Interlude VI

4.9K 446 14
                                    


Sore itu terasa dingin dengan angin dan hujan yang menderu-deru. Orang-orang berlarian menuruni tangga menuju stasiun kereta bawah tanah yang lembab namun terasa hangat. Namun ia tak bisa berlari, kakinya pincang dan ia merasa terlalu lelah sehingga ia hanya berjalan tertatih. Lebam-lebam di tubuhnya terasa perih ketika terhempas oleh angin atau terbasuh oleh air hujan.

Ia terbatuk-batuk ketika menuruni tangga, badannya yang kuyup membuatnya menggigil sehingga ia sedikit sulit untuk bernapas. Ketika ia duduk di salah satu bangku kayu reyot di tepi peron. Air menetes-netes dari ujung seragamnya dan sepatunya membuat rembesan di lantai. Dengan penampilan seperti itu, tidak ada orang yang akan mendekatinya, apalagi duduk di sampingnya.

Lebam di ujung bibirnya terasa sakit, hasil dari tonjokkan Bobby. Ia memegang tulang rusuknya yang ditendang berkali-kali oleh Gaby dan rasa malu yang menyerangnya karena ia ditonton oleh Resta dan Loly dalam keadaan tidak berdaya. Heru mendesah. Ia pernah merasa bersyukur ketika Ayah-nya dipindahkan ke kota ini, merasa lega karena ia akan mendapatkan hidup yang baru dan jauh dari penindasan teman-temannya ketika ia berada di sekolah menengah pertama.

Tetapi, apa yang didapatnya di sini justru lebih buruk dan membuatnya nelangsa. Siapa yang menyangka gadis cantik dengan senyum malaikat itu mempunyai kesenangan ketika menyiksanya dan bahkan tertawa-tawa ketika ada darah yang menyembur dari mulutnya atau ketika ia melepehkan giginya yang tanggal.

Kereta datang dan berdiri di depannya dengan suara nyaring nyaris berisik. Orang-orang mulai berdesakan menaiki kereta, mengeluh dengan nyinyir ketika ada orang yang mendesak dari belakang atau menyelak antrian. Ia sendiri tidak ikut naik meskipun itu adalah kereta yang ditunggunya. Tidak ada yang akan ia lakukan di rumah dan orang tua-nya juga tidak peduli bahkan apabila ia tidak pulang sekalipun. Bahkan meskipun giginya sudah bergemeletuk, membayangkan rasa dingin di rumahnya justru membuatnya menggigil.

Ya, ia menghilang-pun tidak akan ada yang mencarinya.

Heru menelan ludahnya, luka di dinding bibirnya masih berdarah hingga ludahnya terasa asin dan anyir. Matanya menengadah ketika kereta berlalu, ia melihat sekelilingnya. Tempat di sebelahnya masih kosong, di sebelah kanannya ada anak kecil yang menangis hingga Ibu nya mengusap-ngusap punggungnya dan di seberangnya ada pasangan yang tampaknya sedang berbisik-bisik sambil memandanginya lewat sudut mata mereka. Ia mendengus dan terkekeh, lalu membuka tas-nya, di mana ia meletakkan botol kecil berkilau yang berhasil ia curi dari klinik sekolah.

Obat tidur dalam dosis besar pasti membuat kematiannya terasa lebih mudah. Ia hanya akan dikira tidur oleh orang tua-nya, dibiarkan berhari-hari hingga membusuk dan bernanah sebelum orang tua-nya sadar bahwa ia telah meninggalkan dunia ini. Heru terkekeh lagi. Entah kenapa pikiran itu terasa menyenangkan. Mungkin karena semua rasa sakitnya akan pergi seketika dan ia akan meninggalkan dunia yang tidak bersahabat dengannya ini.

"Apa kau yakin mau melakukannya?"

Sebuah suara mengejutkannya. Di sebelah kirinya, tempat yang tadinya kosong itu kini telah terisi oleh seorang pria muda yang setengah wajahnya tertutupi oleh topi. Heru mengenalinya sebagai si pria dari pasangan yang tadi berbisik-bisik di seberang peron. Bibir pria bertopi itu mengukir senyuman, wajahnya masih tersembunyi di balik topi.

"Ketika kau mati, bukankah itu akan membuat para penindasmu merasa menang?"

"Tahu apa kau..." desis Heru dengan suara serak.

Pria itu kembali tersenyum, "Periksa tas-mu, jika kau berubah pikiran hubungi nomor yang ada di situ. Kami bisa membuatmu menjadi pemenangnya..."

Cepat-cepat Heru memeriksa tas-nya dan ia menemukan sebuah kartu nama berwarna putih dengan garis horizontal emas di sisi atas dan bawahnya. Di kartu itu tertulis, dengan huruf sambung meliuk-liuk berwarna merah:

School Game (M.O.D, #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang