Mereka bertiga terduduk di sudut lorong yang cukup tersembunyi. Lena duduk berdekatan dengan Sinta sementara Ezky duduk bersender di sisi berseberangan sambil menulis-nulis sesuatu. Ia sedang memikirkan langkah yang akan mereka lakukan selanjutnya. Setelah kematian Limper, sudah tidak mungkin untuk mencoba membongkar sistem keamanan sekolah dan membuka kunci elektronik. Tadinya, ia berencana agar mereka keluar berpencar untuk mengecoh sniper itu setelah Limper berhasil membuka kuncinya. Namun, rencana itu tinggallah rencana karena pintu dan jendela saat ini masih terkunci.
Dengan desahan nafas Ezky memandang kertas di depannya. Dari seluruh nama yang ia tahu sedang ada di sekolah ini, hanya tinggal mereka bertiga serta Gaby dan Bobby yang masih hidup. Ia memperkirakan demikian karena video kedua orang itu masih belum diputar oleh proyektor. Keberadaan mereka tidak diketahui, tapi Ezky juga tidak berniat untuk mencari mereka. Bukan waktunya memikirkan keselamatan orang lain sementara ia masih harus memikirkan keselamatannya dan 2 gadis di hadapannya ini.
Sebenarnya, pikir Ezky, mungkin ada cara lain agar mereka bisa bebas dari tempat ini. Kaca jendela bisa dipecahkan dan pintu bisa didobrak, yang mereka khawatirkan hanya bernasib sama seperti Heru yang tertembak oleh kaki tangan Mortis yang ada di luar. Ia tidak tahu berapa jumlahnya dan melawan professional seperti mereka sama halnya dengan bunuh diri.
"Ezky... kau bisa membagi pikiranmu dengan kami, kau tahu?" tanya Lena tiba-tiba, membuat Ezky sedikit terkesiap. "Dari tadi kau terus-terusan menghela nafas. Kami sama putus asa-nya dengan kau. Akan sedikit lebih ringan jika kau membagi pikiranmu dengan kami," ucap Lena dengan senyuman mungil yang terbentuk di bibirnya.
Ah, bagaimana ia masih bisa tersenyum seperti itu dalam keadaan seperti ini, pikir Ezky. Ia kemudian duduk mendekati Lena dan tentunya ia bisa merasakan tatapan Sinta yang terus mengikutinya. Ia harus berbuat sesuatu terhadap perasaan Sinta kepadanya. Gadis itu terlihat pemalu tetapi ia punya cara tersendiri untuk menunjukkan perasaannya dengan begitu jelas. Tetapi, bagaimanapun juga itu tidak akan berhasil.
"Kenyataan bahwa Limper sudah tewas membuyarkan seluruh rencanaku. Dan, sekarang aku harus mencari cara agar kita dapat keluar dari sini tanpa terbunuh oleh para sniper itu. Yang terpikirkan olehku hanyalah konfrontasi langsung dan aku tahu itu gila..." desahnya sambil mengetuk-ngetukkan pensil di atas kertas coret-coretannya. "Ditambah lagi, aku tidak tahu ada berapa sniper yang tersebar di sini. Bisa jadi lebih dari satu..."
Lena mengerucutkan bibirnya, berpendapat bahwa semua yang Ezky bilang ada benarnya. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Karena berhadapan dengan sniper sangat berbahaya, bagaimana kalau kita mencoba mencari pengacak sinyal telepon itu?" Tiba-tiba Lena menjadi sangat bersemangat. "Setidaknya kalau kita bisa menelepon keluar, akan ada yang membantu kita bukan?!?"
Mendengar itu Sinta mengangguk-ngangguk yakin, setuju dengan pendapat Lena.
"Akan sulit untuk menemukannya, tapi sepertinya kita bisa mencobanya," ucap Ezky.
"Baiklah! Kalau begitu kita berpencar dan..."
"Jangan!" Ezky menggenggam tangan Lena. "Jangan berpencar!!" serunya yakin. "Terlalu berbahaya," lanjutnya kemudian dan perlahan melepaskan tangan Lena.
Melihat wajah Ezky yang serius, Lena mengerti. Ia mengangguk, "Kalau begitu... Darimana kita mulai? Kami mengikutimu ketua," ucapnya dengan sedikit senyum canggung.
Ezky menghembuskan nafas lega karena Lena tidak berargumen melawannya seperti yang biasa ia lakukan. Biasanya Lena itu keras kepala. Buktinya, jika saja Lena mengikuti perkataannya untuk lekas pulang dan membiarkannya mengambil buku catatannya yang tertinggal, ia tidak harus terkurung di tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
School Game (M.O.D, #1)
Mystery / Thriller(Completed) Satu sms misterius kepada beberapa murid sekolah menengah atas di kota Xylite berkumpul di sekolah mereka setelah matahari terbenam. Tiba-tiba seluruh pintu dan jendela terkunci, membuat mereka terkurung di dalam gedung bujur sangkar itu...