"Apa kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita berpakaian putih dengan ramah. Ia kemudian menyodorkan segelas coklat hangat yang ia tuangkan dari termos ke sebuah gelas kecil berwarna keperakan.
Kepala Sinta yang tadinya tertunduk mendongak ketika menerimanya. Gelas itu menjalarkan sedikit rasa panas di tangannya dan ketika ia meminumnya ia merasa tubuhnya menghangat. Ia merapatkan kain yang menyelimutinya dan tersenyum berterima kasih kepada wanita itu.
Sinta kemudian melihat sekelilingnya yang dipenuhi dengan cahaya merah biru, para polisi dengan seragam, orang-orang yang penasaran dan beberapa gurunya yang tampaknya sedang diberi pertanyaan oleh polisi. Ia juga melihat ada beberapa ambulans lain selain yang sedang ia duduki saat itu.
Apakah ambulans itu berisi jenazah mereka? Pikirnya dalam hati.
Wanita yang tadi memberinya susu coklat tersenyum, "Orang tua-mu sudah kami panggil dan mereka sedang dalam perjalanan kemari. Dan, saya sudah bilang kepada mereka bahwa kau bisa berbicara dengan mereka setelah kondisimu membaik dan ditemani oleh kedua orang tua-mu."
Alis Sinta mengernyit, "Mereka?"
"Maksudnya kami..." suara berat seorang pria terdengar dari belakang wanita itu. Dan, sosok pria dewasa berumur pertengahan 30-an dengan janggut tipis yang dicukur tak beraturan, rambutnya mencuat-cuat dari pinggiran topi fedora yang digunakannya. Pria dewasa itu terlihat lelah dan sedikit kusam jika dibandingkan dengan wanita yang berjalan di belakangnya. Wanita yang terlihat berumur akhir 20-an itu berambut pendek sebahu dan disisir rapih, mengenakan setelah blazer berwarna merah menyala yang terlihat mahal serta sepatu hak tinggi yang runcing. Mereka berjalan menghampiri Sinta dan wanita berbaju putih itu jelas-jelas memperlihatkan ketidaksukaannya.
"Namamu Sinta, kan? Perkenalkan saya Detektif Rayya dan rekan saya Detektif Raits dari kepolisian. Jika kau berkenan boleh kami menanyakan sesuatu?"
"Sudah saya bilang untuk menunggu..." wanita berpakaian putih itu menutupi tubuh Sinta, namun justru malah Sinta yang langsung berbicara.
"Kalian dari kepolisian? Kalau begitu apakah kalian sudah menemukan Lena dan Ezky? Mereka teman-temanku yang juga terjebak!" serunya tak sabar. Matanya terlihat bertanya-tanya.
Para Detektif itu saling menatap dan Detektif Raits yang pertama kali bicara, "Jika kami menjawabnya, kau bisa memberikan keterangan lebih lanjut tentang apa yang telah terjadi di dalam sana?" tanyanya, ia bisa melihat Sinta yang perlahan-lahan mundur. "Kami tidak akan memaksa jika kau belum siap. Kita bisa menunggu orang tua-mu..."
"Aku akan bicara sekarang!" seru Sinta sebelum Detektif Raits meneruskan kalimatnya. "Asalkan kalian bisa memberitahuku tentang Lena dan Ezky..." ucap Sinta takut-takut dengan suara yang lebih terdengar seperti cicitan.
Detektif Rayya berjalan menghampiri Sinta, Detekti Raits mengikutinya sambil memasukkan tangannya ke saku jaketnya. "Jadi..." Detektif Rayya memulai, "Kami tidak akan membahas rinciannya hingga orang tua-mu datang. Kami hanya ingin bertanya apakah kau mengenal nama-nama yang kami sebutkan ini. Kau bisa?" tanyanya dengan lemah lembut namun tetap terasa ketegasannya.
Pertamanya Sinta terlihat ragu-ragu, namun akhirnya ia mengangguk lemah.
Kemudian Detektif Rayya membuka komputer tablet yang dibawanya, ia melihat Sinta dan tersenyum lalu memulai. "Pertama kami mengidentifikasi 2 tubuh di laboratorium kimia, kau mengenal Resta Dreins dan Lolyra Barton?"
Sinta mengangguk. Tenggorokkannya terasa sakit ketika ia menelan ludahnya sendiri. Ia mencoba sekuat tenaga untuk menghapus bayangan mengerikan jasad Resta dan Loly di benaknya. Ia tahu Resta dan Loly sudah membantu Gaby untuk menyiksa Heru, tetapi tidak seharusnya mereka tewas dengan cara mengenaskan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
School Game (M.O.D, #1)
Mystery / Thriller(Completed) Satu sms misterius kepada beberapa murid sekolah menengah atas di kota Xylite berkumpul di sekolah mereka setelah matahari terbenam. Tiba-tiba seluruh pintu dan jendela terkunci, membuat mereka terkurung di dalam gedung bujur sangkar itu...