Bab 8

2.4K 207 1
                                    

Seakan tanpa masalah, paman pengemudi pun asyik bersenandung tembang-tembang tempo dulu yang diputar di radio. Sementara kedua pemuda yang terpaksa ikut mendengarkannya hanya menyandarkan tubuh mereka lelah di jok tua kasar itu. Manik-manik mereka tertuju pada angkasa hitam tak bermega, hanya bulan sabit melengkung tajam yang berpendar terang. Pikiran mereka berdua melayang-layang ke rumah mereka yang sesungguhnya. Apa sekarang Aya-san dan Shin sedang mengkhawatirkanku? Atau seseorang yang menemukan ponselku menghubungi mereka? Sebenarnya aku sedang apa sih? Kenapa bisa-bisanya aku ikut kabur sampai sejauh ini hanya demi Jin. Apa yang kutakuti? Apa yang kucari? Apa yang ingin kurubah? Bahkan aku tak dapat menjabarkannya dengan kata-kata. Aku merindukan sesuatu yang tidak ada di dunia ini. Apa pengampunan adalah sesuatu yang aku butuhkan? Apa itu dapat membuatku merasa lebih baik.. Membuatku dapat melupakan dosa-dosa terlarang itu.. Selama mataku masih dapat menangkap noda-noda hitam yang Shin tinggalkan di jasad ini, aku tak yakin dapat menghadapi dunia dengan berani. Tsurunosaki adalah benteng milikku, tapi satu langkah saja aku keluar dari sana.. Segala zirah baja yang kutempa leleh begitu saja. Aku seperti telanjang bulat. Setiap kali ada seseorang yang menatapku lebih dari 3 detik, tubuh ini gemetaran. Aku merasa semua orang bisa tahu kesalahan apa yang kulakukan bersama Shin. Mereka dapat membaca hasrat konyol yang kupendam. Sampai kapan kebebasan adalah pintu terlarang yang tak pantas kujajaki.. Aku pun juga ingin bernapas tanpa ada ketakutan bahwa apa yang kuhirup itu nyatanya adalah racun. Yang perlahan membinasakan seorang Minami Yudai dari muka bumi ini.

Jin.. ia ada di sisiku sekarang. Ia bersumpah tidak akan membiarkanku jatuh sendirian, seakan-akan ia paham bahwa kesendirian adalah musuh terbesarku. Ketika ayah bodoh itu lebih memilih gunung kecintaannya daripada keluarga yang menunggunya, ketika Takeshi-san dan Ibu sibuk dengan konsep pernikahan bahagia mereka, hanya kesepian lah teman sejatiku. Hingga Shin datang dan menawarkan kasih yang sesungguhnya tak pernah terlahir. Ia mengelabuiku dengan citra kesetiaan mutlak. Sesungguhnya yang ingin diselamatkannya hanyalah ketidakberdayaannya. Tak pernah sedikit pun ia sungguh-sungguh memandangku. Tatapan matanya pada malam itu adalah awal dari segala yang salah dari dunia ini.

Sesulit itukah untuk tetap bersamaku? Meski tiada lagi renjana dan kecupan dalam pernyataan kasihmu? Aku tahu aku bukanlah seorang Ikegami Aya yang dapat menyelamatkanmu dari kematian, sama seperti yang Takeshi-san lakukan. Tak ada masa depan dari hubungan ini. Tak ada jaminan kebahagiaan dari romansa picisan dengan seorang bocah sepertiku. Tapi semudah itukah kau mengingkari kata-katamu malam itu? Setiap hari aku tak pernah berhenti bertanya.

Selama ini Yudai hidup hanya berdua dengan sang Ibu, tanpa sekali pun diperkenalkan dengan konsep keluarga lainnya. Ia tak pernah bersilahturami dengan keluarga besarnya kecuali dengan ibu dari wanita yang melahirkannya. Berkali-kali kakek dan nenek dari pihak Ayah kandungnya mendatangi apartemen luas mereka, meminta Ibu dan Yudai untuk tinggal bersamanya di desa. Atau setidaknya, aku seorang. Mereka tidak bisa menerima bahwa Ibu akan menjadi seorang wanita pekerja dan aku akan menghabiskan waktuku di rumah sendirian. Tapi Ibu.. Dengan kekerasan kepalanya, begitu percaya diri dengan kemampuannya membagi waktu. Ia percaya ia dapat membesarkanku sendirian. Aku tak pernah tahu darimana asal keraguannya pada orang tua mendiang suaminya sendiri, tapi mungkin dulu pernikahan mereka terjalin dengan cara yang tidak mulus. Pada akhirnya aku hampir tak pernah melihat muka kakek dan nenekku yang sibuk menjalankan usaha pabrik sake di desa. Ingatanku soal mereka nol besar, tapi bukan berarti aku membenci mereka. Tidak ada yang menyatakan bahwa kami bukan keluarga lagi, hanya saja waktu dan kesempatan tak pernah memberikan kami ruang untuk sebuah reuni kecil. Hingga akhirnya bencana itu datang.

Masih terekam jelas di otak Yudai, wajah kakek-neneknya yang dipenuhi oleh kekhawatiran dan rasa tak percaya. Mereka masih tak dapat menerima fakta bahwa mantan menantu mereka dan suami barunya meninggal dalam kecelakaan kapal saat berbulan madu. Tak bertemu dengan wanita itu selama beberapa tahun mungkin dapat membuat perasaan mereka menjadi lebih ringan, tapi ketika mereka akhirnya bertemu kembali denganku di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi itu—Bulir-bulir air mata pun berjatuhan, mengiringi rasa sesal yang tak jelas menyayangkan apa. Sang nenek memeluk tubuh mungil Yudai erat, berharap tak melepasnya lagi. Tapi apa daya, Yudai kala itu hanyalah seperti boneka yang tersihir oleh janji-janji kelabu dengan Shin. Ia begitu percaya bahwa Shin akan sendirian jika ia tidak tinggal. Ia merasa bahwa pengkhianatan adalah kata yang menggambarkan keegoisan yang ia lakukan jika ia lebih memilih kakek dan neneknya. Baginya yang buta oleh napsu masa mudanya itu, kasih tulus keluarga kandungnya yang satu itu tampak seperti tawaran yang membosankan. Satu lagi penyesalan yang tak pernah berhenti menghantuiku.

Loose Chain [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang