"Aku pulang." Seraya masuk dan melepas sepatunya, Minami Yudai tidak memedulikan apakah ada yang mendengar dan membalas salamnya. Pemuda berumur 17 tahun yang baru saja menyelesaikan hari terakhirnya sebagai siswa kelas 1 SMA itu pun menyalakan lampu-lampu rumah modern tak berpenghuni itu. Setelah menaruh tas ransel padat berisi baju-baju dan perlengkapan menginap untuk seminggu, Yudai pun melangkah masuk ke dalam dapur yang kosong, hanya menemukan senampan makan malam yang ditutup plastik dengan pesan singkat 'makan malam' di atasnya. Nenek-nenek Housekeeper yang selalu datang pagi dan pulang sore hari adalah satu-satunya manusia yang masih aktif keluar masuk kediaman keluarga Minami ini. Semenjak Yudai masuk asrama dan penghuni yang satu lagi memutuskan untuk tinggal di rumah baru bersama istrinya, rumah berlantai dua dengan banyak kamar ini diliputi suasana sunyi dan angker.
Akan tetapi, karena alasan itulah mengapa Yudai memutuskan untuk pulang dan menghabiskan liburan musim seminya di sini. Sudah setahun lamanya ia tidak menghirup udara tempat dimana rantai yang melingkar di kakinya itu dipancungkan. Sejauh apa pun ia pergi, selama apa pun ia dibuat lupa, pada akhirnya Yudai akan selalu kembali ke tempat ini. Kembali ke sumber dimana harapan dan keputusasaan bersaing sengit. Sebuah batas antara hasrat dan ketakutan. Rumah ini. Rumah keluarga Minami, adalah sebuah panggung megah yang meskipun sudah lama ditinggalkan, bau dan rasanya masih kental menempel di indera-indera Yudai.
Yudai membuka plastik pembungkus makan malamnya dan mulai menyantap pasta hambar tersebut. Ia terlalu letih dan malas untuk memanaskannya di dalam microwave. Pasta panjang yang dingin itu membungkus lidahnya dan meninggalkan rasa yang asam di rongga mulut. Ia ingin sekali memuntahkannya, tapi batal ketika mengingat bahwa ia tak punya makanan lain selain ini. Housekeeper yang disewa oleh keluarga Minami memang hanya pintar di bidang menjaga kebersihan rumah, mereka tidak disewa untuk menjadi koki rumah. Pria muda berambut brunette pendek itu pun mengambil segelas air dari kran dapur dan berusaha mencuci rasa pasta yang tak keruan itu dari mulutnya. Ia menghela napas panjang, kemudian berbalik badan menatap lorong rumahnya yang remang dan hening. Ia tersenyum kecut seakan berusaha mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tak kecewa. Memang lebih baik ia tidak ada di sini. Lalu matanya berkeliling menjamah satu persatu sudut dapur sempit bernuansa hijau itu. Layaknya fatamorgana, Yudai mulai mendengar suara-suara ramai campuran wanita dan laki-laki dari umur yang beragam menyelimuti ruangan ini. Rencana jalan-jalan, desain kamar yang baru dan nilai jelek di sekolah—topik-topik ringan yang masih membekas jelas di batin Yudai. Kemudian sorot matanya mengarah ke kursi meja makan paling kanan dekat pintu masuk, kursi yang dulu miliknya seorang. Sekarang hal seperti itu sudah tidak ada gunanya. Kursi manapun yang kududuki, tidak akan pernah membuat kedudukanku berubah di matanya.
Kini bola mata coklat merah pekatnya itu bermain ke arah kalender 2015 yang tergantung di tembok dapur. Awal bulan maret sudah lama terlewat, tapi ingatannya tentang wisuda tahun itu tak kunjung pupus. Ia masih dapat membayangkan jelas lapangan luas yang dipenuhi oleh Sakura berguguran itu dan juga murid-murid berseragam hitam yang melepas pergi kakak-kakak kelasnya. Kedua tangan Yudai masih dapat merasakan dengan jelas buket bunga Daffodil kuning yang akhirnya ia persembahkan untuk seseorang yang mungkin tidak akan ia temui lagi. Sebuah ucapan selamat tinggal manis untuk kisah indah yang singkat, terasa begitu hangat tapi di saat yang sama juga begitu menyiksa. Perpisahan adalah hal yang tak pernah menjadi suatu yang biasa dalam hidup Yudai. Satu persatu dari mereka yang ia kasihi pergi dengan meninggalkan ujung rantainya melingkar di tubuh Yudai, tidak mengekang tapi juga tidak membiarkannya pergi.
"Yudai? Kau ada di rumah?" Lamunan Yudai terpecah ketika suara yang sangat ia kenal muncul bersamaan dengan dibukanya pintu depan. Langkah sepatu kerja yang ia hapal mati itu terdengar seperti lonceng kematian bagi pemuda tersebut. Entah kenapa Yudai merasa bahwa ia tidak boleh terlihat sedang ogah-ogahan makan malam. Dengan gesit ia mengambil nampan di meja dan membuangnya bersama dengan isinya ke dalam plastik putih merah khusus sampah terbakar. "Kau sudah makan?"
Yudai mengangkat wajahnya dan berusaha melebarkan senyum untuk menutupi kegugupan di wajahnya. Minami Shin, berusia 5 tahun di atas Yudai, masih dengan setelan jas abu-abu dan kemeja biru mudanya menatap pria yang lebih muda itu dengan tampang penasaran. Ia melirik ke arah plastik sampah tadi dan mencoba mereka apa yang baru saja terjadi 3 detik sebelumnya. "Aku sudah makan, Shin," jawab Yudai percaya diri. "Tumben kau pulang ke rumah ini. Ada apa?"
"Tentu saja karena hari ini kau ada di rumah. Sudah setahun kita tidak berkumpul di ruangan ini, bukan?" Yudai rasanya ingin batuk mendengar kalimat itu. Ia menelan ludahnya, mencoba meredakan niatnya untuk tertawa sinis. Yudai.. Jangan tertipu dengan ucapannya. Ia tidak sungguh-sungguh ingin bertemu denganmu. Pasti ini semua ada hubungannya dengan Aya-san.
"Tapi aku sudah makan.. dan aku letih setelah perjalanan dari Oita." Yudai berusaha memutus pembicaraan mereka berdua saat itu juga. Walaupun sesungguhnya di lubuk yang hati terdalam ia begitu menikmati pemandangan yang ada di depan matanya saat ini. Sudah 12 bulan lamanya ia tidak bertemu dengan sosok yang tak pernah hengkang dari pikirannya tersebut. Shin, ia tidak banyak berubah. Mungkin kini brewok hitamnya tak bisa dibilang tipis lagi dan tinggi badannya yang hanya terpaut 5 cm dengan Yudai sekarang tak dapat dipanggil jangkung lagi. Tapi bola matanya yang hitam pekat nan menusuk itu tidak pernah lepas dari wajahnya. Ia masih seorang Minami Shin yang membuat semua orang yang bertatapan dengannya mengonversi rasa percaya diri mereka menjadi rasa percaya kepadanya. Ia tak pernah meleng sedikit pun ketika bicara dengan siapa pun, kedua bola matanya selalu fokus seakan-akan objek di depannya adalah pusaka negara yang tak boleh terlalai sedikit pun. Yudai selalu lemah ketika bicara dengan lelaki yang sudah seperti kakak laki-lakinya sendiri itu. Ia merasa tak berdaya untuk melawan atau membantah ucapannya. Karena itu ia selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika bicara dengannya agar ia tidak menyerah kepada kelemahan dirinya.
"Kalau begitu temani aku dan Aya makan saja, ya? Kami berdua sudah pesan restoran di hotel dekat dengan gedung FBS. Siapa tahu kau tiba-tiba ingin makan lagi. Kau pasti sudah bosan kan dengan hidangan asrama yang itu-itu saja?" Tanpa ekspresi wajah yang berubah, Shin mencoba meyakinkan 'adik' laki-lakinya itu. Ia menatap lawan bicaranya dengan sangat serius, lebih seperti mengajukan undang-undang daripada undangan makan. Yudai tidak dapat menjawab langsung, lidahnya sengaja dibuatnya kelu agar ia tidak sembarangan melontarkan jawaban yang tak semestinya. "Aku akan menganggapnya sebagai 'ya'" Tak menggubris, Shin pun mengambil ponsel pintar di kantung jasnya dan menelepon istrinya, Aya.
Enak saja! Kenapa kau menentukan segalanya seenak yang kau inginkan. Ini benar-benar yang terburuk! Kukira aku bisa menikmati liburan kali ini di rumah tanpa harus melihat batang hidungmu. Apa gunanya kau pindah ke rumah barumu jika pada akhirnya kau selalu kembali ke tempat ini setiap kali aku datang. Setelah kau membuangku ke asrama nun jauh di sana itu kini kau mencoba untuk mendekat padaku lagi lewat perhatian-perhatian tak berguna itu. Apa kau tidak malu? Apa kau tidak malu bersikap seperti itu kepadaku? Hei.. Shin.. Pada akhirnya aku tidak lebih dari sebuah pajangan rumah yang terlalu sayang untuk dibuang. Menghabiskan malam ini bersama dengan dua orang yang paling terakhir ingin kutemui di dunia ini? Enak saja..
Ketika Shin sedang sibuk menghubungi Aya, Yudai pun mengambil kesempatan untuk keluar dari rumah tersebut. Hanya dengan bermodalkan ponsel dan juga dompet, Yudai lebih memilih ketenangan jiwa daripada jaminan perut kenyang. Meskipun pada akhirnya.. sejauh apa pun ia berlari, dan selonggar apa pun rantai tak kasat mata yang mengikat tubuhnya itu, ia tidak akan pernah bisa lolos sampai ia mematahkan salah satu matanya.
____________
TBC
Update setiap kamis dan minggu
Tadinya mau bikin ini buat lomba tapi trus ya biasalah mageran :") di drive cerita ini sudah mendekati akhir, jadi tidak usah khawatir bakal ga update
Kalo dilihat dari genre sebenernya ga bl2 banget, kalo pernah baca koimonogatari (bl ya) ya kayak gt deh vibe2nya. Suka aja dengan cerita bl yg soft, lebih menekankan ke perasaan (yg super complicated) dan relationship itu sendiri. Mungkin banyak yg cari kisah asmara yg lebih membara dan menggigit, tapi that's not my taste hehe jadi maaf kalo kurang romantis, sukanya main perasaan aja lol
Anyway,
Vote and Comment are appreciated!
KAMU SEDANG MEMBACA
Loose Chain [BL]
Adventure[COMPLETED/PG15] "Lepaskan tanganmu. Aku tidak ingin kau mengotorinya dengan menyentuh seorang menyedihkan yang tidur dengan kakak laki-lakinya." "Aku mengambil nyawanya dengan tangan ini. Semua yang menjadi kebahagiaan keluargaku, akulah yang meren...