◼️ melody - t e n ◼️

53 3 0
                                    

Melody sedang makan malam seorang diri saat Leonardo, Sang Ayah menghampiri. Hal seperti ini jarang terjadi. Biasanya, Leonardo selalu pulang larut malam—yang membuat Melody hampir selalu makan o sendiri.

"Hello, Pumpkin."

Melihat Leonardo, Melody tersenyum lebar. "Daddy!"

Leonardo mengecup puncak kepala Melody, lalu duduk di hadapan gadis itu. Tangannya terlipat diatas meja makan, memperhatikan anak gadisnya makan dengan senyum kecil.

"What? Jangan liatin aku gitu," Melody pura-pura menutupi wajahnya dengan tangan.

Leonardo tertawa. "Daddy udah pernah bilang belum, kalau kamu cantik sekali?"

Sekarang, Melody yang balas tertawa. Mungkin Ayahnya itu salah satu Ayah paling cheesy yang pernah ada. "Yep. Daddy udah bilang itu seribu kali. And i know it right. Mirip Mommy, kan? As pretty as my pretty Mom."

Tawa Leonardo lenyap. Tapi Melody tidak menyadari itu. Leonardo berdehem, kemudian mengangguk. "Mm, mirip sama Mommy."

Melody melahap suapan terakhir dari piringnya. "So, what is it?"

"What?" Leonardo terkekeh kecil.

"Biasanya, ada yang pengen Daddy omongin kalo kaya gini," Melody menatap sang ayah lekat-lekat. "Am i right?"

"Not this time," Leonardo tersenyum. "Daddy cuma kangen sama kamu."

"Really?"

"Uhm, no?"

Melody terkekeh kecil. "Jadi?"

Leonardo menatap gadisnya itu. Ia menghela napas panjang sebelum berucap, "Nope. Bukan sesuatu yang besar. Daddy cuma mau bilang kalau Daddy bakal ke Jepang untuk dua minggu kedepan."

Oh. Dua minggu tanpa sang ayah. Jangan bilang itu terlalu lama. Karena Melody pernah ditinggal pergi oleh sang ayah ke Korea selama hampir dua bulan waktu umurnya lima belas tahun. Jadi, baginya, dua minggu bukan apa-apa.

"Daddy mau nanya aku mau oleh-oleh apa, ya?" Cengiran khas Melody. "Aku mau satu coss play Kaneki Ken!"

"Daddy nggak mau nanya kamu mau oleh apa-apa, kok," Leonardo pura-pura mengerutkan keningnya. Membuat Melody ikut berpura-pura. Gadis itu mengercutkan bibirnya. Tidak bertahan lama, Leonardo tersenyum. "Okay, okay. Pumpkin mau oleh-oleh apa?"

Melody menggelengkan kepalanya, tersenyum. "Nggak mau apa-apa. Aku cuma mau Daddy cepet pulang."

.
.
.
.

"Lo nggak ganti baju?"

Tangan Melody yang sedang asyik menggoreskan pensil di lembar kosong sketch book-nya berhenti sejenak. Dalam hitungan detik, dan tangan itu kembali sibuk menggorskan jalinan garis demi garis yang semakin lama semakin membentuk gambar sesuatu.

"Nope."

Satu alis Ryuga terangkat, "Gak ikut olah raga?"

"Mmm, enggak," Melody masih asyik menggambar di sketch book-nya.

"Kenapa?"

Ryuga merutuk. Kenapa dia jadi ingin tahu tentang Melody lagi, sih? Kepo. Kepo dengan Melody.

Melody mendongak, menatap Ryuga, yang pura-pura sibuk melipat baju seragamnya. "Soalnya aku lagi gambar?"

"Seriously?" Ryuga mendengus. "Lo nggak bisa main volley?"

Melody mengangkat bahunya acuh. "Aku nggak bisa olah raga jenis apapun."

"Gue bisa ajarin lo volley kalo mau," dan sama seperti saat-saat sebelumnya, kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan Ryuga, terucapkan begitu saja di depan Melody.

Sepertinya Ryuga memang tidak boleh berlama-lama mengobrol dengan Melody. Maksudnya, lelaki itu sering kali lepas kontrol akan dirinya sendiri jika berhubungan dengan Melody. Lelaki itu bisa berbuat sesuatu yang bodoh jika terus berada di dekat Melody.

Sekarang, Ryuga mendapatkan seluruh perhatian Melody. "Serius?" dapat terdengar dengan jelas bahwa gadis itu antusias.

"Mmm," Ryuga mengangguk malas. Nasi sudah menjadi bubur, kan? "Gue cuma kasian sama nilai olahraga lo."

Cuma kasian? dalam hati, Melody berseru kecewa. Tapi ia tersenyum lebar. "Aku ganti baju dulu, deh. Tunggu aku di lapangan, ya!"

Melody bergegas keluar dari kelas. Beberapa menit setelah Melody keluar dari kelas, Regan memasuki kelas lengkap dengan baju olahraga khas Harapan Bangsa yang sudah melekat di badan atletisnya. Matanya menatap sosok Ryuga. Oh, bukan. Menatap bangku kosong yang berada di samping Ryuga.

"Melody kemana?" suara Regan terdengar dengan jelas di dalam ruang kelas.

Tidak ada jawaban. Malah, Ryuga melenggang menuju pintu, akan keluar dari kelas. Regan mengernyit tidak suka. Ia menahan lengan Ryuga saat lelaki itu hendak melewatinya.

"Gue nanya, Melody kemana?"

Satu alis Ryuga terangkat, "Oh, lo nanya gue?"

"Lo pikir gue nanya setan?"

"Melody lagi ganti baju."

Regan melotot. "Apa?"

"Budek ya lo? Melody lagi ganti baju!" Suara Ryuga meninggi.

Regan menatap Ryuga tidak suka, "Pendengaran gue masih bagus." ia melepas lengan Ryuga dengan kasar, melempar baju seragamnya ke tempat duduknya, lalu bergegas keluar kelas.

Melody tidak boleh mengikuti kelas olahraga. Itu sudah peraturannya. Ia tidak ingin mengambil resiko. Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Melody-nya. Ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri. Juga Ayah Melody.

Tepat saat Regan sampai di toilet perempuan, Melody keluar. Gadis itu sudah mengganti seragam putih dan rok abu-abunya dengan seragam olahraga khas Harapan Bangsa.

"Dy," Regan mendekat. "Kamu tau peraturannya. Om Leonardo juga udah bilang kalau—"

"Sekali aja, please?" Melody menatap Regan dengan tatapan itu.

Serius, Regan tidak bisa menolak permintaan Melody jika Melody terus memandangnya dengan tatapan itu. Tatapan memohon Melody.

Regan mendesah, "Dy—"

"Pleaseee?" Melody masih menatap Melody dengan tatapan itu. "Sekali aja, ya?"

"Fine," Regan menyerah. "Tapi kamu gaboleh jauh-jauh dari aku. Ngerti?"

Mendengar itu, Melody mengangguk, tersenyum lebar. "Aye aye captain!"

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang