu karena dirinya. Dan selalu seperti itu. "Aku panggil dokter ya, Dy?"

"Nggak usah."

Regan menghela napas, "What is it, Dy?"

Hening.

"Kenapa?" suara lirih Melody memecahkan keheningan beberapa puluh detik keheningan. "Kenapa aku, Re?" Melody menoleh, menatap Regan.

Tatapan itu. Sumpah, Regan benci ketika Melody menatapnya dengan tatapan itu. Tatapan sedih, dan tidak ada yang bisa Regan lakukan untuk Melody.

"Melody," Regan memaksakan senyum. "Kamu spesial."

"Aku nggak mau jadi spesial," Melody kembali menunduk, suaranya bergetar, dan saat itu Regan tau, gadis itu menangis. "Aku cuma mau jadi cewek normal, Regan. Sama kaya temen-temen lain di sekolah. Yang suka hang out ke mall bareng. Yang punya sahabat sesama cewek. Yang bisa ikut lomba setiap tujuh belas Agustus, yang bisa ikut camping sekolah, yang—"

Regan memeluk Melody. Saat itu juga, Melody menangis sejadi-jadinya di pelukan Regan. Regan mungkin tidak bisa membuat Melody tersenyum saat ini, tapi setidaknya, ia ada untuk gadis itu. Dan ia akan selalu ada.

.
.
.
.

Melody terbangun, lagi, masih di kamar rumah sakit dengan wangi antiseptik yang menyengat. Gadis itu melirik jam yang tergantung tak jauh dari teve, yang menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ia mengernyit, sadar ia tertidur lama sekali setelah menangis tadi.

Pandangannya tertuju pada sosok yang sedang tertidur di sofa. Regan. Seragam sekolahnya sudah dilepas, menyisakan baju putih polos dan celana abu-abunya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang