Interlude V

4.7K 425 4
                                    


Ingatan itu sudah lama dipendamnya dan entah bagaimana muncul lagi setelah ia melihat mayat Loly dan Resta yang bersimbah darah di laboratorium Kimia. Dan, kala ia mengingat itu seluruh badannya terasa ngilu dan rambut-rambut halus di seluruh tubuhnya meremang. Memang semestinya ingatan itu tidak disentuhnya lagi, namun apa dayanya jika ingatan itu kembali muncul ke permukaan.

Seorang putri. Itulah diri Gaby sedari kecil. Dilimpahi dengan kasih sayang dari keluarga sempurna dan harta yang seolah tiada batas. Ayah-nya adalah seorang dokter bedah jantung paling terkenal di negara itu dan Ibu-nya adalah seorang pemilik majalah wanita. Dan, yang terpenting, mereka berdua menyayanginya dengan memberikan segala hal yang ia inginkan.

Gaby kecil-pun sangat mengerti bahwa dirinya sangat cantik dan lebih mempesona dari anak-anak perempuan seumurannya, hingga ia merasa bahagia dipuja-puja dan disanjung oleh guru-guru di sekolah dan tentunya semuanya ingin menjadi teman dari seorang Gaby. Ya, Gaby sangat tahu dirinya sempurna. Hal-hal itu membuat dirinya bahagia, membuat dirinya selalu bangun pagi dengan senyuman dan merasa dunia-nya tak ada cela dan diisi dengan hal-hal indah.

Tetapi, entah berawal dari apa dan dari mana, dunia kecil-nya yang sempurna itu ditimpa kehancuran yang sangat mempengaruhi dirinya.

Umur Gaby waktu itu 12 tahun dan ia baru saja lulus dari sekolah pendidikan dasar. Setelah pesta perpisahan dengan teman-temannya, Gaby diantar pulang dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam. Mobil itu kemudian berhenti di halaman sebuah rumah besar layaknya istana. Ia turun dengan kaki kecilnya dan melangkah riang memasuki rumah tersebut ketika terdengar suara memecah yang membuat langkahnya terhenti.

Mata kecil Gaby melihat Ayah-nya berjalan ke arahnya dengan langkah marah yang berdebam-debam. Ayah-nya melewati Gaby, yang memandangnya bingung, begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata-pun. Pandangan Gaby mengikuti Ayah-nya ketika pintu ruang kerja Ayah-nya terbanting kencang. Lalu, ia menengok ke arah suara memecah yang tadi ia dengar, ia melangkah perlahan dan melihat Ibu-nya sedang menangis di ruang keluarga.

Ibu-nya terlihat cantik seperti biasa, dengan rambut yang disanggul sempurna dan setelan mahal tanpa kerutan. Namun, wajah yang biasanya terlihat tegas dan kuat itu kini terlihat lemah dan penuh dengan bekas air mata. Gaby juga melihat pajangan mahal kesayangan Ibu-nya pecah berantakan di atas lantai berlapiskan kayu mengkilap. Ibu-nya tersenyum dan menyeka pipi-nya lalu menghampiri Gaby dan memberi usapan lembut di kepala anak gadisnya. Dan, ia-pun berlalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata-pun.

Gaby hanya termenung di tengah ruangan itu. Ia merasa bingung akan apa yang terjadi antara kedua orang tuanya. Pikiran-pikiran mengerikan mulai merasukinya. Saat itu, Gaby merasa dunia kecilnya yang bahagia dan sempurna mungkin sedang terancam. Dan, ia benar-benar tidak menginginkan hal itu terjadi.

Keesokkan malamnya Gaby menemukan pikiran mengerikan yang menyerangnya benar-benar terjadi.

Pertengkaran kedua orangtuanya terlihat riuh seperti badai. Itu kali pertama Gaby melihat orang tua-nya seperti itu. Ia tidak mengerti apa sebabnya karena di telinganya yang terdengar hanya teriakan perih Ibu-nya dan bentakan kasar Ayah-nya. Mata Gaby berkaca-kaca ketika melihatnya. Rasa takut menamparnya ketika Ayah-nya menatapnya dengan nafas menderu dan wajah yang memerah. Ia benar-benar tidak mengenali Ayah-nya yang biasanya terlihat tenang dan itu membuatnya melangkah mundur dengan gigi bergemeletuk.

Ayah-nya kemudian menghampirinya, namun tidak mengatakan apapun. Ia malah menabrak bahunya hingga gadis kecil itu terjatuh. Lututnya terasa lemas ketika ia mengikuti Ayah-nya dengan pandangan berkaca-kaca. Sesuatu di dirinya terasa hancur, pecah, retak, apapun yang bisa menggambarkan rasa sakit.

Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke Ibu-nya yang duduk di sofa, sedang menutup mukanya dan terisak lirih. Dengan takut-takut, ia merangkak, menghampiri Ibu-nya dan bersimpuh di hadapannya. Ragu-ragu ia menyentuh lutut Ibu-nya, terasa sedikit hentakan, mungkin karena Ibu-nya terkejut.

School Game (M.O.D, #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang